WebNovelINDELIBLE100.00%

SINONIM BODOH

Langit sudah berubah warna menjadi jingga, mataku pula melihat awan-awan mulai bergerak. Bang Arya bilang jika awan bergerak saat sore menuju malam, tandanya mereka mau menutupi matahari untuk berganti baju menjadi bulan. Namun setelah tiga hari kuperhatikan lewat jendela. aku sama sekali belum melihat matahari berubah menjadi bulan, selalu saja bulan munculnya di depan matahari, bahkan sebelum matahari menghilang sepenuhnya.

Ketika aku bilang ini ke Bang Arya, dia tertawa kencang sambil memukul-mukul perutnya, lalu mengarahkan jari telunjuknya kepadaku sambil berkata bahwa aku bodoh. Kepalaku miring bingung. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata itu, Ayahku dulu sebelum menghilang juga sering mengatakannya, tapi hingga hari ini ku tidak tahu apa maksud dari kata tersebut.

Lantas aku bertanya, dan Bang Arya terdiam sebentar sebelum menjawab sambil tersenyum lebar membuatku percaya padanya. Dia berkata bahwa 'bodoh' berarti pintar, sinonim yang baru dipelajari olehnya di sekolah. Meski aku merasa kagum terhadapnya, lagi-lagi ada kata yang belum kupahami. Aku bertanya, 'apa itu sinonim?' Bang Arya mendesah lebih dulu baru menjawab, ‘persamaan kata’.

Dan untuk kedua harinya pada hari itu, kepalaku di miringkan. Pertanyaan kembali keluar dari mulut tentang yang dimaksud dengan persamaan, namun Bang Arya tidak menjawab. Dia malah mengerang entah mengapa, kemudian berkata padaku jika aku sekolah, maka aku akan tahu apa itu 'persamaan'. Benar, Bang Arya orang bodoh karena sudah sekolah. ia dua tahun lebih tua dariku. Dia tentu lebih bodoh dariku.

Akan tetapi kala kubilang bahwa Bang Arya sangat bodoh, bukan tepukan ringan serta ucapan terima kasih yang kudengar, melainkan teriakan kencang yang membuatku terkejut hingga tanpa sadar menutup telinga.

Umurku tahun ini 6 tahun. Apakah Ibu sudah bisa mendaftarkanku ke sekolah? Apakah aku akhirnya bisa bersekolah seperti teman-temanku yang lain? Hatiku penuh antisipasi ketika memikirkan hal tersebut. Aku pun bangkit dari tidur, tidak merasa gatal sama sekali meski rumput tinggi secara nakal sempat menusuk-nusuk kulit. Badanku meregang, bersiap untuk pulang setelah bermain seharian.

Teman-teman yang lain sudah pergi lebih dulu meninggalkanku. Mereka sudah sering begini, suka sekali iseng kepadaku karena aku lebih muda dari mereka semua. Tapi aku sama sekali tidak masalah, Bang Arya bilang keisengan itu adalah tanda bahwa aku disayang, tanda bahwa aku salah satu temannya, jadi aku nggak masalah.

“Hati-hati, biasanya kalau pas maghrib, hantu-hantu di hutan sudah berani berkeliaran. Makanya kalian tidak boleh main di hutan sampai malam!”

Mendadak ingatan perkataan Pakde terlintas di benak. Sekarang aku sedang berada di dalam hutan menuju rumah sejak rawa-rawa. Suasananya tiba-tiba menjadi dingin, bahkan penerangannya gelap. Mataku memperhatikan sekeliling, pohon-pohon terlihat menjulang jauh lebih tinggi dariku, kemudian kepalaku langsung menundukkan ke bawah saat menangkap sesuatu melintas.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Aku adalah Raka, anak paling pemberani di desaku.

Bang Arya juga bilang jika perkataan Pakde bohong, jadi nggak ada apa-apa di sini. Nggak ada hantu.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Tenggorokanku terasa ganjal, aku susah untuk menelan ludah. Perlahan demi perlahan kakiku melangkah. Entah mengapa kakiku tidak kuat buat berlari, apakah mereka punya pemikiran sendiri agar larinya ketika ada sesuatu saja? Mereka bodoh juga jika betulan begitu.

Aku terdiam tatkala mendengar bunyi sesuatu, kepalaku segera menoleh ke sumber suara. Meski telah menelan air ludah dalam kerongkongan, tetap benjolan di sana tidak menghilang selagi aku takut-takut memperhatikan sesuatu pada balik semak. Meskipun aku sudah bilang berkali-kali ke diriku bahwa aku seorang pemberani yang tidak takut bahkan kepada musang, tetap ketika semak bergoyang kembali, kakiku langsung bisa berlari sekuat tenaga keluar hutan.

Ternyata aku tidak seberani itu.

"Huff... Huff... Huff..." Aku mencoba mengembalikan napasku menjadi semula. Dadaku sesak sekali, seolah-olah aku habis dikejar dinosaurus bertangan kecil dua yang sangat ditakuti makhluk lain.

Kepalaku menoleh ke belakang. Nggak ada apa-apa di sana, aku tidak beneran dikejar. Haruskah kuceritakan kejadian ini pada Bang Arya? Setelah berpikir sebentar, gelengan segera terjadi. Tidak, tidak perlu kuceritakan ke Bang Arya. Dia pasti akan menertawakanku lagi bersama teman-teman yang lain. Lebih baik kalau diceritakan langsung ke Ibu saja.

"Rumah Bu Nurul kenapa kedatangan polisi, ya?"

"Nggak tau, makanya kita mau liat sekarang!"

Suara Ibu-ibu mengalihkan perhatianku dari pikiran. Aku terus mengikuti pergerakan mereka lewat mataku hingga kedua ibu tersebut sampai pada depan rumah. Di sana aku melihat banyak orang berkumpul pada rumah kecil berdinding warna hijau. Rumah yang sangat familiar.

Rumahku.

Mengapa mereka berkumpul di sana? Mengapa ada mobil mengeluarkan laser merah dan biru? Apa yang terjadi? Apakah Ibu baik-baik saja?

Aku diliputi banyak pikiran ketika kakiku berlari menuju rumah, menerobos banyak orang hingga sampai pada depan pintu yang terbuka. Napasku terengah-engah, kakiku sakit sebab terlalu banyak lari. Meski begitu, aku tetap berdiri—terpaku. Mengamati Ibuku jatuh tersungkur dengan tangisan keras bersama beberapa orang menenangkan di sampingnya.

Perlahan-lahan aku datang mendekat, namun teriakan asal Ibu membuatku berhenti di tempat. "DIAAMM!! KALIAN TIDAK TAHU APA-APA! DIA MASIH HIDUP! DIA TIDAK MATI!" Teriakannya menggelegar, kuyakin orang-orang di luar juga dapat dengar. Aku tidak bisa maju lagi. Kakiku gemetar. Baru kali ini aku mendengar Ibu berteriak keras seperti itu.

Bahkan saat Ayah masih ada dan suka sekali memukul Ibu, tak pernah sekalipun Ibu berteriak kencang, hanya menangis tersedu-sedu sambil memohon agar aku tidak dipukuli seperti Ibu. Mataku melihat dua orang pria berpakaian familiar seperti ketika Ayahku menghilang ada di sini. Teman-temanku bilang pakaian itu merupakan seragam polisi. Mereka juga bilang polisi adalah orang-orang berkuasa yang dapat memasukkan orang ke dalam penjara... Kalau gitu, apakah Ayah datang lagi? Apakah Ayah meninggal?

Apakah Ibu masuk penjara?

Tapi, penjara itu apa? Mereka bilang penjara ialah tempat yang tidak bisa dikunjungi oleh orang lain. Apakah aku tidak bisa lagi melihat Ibu? Memikirkan hal tersebut dadaku jadi berdegup takut.

Tidak! Tidak! Ibu nggak seperti Ayah, Ibu orang baik! Sangat baik! Tidak mungkin ia masuk penjara! Kepalaku menggeleng keras, kakiku masih gemetar, tanganku terasa basah ketika aku mengepal.

Terus, sebenarnya kenapa? Apakah tidak ada orang yang mau memheritahuku?

Walau dengan kaki gemetar, aku tetap melangkah maju mendekati Ibu, tanganku terangkat ke depan mencoba menggapai sosok Ibu yang masih jatuh menangis histeris. Aku menyempil pada sela tubuh orang dewasa, mengusap-usap lembut punggungnya, senyum timbul di wajahku meski rasanya air hendak terjun dari mata.

"Ibu... I-ibu jangan menangis... Jangan membuat Raka sedih juga... Ibu k-kenapa? Tolong beritahu Raka..."

Aku masih belum cukup bodoh untuk mengerti apa yang terjadi.