Asap membumbung dari kejauhan. Langit memerah seperti daging yang dibakar. Tanah bergetar, udara memuakkan, dan suara-suara teriakan memekakkan telinga.
Perang hari ini... adalah perang terbesar sejak berabad-abad.
Violet berlari, napasnya memburu, jubah sihir putihnya kotor dan compang-camping, tapi dia tidak peduli. Di belakangnya, suara teriakan dan dentuman mantra bergema.
“Tangkap dia! Anak penyihir putih!”
Langkah kaki para pengejar terdengar berat dan tergesa. Violet tahu dia tak bisa berhenti. Di usianya yang baru dua belas tahun, ia bahkan tidak menguasai sihir. Tapi ketakutan memberinya kekuatan untuk terus berlari.
Dari sisi lain, seorang remaja lelaki juga berlari. Tubuhnya lebih tinggi, pakaiannya hitam, dan jubahnya terbakar di bagian pinggir. Luka di dadanya menganga, darah mengalir dari sela-sela jarinya yang menekan luka itu erat-erat.
Draco. Anak dari garis keluarga penyihir hitam terkuat yang tersisa.
Ia tahu pasukannya kalah jumlah. Ia tahu ia sedang diburu — dan ia tahu, luka ini akan membunuhnya jika ia berhenti terlalu lama.
Keduanya berlari menuju arah yang sama, dari sisi yang berlawanan. Ketika mereka sama-sama menoleh ke belakang, mereka tidak melihat ke depan—dan…
Brakk!!
Tubuh mereka bertabrakan keras.
“Akh!” seru Violet, terjengkang ke tanah.
“Ugh...” erang Draco, jatuh terduduk sambil memegangi dadanya.
Keduanya kaget. Tatapan mereka bertemu hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat Violet berteriak.
“AAAAH!”
Teriakan itu menembus udara,
Draco menunduk. Sial. Suaranya menarik perhatian.
“Cepat! Ke arah sana! Tadi ada suara!”
Draco mengangkat kepala. Matanya yang tajam menangkap wajah gadis itu. Rambut ungu yang kotor, mata besar yang ketakutan… dan simbol penyihir putih di jubahnya.
Suara langkah kaki mendekat. Violet refleks berdiri dan mulai berlari. Tapi ketika dia melirik ke belakang...
Dia melihat pria itu yang masih terduduk, Ia menatap sekeliling dengan panik, lalu kembali menatap anak lelaki itu. Violet akhirnya memutuskan untuk kembali dan membantunya.
“Kau terluka?…” tanyanya berjongkok di depan Draco. Ia melirik ke arah suara langkah yang mendekat. “Cepat! Sembunyi bersamaku!”
Draco terdiam.
Apa maksudnya…? Dia penyihir putih. Kenapa dia membantu penyihir hitam. Kenapa dia…?
“Cepat!” bisik Violet lagi, kali ini lebih keras. Ia berdiri lalu tangannya terulur ke arah Draco. Ia tahu itu berbahaya. Ia tahu siapa yang sedang ia tolong. Tapi dia juga tahu… kalau dia pergi sekarang, bocah lelaki itu akan mati.
Langkah kaki semakin mendekat. Draco sangat ragu. Tapi rasa sakit di dadanya menenggelamkan logika. Dia mengangkat tangannya. Draco menerima uluran itu.
Tangan mereka bersentuhan.
Violet menarik tubuh Draco dengan sekuat tenaga, membawa mereka ke balik akar pohon besar yang tumbang, menciptakan celah sempit cukup untuk bersembunyi.
Mereka masuk, dan beberapa detik kemudian…
Para prajurit putih dan hitam saling bertemu.
“Serang!”
Mereka langsung saling menyerang.
Ledakan mantra menggema. Cahaya hijau dan merah beradu di udara. Asap tebal mengepul. Langit malam semakin merah, bulan terlihat seperti api yang menyala.
Draco menahan nafas, darahnya masih menetes. Sementara Violet—ia membeku. Tubuhnya gemetar hebat.
Dia ketakutan… pikir Draco.
Apa ini pertama kalinya dia melihat perang sedekat ini?
Draco melirik ke arah gadis itu. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia seperti melihat hantu di depan matanya. Mungkin memang begitu. Perang ini… terlalu kejam bagi anak-anak.
“Hancurkan mereka semua!” teriak salah satu dari mereka.
Draco melirik dengan matanya. Ia mengenal suara itu. Suara Panglima sihir kerajaannya—Velmorth D'Arkan.
Ia merasa ada harapan, dan berpikir untuk keluar. Jika Velmorth melihatnya, mungkin ia akan diselamatkan.
Namun semua pikiran itu menghilang saat mantra itu terdengar.
“Exhumare Dolorem!”
Mantra terlarang—kutukan yang bahkan dalam perang, di tengah pertumpahan darah dan kekacauan, dianggap sebagai dosa terbesar.
Bukan hanya membunuh... mantra ini menghidupkan kembali seluruh rasa sakit terdalam dari jiwa yang diserang. Setiap luka, setiap trauma, setiap ketakutan yang pernah terkubur… dipaksa untuk muncul kembali, dan dibakar hidup-hidup dari dalam.
Korban yang terkena tak sekadar menjerit—mereka meratap seperti sedang ditarik ke dasar neraka. Tubuh mereka menggeliat, mata mendelik, lidah kelu. Rasa sakitnya tak terlukiskan… seolah-olah setiap sel tubuh dipaksa mengingat penderitaan tertua dari dunia ini.
Dan lebih mengerikannya lagi… mereka yang mati karena kutukan ini, tak akan pernah bisa bereinkarnasi. Roh mereka hancur, tercerai-berai, lenyap dalam kekosongan abadi.
Itulah sebabnya... Exhumare Dolorem tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicatat secara resmi, dan hanya dibisikkan dalam legenda penuh teror.
Draco sangat terkejut mendengar mantra itu. Perhatiannya langsung teralih pada Violet. Gadis itu menutup telinganya rapat-rapat dan menggigit bibirnya hingga berdarah, mencoba menahan tangis. Tangannya bergetar makin hebat. Tanpa pikir panjang, Draco meraih tangannya dan menggenggam tangan gadis itu.
Violet langsung membalas genggaman itu erat, seakan meminta kekuatan.
Di luar, suara teriakan mereda. Para prajurit telah berlalu, meninggalkan asap dan tanah yang lebih rusak dari sebelumnya.
Tapi di balik akar pohon, Draco tidak tahan lagi.
“Ugh…” desahnya. Darah mengalir dari mulutnya. Ia batuk keras, lalu tubuhnya limbung.
Violet refleks menahan tubuhnya.
“Kau terluka parah!” pekiknya.
Ia memeriksa luka di dada Draco. Dalam cukup parah, itu adalah mantra sihir putih, violet yakin.
“Apa yang harus kulakukan…” bisik Violet lirih. Suaranya pecah oleh rasa panik dan putus asa. Air matanya jatuh, meski sejak tadi ia berusaha keras menahannya. Tapi melihat luka menganga di dada pemuda itu, melihat darah yang terus mengalir… membuat hatinya runtuh.
Draco melirik ke arahnya. Pandangannya mulai kabur, warna di wajahnya pudar seiring waktu.
Ia tersenyum kecil—senyum yang menyakitkan.
“Apa Ibu juga akan khawatir… jika melihatku seperti ini…?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Tatapannya lekat ke wajah Violet. “Kau… mengingatkanku padanya…”
Violet menggertakkan gigi, menahan isak yang makin membuncah.
“Andai saja aku bisa sihir…” suaranya pecah, penuh amarah pada dirinya sendiri. “Aku tak bisa melakukan apa-apa…”
Draco tertegun. Ia memaksakan dirinya untuk menatapnya lebih jelas.
“Kau… tak bisa sihir?” tanyanya pelan, tak percaya.
Violet menggeleng pelan, diam. Hanya air matanya yang menjawab.
Draco menghela napas panjang. Udara masuk seperti bara, panas dan menyakitkan. Dunia di sekitarnya terasa jauh—hanya suara tangis Violet dan detak jantungnya sendiri yang masih terdengar di telinganya.
Dia tahu akhir itu dekat.
Lalu ia menutup matanya perlahan. Dalam gulita, bayangan seorang wanita muncul. Matanya lembut, senyumnya tenang, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin senja. Sosok yang tak pernah benar-benar pergi dari ingatannya.
“Ibu…” bisik Draco lirih, “…sepertinya aku akan segera menemuimu.”
Sejenak, ia biarkan dunia memudar. Tapi sebelum gelap itu menelannya, ia membuka mata lagi. Pandangannya tertumbuk pada Violet—gadis kecil itu masih di sana, menangis dalam diam, matanya basah tapi tak lepas menatap dirinya.
Wajah yang penuh luka dan abu, tapi justru tampak paling hidup. "Menyedihkan" gumamnya dengan senyum kecil.
Dengan sisa tenaga yang tinggal setipis napas, Draco mengangkat tangannya. Jemarinya yang berdarah menyentuh perlahan dahi Violet—tepat di tengah, seolah memberi tanda yang tak terlihat.
Tangisnya terhenti, Violet terdiam. Matanya membulat, tapi tubuhnya membeku.
"Aku hadiahkan... untukmu..." bisik Draco.
Dalam detik berikutnya, sesuatu yang hangat menjalar di dalam pikirannya. Ia tak tahu apa. Ia tak mengerti. Rasanya seperti percikan cahaya dalam kabut. Lembut… dan asing.
Violet tidak mengerti apa yang di lakukan Draco… dan ia tak akan menyangka, kalau momen itu akan mengubah segalanya.
Perlahan mata Draco tertutup. Tangannya terjatuh lemah, mengenai pipi Violet. Darahnya menodai wajah gadis itu—seperti cap yang takkan pernah hilang.
Dia jatuh dalam diam di pelukannya.