Hari itu, kita masih lengkap

Pagi itu, langit masih biru pucat dan embun masih menggantung di ujung daun ketika suara motor tua milik Robi memecah keheningan di depan gerbang SMA Bina Jaya. Helmnya miring, jaketnya kebesaran, dan seperti biasa, gaya jalannya lebih cocok jadi karakter kartun daripada siswa kelas dua SMA. Tapi satu hal yang tak bisa dilewatkan dari Robi adalah kepalanya yang besar, terlalu besar jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus. Anehnya, itu justru jadi ciri khasnya.

"Aku duluan, bego-bego!" serunya sambil loncat dari motor dan berlari menuju gerbang sekolah. Satpam hanya bisa menghela napas, sudah hafal dengan tingkah laku anak itu.

Beberapa menit kemudian, dari arah gang kecil di samping sekolah, empat cowok muncul dengan langkah santai tapi penuh percaya diri. Mereka seperti tokoh utama dari empat genre berbeda yang dipaksa main dalam satu film.

Pertama, Dana—si tenang dan pintar. Ia tipe siswa yang jarang bicara, tapi sekali buka mulut, semua orang langsung diam dan dengar. Rambutnya rapi, gaya jalannya tegak, dan wajahnya bersih. Lalu ada Ricky—gaya bebas, humoris, dan selalu punya cara untuk bikin suasana cair. Bahkan guru killer seperti Pak Anwar bisa diketawain kalau sudah kena ucapan sarkas Ricky.

Di samping mereka, Deni berjalan dengan kepala sedikit tengadah. Dia atlet andalan sekolah, jago basket, dan selalu jadi sorotan di setiap acara sekolah. Wajahnya tegas, kulitnya cokelat matang. Dan terakhir, Charlie—si cowok pendiam dengan tatapan tajam, tapi selalu tahu kapan harus bicara. Ia paling susah ditebak, tapi juga paling bisa diandalkan.

"Robi lagi-lagi duluan. Itu motor bisa bunyi kayak panci jatuh, sih," kata Ricky sambil tertawa.

"Dia takut roti kantin habis," sahut Deni.

"Yang takut itu Arya," ujar Dana cepat.

Dan benar saja, dari arah halte, muncul Arya. Tubuhnya besar, napasnya ngos-ngosan, tapi semangatnya seperti selalu meledak. Ia membawa dua roti dan satu botol teh kotak, sambil lari kecil menuju mereka.

"Gue mimpi semalam kita semua dihukum bareng. Jadi feeling gue hari ini bakal rusuh," katanya begitu sampai.

"Itu bukan mimpi, itu kenangan SD kelas tiga," timpal Dana sambil tersenyum tipis.

Waktu SD dulu, mereka memang terkenal suka bikin onar. Pernah suatu kali mereka bermain kelereng di dalam kelas saat pelajaran Matematika. Gara-gara satu kelereng menggelinding ke kaki Bu Retno, mereka semua dihukum berdiri di lapangan dengan tangan ke atas selama satu jam. Tapi dari situlah semuanya dimulai. Dari hukuman menjadi pertemanan. Dari ejek-ejekan menjadi persaudaraan.

Seketika, dari belakang tiang bendera, muncul suara tawa khas—keras dan nyaring. Itu Hafiz, dengan senyum lebarnya dan dua gigi depan yang terlalu menonjol untuk diabaikan. Tapi justru itulah pesonanya. Hafiz adalah sumber tawa, dan kadang sumber masalah kecil yang membuat hari-hari mereka tak pernah membosankan.

"Eh, tujuh komplit!" seru Charlie yang biasanya paling kalem.

Mereka pun duduk di taman kecil depan kelas. Di situ, mereka sudah biasa menghabiskan pagi sebelum bel masuk. Terkadang membicarakan hal penting, tapi lebih sering saling ejek dan ketawa-tawa tanpa alasan jelas.

"Gue serius, kalau kita tetap lengkap sampai lulus nanti, kita harus bikin sesuatu yang gila," ucap Dana tiba-tiba.

"Tato bareng?" tawar Deni.

"Gue duluan! Tapi jangan tato muka Robi ya, bisa bikin anak kecil nangis," celetuk Hafiz.

Robi melempar botol kosong ke arah Hafiz, tapi malah kena kaki Arya. Arya mengerang, tapi lebih karena dramanya daripada sakitnya.

"Muka lo kayak bola dunia, Bi. Kalau gue tato itu, bisa dituduh nyembah bumi," lanjut Hafiz yang masih tertawa.

"Gigi lo bisa jadi senjata tajam, Fizz. Jangan banyak bacot," balas Robi sambil tertawa juga.

Mereka tertawa bersama. Suara mereka memenuhi udara pagi yang masih segar. Seolah dunia luar tidak penting. Tidak ada tugas, tidak ada tekanan hidup, tidak ada rencana masa depan yang bikin pusing. Yang ada hanya mereka—Tujuh Serangkai.

Sudah hampir satu dekade mereka bersama. Mulai dari main layangan di tanah lapang, saling ejek waktu jatuh dari sepeda, sampai kabur dari kejaran Pak RT karena main petasan tengah malam. Mereka tumbuh dengan luka yang sama, tawa yang sama, dan janji yang sama: jangan pernah berpisah.

Kelas mereka berada di lantai dua, tepat menghadap taman belakang sekolah. Di dalam kelas, bangku Hafiz selalu ada di pojok dekat jendela karena katanya "biar gampang kabur kalau guru killer masuk". Arya duduk di sebelahnya, dan meja mereka selalu penuh bungkus makanan kecil. Sementara Robi lebih suka duduk di depan—bukan karena rajin, tapi karena katanya sinyal Wi-Fi sekolah lebih kuat di sana.

Setiap hari, saat istirahat, mereka berkumpul di bawah pohon besar dekat kantin. Tempat itu seperti markas tidak resmi mereka. Di sana, rahasia dibagikan, rencana disusun, dan tawa tak pernah berhenti. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat mereka tumbuh—bersama.

"Kalau lo udah lulus mau jadi apa, Den?" tanya Ricky tiba-tiba sambil menggigit es mambo.

Deni diam sesaat, lalu menjawab pelan, "Gue nggak tahu. Kadang pengin jadi atlet, kadang pengin kabur dari semua ini."

Dana yang duduk di sampingnya melirik cepat. Jawaban Deni membuatnya bertanya-tanya, tapi ia simpan dalam hati.

Mereka memang dekat. Tapi ada jarak yang bahkan sahabat dekat sekalipun tidak tahu. Dan dalam diam, keduanya sama-sama menyimpan kebingungan yang tak pernah mereka bagi.

Namun, semakin mereka dewasa, semakin terasa bahwa dunia tidak selalu adil. Persahabatan yang selama ini mereka anggap abadi, perlahan mulai diuji. Bukan hanya oleh waktu, tapi oleh perasaan yang tak pernah mereka kira akan muncul di antara mereka.

Hari mulai beranjak siang. Bel berbunyi nyaring. Satu per satu siswa masuk kelas, termasuk mereka. Suasana kelas hiruk pikuk. Tapi tujuh sahabat itu masih sempat saling menatap dan tersenyum, seolah ingin mengabadikan pagi itu dalam ingatan.

Dana duduk di bangkunya sambil menatap papan tulis kosong. Pikirannya melayang ke masa depan. Entah bagaimana, ia merasa hari itu penting. Ia tak tahu kenapa, tapi ia berharap—dengan sangat—bahwa mereka bisa bertahan. Bahwa tawa pagi itu bukan yang terakhir.

Mereka belum tahu. Di semester ini, sesuatu akan berubah. Tidak semua yang tumbuh bersama akan tetap bersama.

Tapi pagi itu, tawa mereka masih utuh. Dan hari itu, mereka masih lengkap.

Bel pelajaran pertama berbunyi. Guru datang, dan buku-buku mulai dibuka. Tapi benak Dana tak benar-benar ada di sana. Ia melirik ke arah Deni sekali lagi, dan entah kenapa, dadanya terasa sesak. Ia tak tahu kenapa, namun hatinya berbisik: musim yang tenang akan segera berlalu.