Langit Seoul sore itu tak lagi biru. Awan kelabu menggantung rendah seperti langit yang sedang murung. Hujan turun deras, menabuh atap-atap gedung dan payung yang berlalu-lalang, menenggelamkan kota dalam irama yang menenangkan sekaligus menyakitkan. Udara terasa lembab, penuh dengan aroma aspal basah dan dedaunan yang dipukul angin.
Di distrik Mapo, di antara bangunan tinggi yang seolah menekan ruang langit, berdiri sebuah bangunan kecil bercat putih pudar dengan papan kayu bertuliskan: Yayasan Haru Sarang – Tempat Tumbuh untuk Anak-Anak Istimewa. Bangunan itu tampak biasa dari luar, tak mencolok dan nyaris tak terlihat dari jalan besar. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, Haru Sarang adalah rumah. Tempat perlindungan. Tempat di mana waktu berjalan lebih lambat, dan dunia terasa lebih lembut.
Di dalamnya, di sebuah ruangan dengan dinding berwarna pastel dan lantai kayu hangat, anak-anak sedang berkumpul di atas matras berwarna-warni. Mereka memainkan alat musik sederhana: lonceng, genta kayu, drum kecil dari kulit sintetis. Di tengah mereka duduk seorang perempuan muda berambut panjang dengan senyum lembut di wajahnya.
Namanya Seo Yeri.
Yeri bukan perempuan biasa. Dunia yang dilihatnya tidak melalui cahaya atau warna, tapi lewat suara, getaran, dan aroma. Sejak kehilangan penglihatannya karena demam tinggi saat berusia tujuh tahun, Yeri hidup dalam kegelapan yang ia pelajari untuk cintai. Ia tidak melihat dunia seperti orang lain, tapi justru karena itu, ia belajar mendengarkan lebih dalam, merasakan lebih dalam.
Kini, di usia 23 tahun, Yeri bekerja sebagai terapis sensorik di Haru Sarang. Ia membantu anak-anak dengan berbagai kebutuhan khusus mengenali dunia lewat suara, sentuhan, dan wangi. Ia mengajari mereka bagaimana membedakan logam dan kayu hanya dari gema yang dihasilkan, mengenali tekstur kain, atau menenangkan diri lewat musik lembut dan suara alam.
Ia bukan terapis bersertifikat dari universitas ternama. Tapi ia punya sesuatu yang tak semua orang punya: empati yang tak menghakimi, kesabaran tanpa batas, dan ketulusan yang tidak dibuat-buat.
“Jiyun-ah, coba dengar ini. Suaranya lebih tinggi dari yang tadi, bukan?”
Anak kecil itu mengangguk dan tersenyum lebar, membuat Yeri ikut tersenyum. Tangannya meraba kepala anak itu dengan lembut, menyisir rambutnya dengan gerakan yang menenangkan.
Saat sesi berakhir dan anak-anak mulai dijemput orang tua mereka, Yeri perlahan merapikan alat musik ke dalam kotak. Hujan belum juga reda. Angin sesekali mendorong daun jendela, membuatnya berderak pelan. Tapi Yeri menyukai suara itu. Suara hujan membuatnya merasa tidak sendirian.
Pintu depan yayasan tiba-tiba terbuka, disusul hembusan angin dingin dan suara langkah kaki tergesa.
“Permisi...” suara seorang pria memecah keheningan ruangan.
Yeri menoleh, meski matanya tak bisa melihat siapa yang datang. Tapi telinganya langsung menangkap nada suara itu: berat, sedikit serak, dan… lelah. Ada napas yang tertahan, seolah orang ini baru saja berlari, atau berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat.
“Silakan masuk. Anda kehujanan?”
“Iya... maaf, saya cuma... saya hanya perlu berteduh sebentar,” jawabnya sambil menutup pintu di belakangnya.
“Tidak apa-apa. Ruangan ini hangat. Anda bisa duduk di dekat piano,” kata Yeri, mengangguk ke arah pojok ruangan yang biasa ia gunakan untuk sesi terapi musik.
Pria itu menurut. Ia berjalan pelan, melepas maskernya dan duduk dengan tenang. Jaket hitamnya basah di beberapa bagian. Ia menyeka rambutnya dengan tangan, lalu menunduk, menatap lantai kayu seperti menatap sesuatu yang jauh lebih dalam.
Kim Minkyu.
Nama yang tak asing di seluruh negeri. Usianya 26 tahun. Ia adalah bintang paling bersinar dari grup idol ternama, SOLARIS, yang berada di bawah naungan agensi raksasa Haneul Entertainment. Sebagai visual dan vokalis utama, wajahnya terpampang di setiap iklan, majalah, dan media sosial. Suaranya menghiasi panggung-panggung megah dan acara penghargaan bergengsi. Tapi tidak banyak yang tahu, di balik sorotan lampu itu, Minkyu adalah seorang pria muda yang mulai kehilangan dirinya.
Minkyu menyukai musik. Ia mencintai menyanyi, panggung, dan para penggemarnya. Tapi ia membenci apa yang menyertainya: kontrol yang ketat, tekanan untuk selalu sempurna, kehilangan ruang untuk menangis atau bahkan... bernapas.
Hari ini ia meninggalkan latihan vokal tanpa izin. Pelatihnya berteriak dari belakang, tapi ia terus melangkah, mengambil hoodie dan masker, dan pergi entah ke mana. Kakinya membawanya ke Mapo. Ke gang kecil. Ke tempat ini.
“Nama saya Yeri,” kata gadis itu sambil mendekatinya.
Minkyu mendongak. Wajahnya masih basah oleh titik air. Hidungnya memerah oleh dingin.
“Minjae,” jawabnya cepat. Nama samaran yang biasa ia gunakan saat menyamar.
Yeri tersenyum. “Senang bertemu Anda, Minjae-ssi.”
Ia tidak tahu siapa pria itu. Tidak bisa melihat wajahnya. Tapi justru karena itulah, Minkyu merasa aman. Untuk pertama kalinya, ia tidak dinilai dari wajah atau statusnya. Ia hanyalah seorang pria yang berteduh dari hujan. Seorang manusia biasa.
Mereka berbicara sedikit. Tentang hujan. Tentang aroma favorit anak-anak yang ditinggal di ruangan itu—lavender, cendana, dan jeruk. Tentang suara piano yang masih sering digunakan untuk terapi.
“Apakah Anda sering bermain piano?” tanya Yeri.
Minkyu menoleh pelan. “Dulu. Sebelum semuanya jadi terlalu... sibuk.”
“Sayang sekali. Anak-anak di sini senang sekali dengan suara yang tulus.”
“Tulus?”
Yeri mengangguk. “Mereka tidak peduli nada sumbang atau ritme salah. Mereka hanya mengenali ketulusan. Itu sebabnya saya masih bisa bekerja di sini. Saya tidak punya mata, tapi saya bisa mendengar yang tidak semua orang dengar.”
Minkyu menatapnya lama. Mata Yeri tidak menatap balik, tapi ada ketenangan di sana. Keteguhan. Seolah dia berdiri tegak dalam dunia yang tak pernah benar-benar berpihak padanya—dan tetap mampu tersenyum.
“Pekerjaan Anda luar biasa,” ujar Minkyu jujur.
Yeri terkekeh. “Saya hanya membantu mereka merasa nyaman. Dunia luar sudah cukup kejam. Tempat ini... semoga bisa menjadi jeda.”
Diam kembali melingkupi ruangan. Tapi bukan diam yang canggung. Ini adalah diam yang mengizinkan dua jiwa beristirahat. Diam yang menyembuhkan.
“Kalau Anda tidak sibuk, kami selalu butuh relawan,” kata Yeri setelah beberapa saat. “Anda punya suara yang lembut. Anak-anak akan menyukainya.”
Minkyu tertawa pelan. “Saya... mungkin bisa datang lagi.”
Yeri mengangguk. “Yayasan ini terbuka untuk siapa saja. Termasuk Anda, Minjae-ssi.”
Dan saat Minkyu menatap hujan yang mulai reda di luar jendela, ia sadar: tempat ini bukan sekadar tempat berteduh dari hujan. Ini mungkin... tempat berteduh dari dirinya sendiri.
Dan ia tidak tahu bahwa perempuan yang tak bisa melihatnya... justru akan menjadi satu-satunya orang yang benar-benar bisa melihat siapa dirinya.