Hari itu, hujan turun sejak pagi.
Langit kelabu, tanah basah, dan suasana kelas... sepi banget.
Rahman datang paling awal. Seperti biasa, duduk di bangku pojok belakang dekat jendela. Dia gak bawa payung, cuma sweater abu-abu yang mulai basah di ujung lengan.
Dari tempat duduknya, Rahman melihat tetes air mengalir pelan di kaca. Tapi sesekali... matanya geser.
Ke arah pintu. Menunggu seseorang.
Lalu datanglah dia
Dengan langkah kecil, sepatu basah, dan suara khas sandal menyentak lantai.
Syakirra.
Syakirra duduk di tempat biasanya. Bangku tengah, dua baris di depan Rahman.
Hari ini dia gak seramai biasanya.
Gak nyapa siapa-siapa.
Gak iseng ngetok meja temennya seperti biasa.
Dia cuma duduk, buka buku... dan melamun.
Rahman melihat punggungnya.
“Dia kenapa ya?”
Ingin bertanya. Tapi bibirnya kaku. Tangannya cuma mencoret halaman kosong
Gambar bunga kecil. Di sebelahnya, ditulis: “kamu gapapa kan?”
Tapi gak pernah dikasih ke siapa-siapa.
Saat guru gak masuk, para siswa mulai keluar kelas.
Tinggal Rahman dan Syakirra yang gak bergerak dari tempat duduk.
Tiba-tiba Dina, temen sebangku Syakirra, nyeletuk sebelum cabut ke kantin:
“Rahman! temenin Syakirra dulu ya... dia lagi badmood tuh.”
Rahman pura-pura gak denger.
Tapi jantungnya malah deg-degan.
Apalagi pas Syakirra pelan-pelan noleh ke belakang.
“Kamu sendirian juga?”
Rahman pelan: “Iya…”
“Enak ya jadi kamu... diem tapi gak perlu pura-pura kuat.”
Rahman gak ngerti harus jawab apa.
Tapi dia pengen bilang: “gue diem bukan karena kuat, tapi karena takut salah ngomong.”
Mereka diam. Tapi entah kenapa...
sunyi itu gak dingin.
Ada ketenangan aneh yang muncul tiap kali mereka gak bicara tapi tetap duduk di ruang yang sama.
Hujan belum reda saat bel pulang bunyi.
Anak-anak bubar, jalan cepat-cepat sambil nutup kepala pakai tas.
Rahman berdiri di depan pintu kelas.
Dia gak buru-buru.
Karena dia tahu… Syakirra juga belum keluar.
“Kamu gak dijemput?”
Syakirra ngangguk pelan, “Tapi telat Katanya nunggu hujannya agak reda dulu.”
Rahman gak nawarin apa-apa.
Dia cuma berdiri di sampingnya.
Gak jauh. Tapi gak terlalu dekat.
Karena dia tahu: satu langkah terlalu dekat... bisa bikin semua hancur.
------------------------------
Malam harinya, Rahman buka buku gambar lagi.
Dia ngeliat lembaran yang tadi dia coret.
Gambar bunga kecil itu masih ada.
Dia tambah tulisan di bawahnya:
“Kamu gak harus selalu senyum. Gue ngerti, walau gue gak bisa ngomong.”
Lalu dia sobek pelan.
Lipat.
Masukkan ke tas.
Besok... mungkin bakal dikasih.
Atau... cuma bakal disimpan, kayak perasaannya.