Violet membuka mata.
Namun tidak ada nyawa dalam tatapannya. Hampa. Bola matanya terbuka tapi tidak bergerak — seolah jiwanya masih tertahan di tempat lain. Seolah dunia nyata hanya bayang-bayang yang tidak mampu menjangkaunya kembali.
“Violet?” bisik Ravel, menggenggam tangan putrinya lagi, tangannya terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Namun tidak ada respon. Tidak ada kerlip mata, tidak ada perubahan ekspresi. Hanya diam… dan kehampaan yang menyesakkan.
“Violet, dengarkan Ayah…,” Ravel menahan napas. “Nak, ini Ayahmu…”
Masih tidak ada jawaban. Violet tetap menatap ke atas — tapi ke mana sebenarnya ia melihat?
Leon mencondongkan tubuhnya, wajahnya dipenuhi harap dan khawatir. “Violet… kau bisa dengar kami?”
Violet juga tidak merespon Leon. Matanya terbuka, tapi seolah jiwanya mengambang jauh dari tubuhnya.
“Kenapa… dia tidak merespon?” tanya Ravel panik. “Dia sadar, kan? Dia melihat kita, kan?!”
Sanctaris saling berpandangan. Satu di antara mereka maju perlahan. “Izinkan kami mencoba memeriksanya sekali lagi, Yang Mulia…”
Ketiganya berdiri membentuk formasi melingkar. Mantra kuno mulai dilantunkan, gemanya memenuhi ruang. Cahaya putih lembut muncul dari telapak tangan mereka, menyatu membentuk cahaya penyembuh yang menggantung di atas tubuh Violet.
Namun begitu cahaya itu menyentuh jiwanya—segalanya berubah.
Ledakan aura tak kasatmata melempar ketiganya mundur. Salah satu Sanctaris pria tersungkur ke lantai, tangannya hangus ringan, matanya membelalak tak percaya. Sanctaris wanita bahkan terbatuk keras, setetes darah menyusup dari sudut bibirnya.
“Tidak mungkin… jiwanya… menolak sihir penyembuh…” desisnya dengan suara tercekat.
“Mustahil!” sahut salah satu Sanctaris pria dengan suara tercekat. “Ini sihir murni. Penyembuh tingkat tertinggi… Jiwa manusia biasa seharusnya tidak bisa menolak ini. Bahkan jiwa seorang penyihir pun tidak…”
Ia terdiam. Ucapannya tergantung di udara.
Sejenak sunyi mengental di ruangan.
Sanctaris itu segera tersadar, wajahnya pucat. Ia merunduk dalam-dalam. “Ampun, Yang Mulia… Hamba tak bermaksud. Hamba hanya… tidak mengerti mengapa…”
Ravel mengepalkan tangannya. Napasnya naik-turun menahan emosi. Tatapannya menusuk ke arah si penyihir penyembuh itu, lalu turun menatap Violet—yang masih terbaring, diam, dengan napas pelan dan mata kosong seperti tak berjiwa.
Dan saat suasana semakin tegang, tiba-tiba Caleb bersuara, enteng tapi menusuk:
“Apa… karena dia penyihir cacat? Jadi dia tidak bisa menerima sihir?”
Plak!
Tangan Lady Thalia menghantam punggung tangan anaknya dengan cepat dan keras. Matanya melebar, penuh peringatan dan amarah.
“Caleb!” desisnya tajam. “Tutup mulutmu!”
Leon dan Ravel menoleh bersamaan. Wajah Leon berubah tegang, tak percaya mendengar kata itu keluar dari mulut Caleb disaat seperti ini. Sementara Ravel sudah berdiri penuh, suaranya meledak marah:
“Jaga bicaramu!”
Suara Raja Ravel bergema di seluruh ruangan. “Dia bukan anak cacat—dia adalah anak yang istimewa! Lebih kuat dan lebih berharga dari yang kalian semua tahu!”
Hening. Aura Ravel menekan udara seperti badai sebelum pecah.
Leon memalingkan wajah, mencoba menahan amarah. Tangan kanannya terkepal erat, buku jarinya memutih. Caleb menggigit bibir, tampak menyesal, tapi tak berani bicara lagi.
Lady Thalia segera membungkuk ketakutan. “Yang Mulia, hamba mohon maaf sebesar-besarnya. Hamba akan mengurus nya. Hamba akan membawanya keluar.”
Dengan cepat, ia menarik lengan Caleb dan membawanya menjauh, tanpa memberi ruang untuk perdebatan. Pintu tertutup di belakang mereka, menyisakan keheningan berat yang melingkupi Violet—dan misteri yang belum terungkap di dalam dirinya.
Sanctaris wanita menghapus darah dari bibirnya dengan gemetar, lalu kembali melangkah mendekat meski napasnya tertatih. “Ada sesuatu… atau seseorang… yang telah mengunci jiwa Lady Violet dari dalam. Seperti dua kekuatan besar yang saling bertarung dan menahan satu sama lain. Ini… bukan sesuatu yang pernah kami temui sebelumnya.”
“Mungkinkah…” Leon berbicara perlahan, “…ia terkena kutukan sihir hitam?”
Seketika ruangan hening.
Sanctaris tertua menarik napas berat, lalu berkata pelan,
“Mungkin… jika saat perang kemarin Lady Violet bertemu dengan penyihir hitam, kita tidak tahu apa yang mereka lakukan padanya. Apalagi… Lady Violet tidak bisa melawan.”
Kata-katanya menggantung di udara, menusuk semua yang mendengarnya.
Wajah Raja Ravel mengeras. Ia menatap putrinya dengan campuran ngeri dan kesedihan. “Tidak… Violet tidak mungkin…”
Tiba-tiba, tubuh Violet mulai bergetar.
Pelan, nyaris tak kentara. Tapi getar itu cepat menjalar—menjadi kejang halus yang terus membesar. Bahunya terangkat-angkat seperti menahan sesuatu yang menyakitkan. Napasnya tersengal, pendek dan berat, seolah paru-parunya menolak udara.
Ujung jarinya—yang tadinya hanya pucat—mulai membiru. Bibirnya pun kehilangan warna, berubah kebiruan seperti bunga musim dingin yang beku. Tapi tak ada hawa dingin dari tubuhnya. Justru sebaliknya.
Suara lirih dan patah-patah keluar dari sela napasnya.
“P… a… n… a… s…”
Kata itu nyaris tak terdengar, hanya desahan kering yang menyelinap keluar. Tapi cukup jelas untuk membuat semua yang hadir menoleh padanya.
Ravel langsung mendekat, berlutut di sisi putrinya. Tangannya menggenggam tangan Violet—dan ia terhenyak.
Dingin. Sedingin es.
Bahkan lebih dingin dari tubuh yang tak bernyawa.
“Kau sangat dingin,” gumam Ravel, mencoba menahan gemetar di suaranya. Ia menyentuh pipi Violet dengan punggung tangannya, “Kau kedinginan…”
Namun Violet tak merespons. Tatapan matanya kosong dan membeku. Tubuhnya tetap bergetar, dan hanya satu kata yang terus keluar dari mulutnya.
“Panas…”
Ravel terdiam. Ia menatap anaknya lekat-lekat—matanya terbuka penuh, tetapi tak fokus. Iris Violet tampak buram, seperti berkabut dari dalam. Napasnya tidak normal. Tubuhnya berkeringat seperti demam tinggi, tapi kulitnya tetap sedingin salju.
Sanctaris wanita mendekat, matanya melebar penuh kekhawatiran. “Tidak… ini bukan gejala kutukan biasa. Tubuh dan jiwanya… seperti sedang terbakar dari dalam, tapi membeku di luar. Ini bertentangan. Ini…”
“Tidak masuk akal,” potong Sanctaris pria, menunduk sambil memegangi buku mantra, tangannya gemetar.
Di ranjang itu, Violet terus bergetar. Tubuhnya terlihat seperti dipaksa menahan sesuatu yang ingin meledak keluar, tapi tak bisa.
Sementara dari bibirnya, tetap satu kata yang terucap—lemah, putus-putus, menyayat udara:
“Panas…”
Kekacauan menyelimuti ruangan.
Ravel sudah tidak lagi berdiri tenang. Ia berjalan mondar-mandir di sekitar tempat tidur Violet, matanya merah, napasnya berat, dan tubuhnya gemetar hebat. Tangannya mengepal lalu terbuka lagi, terus seperti itu, sementara wajahnya dilumuri air mata yang tak berhenti mengalir.
“Violet… Violet… bangunlah… Tolong jangan tinggalkan Ayah…” Ia jatuh berlutut di sisi putrinya, suaranya parau penuh kepanikan. “Tuhan… Dewa sihir… siapapun kalian… tolong…” Ia tak lagi peduli akan harga diri atau wibawa sebagai raja. Ia hanya seorang ayah yang takut kehilangan anak semata wayangnya.
Di sisi lain, para Sanctaris sudah kewalahan. Dua di antaranya basah oleh keringat dingin, bahkan yang pria tertua menggigil sambil terus melafalkan mantra pelindung untuk menahan aura liar dari tubuh Violet. Tapi percuma—sihir mereka mental, seperti dua kutub energi saling bertabrakan.
“Ini—ini tidak masuk akal…” gumam salah satu dari mereka. “Jiwa itu seolah meledak dari dalam, tapi tubuhnya membeku di luar…”
“Tidak mungkin jiwa manusia bisa seperti ini… bahkan bukan seperti kutukan biasa… ini… ini…” Dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Di tengah semua itu, Leon tiba-tiba terdiam. Matanya membelalak, seolah baru sadar sesuatu. Tanpa menjelaskan apa pun, ia berlari keluar ruangan, langkahnya tergesa, suara sepatunya bergema keras di lorong panjang kastel.
Beberapa menit berlalu dalam kegilaan dan jeritan Violet yang masih bergumam, “Panas… panas…”
Lalu pintu terbuka keras.
Leon kembali dengan napas terengah, peluh membasahi pelipisnya. Di belakangnya, seorang anak laki-laki mungil mengikuti langkahnya dengan ragu. Usianya kira-kira seumuran Violet. Kulitnya pucat, rambutnya hitam legam dan acak-acakan, dan sorot matanya… gelap seperti jurang. Jubah hitam yang dikenakannya berhias lambang naga merah—jelas, ia bukan dari kalangan penyihir putih.
Sanctaris yang melihat langsung berseru, “Apa yang anda lakukan, Tuan Leon? Kenapa kau membawa… tawanan penyihir hitam ke sini?”
Leon menatap mereka serius. “Dia bukan sembarang anak. Dia penyihir hitam. Mungkin… mungkin dia tahu sesuatu. Kalau ini kutukan dari sihir hitam, siapa lagi yang lebih mengerti selain mereka?”
Sanctaris tampak menolak, “Yang Mulia, dia hanya anak kecil. Mana mungkin dia tahu sihir serumit ini…”
Ravel langsung membentaknya, “Diam. Aku akan melakukan apapun… Apapun… demi menyelamatkan putriku.”
Anak itu menatap Violet. Matanya menelusuri tubuh yang menggigil hebat, bibir membiru, namun mulut tetap menggumam panas. Ia mendekat perlahan. Lalu menoleh pada semua orang.
Ia mengangguk pelan. “Saya akan mencoba,” ucapnya datar.
Ravel segera memberikan jalan. Dia mengamati dengan penuh harap.
Anak itu berdiri di sisi Violet. Sekilas menatap sekitar, memastikan semua mata tertuju padanya. Lalu ia menyentuh tangan Violet. Begitu menyentuh, tubuhnya menegang. Matanya membulat lebar, seolah tahu sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Ravel membungkuk cepat. “Bagaimana?! Kau tahu kenapa dia begini?!”
Anak itu menarik napas panjang. Lalu perlahan menatap Ravel. Dengan suara pelan tapi tegas:
“Jika saya menyembuhkannya… apa anda mau melakukan apa yang saya minta, yang mulia?”
“Kurang ajar!” bentak Sanctaris. Tapi Ravel menghentikannya dengan satu gerakan tangan.
“Apapun.” jawab Raja. Matanya menatap lurus, tanpa ragu. “Katakan saja.”
Anak itu mengangguk. “Jangan biarkan sihir putih menyentuhnya. Bisakah kalian melakukan itu?”
Semua orang terdiam.
“Ke… kenapa…?” tanya Ravel, bingung dan waspada.
Anak itu menatap Violet. Suaranya masih datar, tapi menyimpan kepedihan.
“Dia dikutuk,” jawab anak itu datar. “Terlahir tanpa sihir… dan kutukan ini akan tumbuh bersamanya. Sihir putih… akan membakarnya dari dalam.”
“Itu juga berarti… dia tak bisa menikah…” ucap anak itu, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tubuh Violet kembali menggigil hebat. Nafasnya pendek-pendek, dan dari bibirnya yang membiru, gumaman lirih kembali terdengar, “Panas…”
Semua orang terpaku. Suasana tegang seketika membeku.
Leon memucat. Kata-kata tadi menghantamnya seperti tombak yang menembus dada. Seolah masa depan yang selama ini ia bayangkan… hancur dalam satu tarikan napas.
Ravel pun menunduk sesaat, matanya berkaca-kaca. Tapi ia segera mengangkat wajahnya dengan ketegasan penuh, meski suaranya bergetar.
“Aku akan lakukan apa pun… asalkan putriku tetap hidup.”
Anak itu mengangguk.
Ia menyentuh tangan Violet, lalu mengalir ke lengan, naik ke bahu, lalu menempelkan jari ke dahi Violet. Di titik itu, ia memejamkan mata.
Seketika cahaya merah menyala lembut. Tidak meledak. Tapi menyebar seperti nyala perapian yang menenangkan badai salju. Aura panas dan dingin yang tadinya saling bertabrakan… mulai melebur jadi satu.
Semua yang ada di ruangan terdiam menyaksikan.
Perlahan, napas Violet mulai teratur. Gemetar di tubuhnya mereda. Warna bibirnya mulai kembali, dan kata “panas” berhenti terucap.
Anak itu membuka mata. Ia menarik tangannya perlahan lalu menyentuh rambut Violet yang berubah menjadi putih. Dia menghela napas berat, seperti telah kehilangan sesuatu. Ia menunduk dalam dalam, lalu menatap Violet yang sekarang tertidur.
“Tubuhnya akan tetap sedingin es… tapi jiwanya tidak akan terbakar lagi.”
Ia berbalik perlahan, memunggungi Violet.
“Saya hanya bisa membantu sampai di situ.”
Dan di matanya, sekilas… tampak air mata yang tergenang di mata anak itu.