Mentari pagi menembus kaca patri berwarna-warni, menari-nari di antara pilar marmer putih dan tirai renda emas. Kerajaan Virelia kembali membuka harinya dengan denting lonceng istana yang halus, nyaris seperti bisikan. Di balik megahnya dinding kastel, seorang gadis muda duduk diam di depan cermin besar bertatahkan permata. Dialah Putri Elira, satu-satunya anak Ratu Calesta—simbol keanggunan dan kesopanan di mata rakyat Virelia.
Tiga pelayan tengah menyisir rambut panjang perak Elira, mengaturnya menjadi gelombang sempurna sebelum mahkota kecil bertatahkan safir dilekatkan di atas kepalanya. Tak satu pun dari mereka berbicara lebih dari yang diizinkan. Di istana ini, bahkan pelayan pun dilatih menjaga etika. Suara yang tidak sopan bisa berarti pemecatan. Atau lebih buruk—dibuang ke dapur bawah tanah.
“Punggung lebih tegak, Yang Mulia,” bisik salah satu pelayan.
Elira hanya mengangguk. Sudah biasa. Ia sudah dilatih untuk tidak terlihat mengangguk terlalu dalam atau terlalu cepat—semuanya harus elegan. Segala sesuatu tentang dirinya harus dihitung: kecepatan napas, gerakan mata, bahkan panjang langkah saat berjalan. Kesalahan kecil bisa menjadi catatan panjang dalam Buku Tata Krama Kerajaan, sebuah kitab aturan tak tertulis yang dijunjung lebih tinggi daripada hukum.
Di sudut ruangan, berdiri seorang wanita paruh baya yang mengenakan gaun gelap dan syal kerah tinggi yang mencuat hingga ke telinga. Dialah Lady Vynne, kepala pengawas tata krama kerajaan. Wajahnya kaku seperti patung porselen tua. Di tangannya ada buku kecil yang selalu ia bawa, isinya penuh catatan harian perilaku sang putri.
“Hari ini, Anda akan menyambut tamu dari Kerajaan Eldorn,” kata Lady Vynne, suaranya dingin dan tanpa emosi. “Senyum Anda harus lembut tapi tegas. Jangan menunjukkan gigi. Posisi tangan selalu di atas paha, tidak lebih tinggi dari pinggang, tidak lebih rendah dari lutut. Anda mengerti, Putri Elira?”
Elira menatapnya sebentar dari balik cermin, lalu mengangguk sekali.
“Bagus. Ratu tidak menginginkan satu kesalahan pun.”
Menjelang siang, aula besar istana dipenuhi para bangsawan, prajurit kehormatan, dan dayang istana. Di ujung ruangan, takhta emas menjulang seperti gunung kecil, dilapisi karpet merah marun. Elira duduk di sebelah sang Ratu—ibunya—dengan gaun biru muda berhias bordir perak yang menggambarkan bunga anggrek kerajaan, simbol kesucian dan kendali diri.
Senyumnya terpahat tipis. Pandangannya tertuju ke depan, tidak terlalu tajam, tidak terlalu kosong. Ia telah dilatih untuk menatap seperti itu—tatapan seorang putri yang bijaksana, tenang, dan tak tergoyahkan.
Dari sisi timur aula, datanglah tamu yang dimaksud: Pangeran Kael dari Eldorn, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dengan jubah hitam dan rambut pirang sebahu. Senyum lebarnya seketika menciptakan bisik-bisik di kalangan dayang.
Kael membungkuk dengan penuh gaya. “Putri Elira, keanggunan Anda melampaui legenda yang sampai ke negeri kami.”
Elira tersenyum—12 derajat. Ia telah menghafal sudut itu sejak berumur tujuh.
“Selamat datang di Virelia, Yang Mulia Pangeran Kael,” ucapnya lembut. “Kami merasa terhormat atas kunjungan Anda.”
Percakapan berlangsung dengan skenario diplomatik. Kael mencoba bersikap santai, bahkan melontarkan beberapa lelucon. Tapi Elira tetap tenang. Hanya memberikan Senyum tipis. Tidak menanggapi terlalu akrab. Tidak menunjukkan kegembiraan berlebihan. Ia tak boleh salah membaca suasana, tak boleh menampilkan emosi pribadi. Ia bukan Elira, gadis biasa. Ia adalah Elira, simbol kerajaan.
Saat matahari tenggelam dan para tamu meninggalkan aula, Elira kembali ke kamarnya. Sepatu kaca putihnya dilepaskan pelan oleh pelayan, tapi ia mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka.
“Malam ini, aku ingin sendiri,” katanya singkat.
Para pelayan saling berpandangan, lalu menunduk dan meninggalkan ruangan.
Ketika kamar benar-benar sunyi, Elira berjalan pelan ke arah cermin yang sama tempat ia duduk pagi tadi. Tapi kali ini, ia tidak duduk. Ia berdiri menatap bayangannya sendiri.
Ia melepaskan mahkotanya dengan pelan. Tangannya gemetar.
> “Apa ini benar diriku?” bisiknya.
Ia menyentuh pipinya. Tadi ia tersenyum, berbicara, bahkan tertawa tipis saat pangeran itu bercanda. Tapi tak satu pun yang ia rasakan sungguh-sungguh. Seolah ia hidup di balik kaca, memerankan boneka.
Ia melangkah ke sudut ruangan, ke dekat tirai besar berenda yang menggantung dari langit-langit tinggi. Di baliknya, ada dinding polos berwarna krem. Ia mengambil potongan arang dari ujung lilin yang hampir padam di meja tulis.
Tangannya mengguratkan huruf besar di dinding:
> “AKU BUKAN BONEKA. AKU ADALAH ELIRA.”
Ia mundur satu langkah, menatap tulisan itu. Dadanya naik turun. Ada rasa takut, tapi juga kelegaan. Untuk pertama kalinya, ia berbicara tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya, ia menulis sesuatu bukan untuk dikoreksi Lady Vynne.
Tapi kesunyian itu tidak bertahan lama.
TOK TOK TOK.
Suara ketukan dari pintu depan kamar memecah keheningan. Elira tersentak, buru-buru menurunkan tirai menutupi tulisannya.
Dari balik pintu, terdengar suara pelayan:
> “Yang Mulia, Lady Vynne memanggil Anda. Sekarang.”
Waktu seakan berhenti. Jantung Elira berdetak keras. Apakah seseorang sudah melihat tulisannya?
Ia menarik napas. Lalu menatap bayangan di cermin satu kali lagi.
> “Kalau ini akan jadi akhirku,” gumamnya pelan, “biarlah aku berakhir sebagai diriku sendiri.”
Ia merapikan rambutnya, mengenakan kembali mahkota itu—yang kini terasa lebih berat dari biasanya—dan melangkah keluar dari kamarnya.
Tapi kali ini, langkahnya tidak ringan seperti yang diajarkan.
Langkahnya berat.
Langkah seseorang yang bersiap melawan.