Sepanjang waktu aku lewatin tanpa makna yang berarti. Kehidupanku berjalan begitu apa adanya, hari - hariku begitu membosankan. Tanpa kau sadari, kau hadir dalam hidupku yang membuatku terbang tinggi dalam lautan yang dinamakan kehabagiaan. Aku tidak tahu sejak kapan wajahmu mulai sering muncul di benakku. Tapi sejak pertemuan itu, aku jadi lebih sering menunggu. Menunggu hari berganti. Menunggu langit cerah. Menunggu langkahmu membuka pintu. Menunggu tanpa tahu apakah penantian itu akan berujung.
Kota Medan baru saja masuk musim penghujan. Udara terasa lebih lembap, jalanan basah oleh sisa gerimis semalam. Di radio terdengar suara penyiar yang mengabarkan:
"Kepada seluruh warga kota, harap tetap waspada. BMKG memprediksi akan terjadi badai dalam lima hari ke depan. Jangan lupa jaga kesehatan dan berhati-hati di jalan."
Aku meraih jaket cokelat yang tergantung di belakang pintu, lalu menatap langit yang mulai kelabu.
"Harus cepat ke toko sebelum hujan turun," gumamku sambil mengunci pintu kos.
Langkahku cepat menyusuri trotoar. Angin meniup pelan, membawa bau tanah basah dan daun yang gugur. Suasana yang sebenarnya indah, kalau saja hatiku tidak penuh tanda tanya: Apakah dia akan datang hari ini?
Senandika Kopi.
Tempat itu bukan hanya toko buku. Ia adalah rumah kecil bagi mereka yang menyukai ketenangan, kata-kata, dan secangkir kopi hangat. Di situlah aku bekerja, menyusun buku, menyeduh kopi, dan mengawasi langit yang berubah dari balik jendela besar.
Untungnya hujan turun tak lama saat aku tiba di toko. Rintik-rintik kecil memukul kaca etalase seperti nada piano yang sendu. Aku buru-buru membuka pintu, menghidupkan lampu, dan memulai rutinitas seperti biasa.
Menyapu rak, mengelap meja, dan menyusun buku-buku yang baru datang.
Tapi hari ini ada yang sedikit berbeda.
Sambil menyusun novel-novel remaja di rak tengah, mataku tak sengaja menatap ke arah pojok ruangan. Meja itu... meja tempat dia duduk kemarin. Lara. Gadis dengan gaun putih dan pita merah muda yang entah bagaimana meninggalkan jejak hangat di kepalaku.
Apakah dia akan datang lagi hari ini?
Aku menggelengkan kepala, mencoba kembali fokus.
"Fokus... fokus, Rak..." gumamku sambil menyapu sisa debu dari meja kasir.
Dari balik dapur kecil, aku mulai menyiapkan segala hal. Menggiling biji kopi Gayo, memanaskan air, menyusun cangkir-cangkir putih bersih semuanya terasa seperti tarian pagi yang sudah hafal iramanya. Tapi entah kenapa, langkahku lebih lambat. Hatiku gelisah.
Tiba-tiba, lonceng kecil di atas pintu berbunyi lembut.
"Tring..."
Aku sontak menoleh. Seorang perempuan masuk, membawa aroma tanah yang basah, mengenakan sweater abu-abu dan celana jeans. Rambutnya sedikit basah, menempel di bahunya.
"Lar..." bisikku pelan, nyaris tanpa suara.
Tapi ternyata bukan.
"Apa itu tadi? Saya mau pesan coklat panas," ucap si pelanggan sambil menunjuk menu.
Aku tersenyum kikuk. "Eh, maaf mbak. Saya tadi sempat melamun. Untuk coklat panasnya, tiga puluh ribu. Mau bayar tunai atau non-tunai?"
"Bayar tunai aja," jawabnya ramah.
Aku mengambil uangnya, menyiapkan minuman, dan mengantar pesanan ke meja. Tapi pikiranku masih melayang ke tempat lain. Ke sosok yang mungkin tak akan datang lagi, atau mungkin... sedang dalam perjalanan ke sini.
---
Jam makan siang tiba. Hujan belum juga reda. Aroma kopi dan coklat panas memenuhi ruangan. Tapi tetap saja, aku merasa ada yang kurang.
Meja pojok itu masih kosong. Dan entah kenapa, kekosongan itu menyuarakan banyak hal yang tak bisa kuucapkan.
Aku duduk di bangku kasir, mengaduk secangkir Americano buatan sendiri. Seharusnya ini bisa mengusir kantuk. Tapi yang kuhadapi bukan sekadar kantuk—ini kerinduan yang samar tapi mengganggu. Rasa rindu pada seseorang yang bahkan belum lama kukenal, tapi sudah mengisi ruang-ruang kosong dalam pikiranku.
Kupandangi hujan yang menetes dari jendela, menciptakan pola-pola acak di kaca.
Kenapa tidak datang hari ini, Lar?
Apakah kau sedang sibuk? Apakah kau hanya mampir sekali lalu pergi begitu saja? Atau... akukah yang terlalu cepat menaruh harapan?
Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Hanya penjaga toko buku kecil yang menyajikan kopi. Tidak tampan, tidak istimewa. Tapi bersamamu, waktu terasa lebih lambat dan lebih hangat. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku menunggu.
---
Sore mulai datang. Langit berubah oranye keabu-abuan. Di luar sana, jalanan masih basah, dan lampu-lampu mulai menyala. Aku kembali menyusun buku yang belum sempat dirapikan, berusaha mengalihkan pikiran dari bayangan wajahmu.
Seorang pelanggan bertanya tentang novel romantis yang ringan. Aku menyarankan satu judul: "Langit yang Tak Pernah Sama". Novel yang aku tahu, isinya tentang dua orang yang sering bertemu, tapi tidak pernah benar-benar menyatu.
Lucu ya, kadang hidup juga seperti itu.
Pukul enam sore.
Toko sepi. Aku menyalakan musik pelan—lagu instrumental piano yang sering kudengar saat menutup hari.
Meja pojok itu masih kosong. Dan kali ini, aku tidak bisa menahan diri untuk mendekatinya.
Aku duduk di bangku yang biasa kau duduki. Menyentuh permukaan meja kayu yang sudah mulai aus. Menutup mata sejenak dan membiarkan hujan menjadi latar untuk kenangan singkat yang kita bagi kemarin.
"Kopi ini paling enak kalau diseruput saat masih panas," ucapku kemarin, waktu menyajikannya untukmu.
"Tapi tetap hati-hati, ya, biar nggak nyakitin bibir," balasku sambil tertawa gugup.
Aku tersenyum kecil mengingatnya.
Mungkin ini memang hanya fase. Mungkin hanya kebetulan. Tapi perasaan yang tumbuh dari pertemuan sederhana kadang justru yang paling sulit dilupakan.
Malam tiba.
Aku menutup toko. Mengunci pintu. Merapikan kursi. Tapi ada satu hal yang tidak bisa kurapikan: perasaanku sendiri.
Karena meskipun hujan hari ini telah reda, perasaan ini masih menggantung. Seperti awan hitam yang enggan pergi. Seperti sisa kopi yang tertinggal di dasar cangkir—pahit, tapi membuat rindu.
Dan aku tahu, besok pagi... aku akan kembali menoleh ke arah meja itu. Bertanya dalam diam.
Apakah hari esok kau akan datang, Lara?
PENILAIAN TENTANG CERITA INI?