Luka yang Tak Terlihat

Langit pagi terlihat cerah dari jendela kamar Violet. Cahaya lembut menari di atas lantai marmer saat Raja Ravel menyendokkan bubur hangat dari mangkuk kecil.

Lalu suara ketukan pintu menghentikan kegiatan nya “Sebentar ya,” ucap Ravel lembut, sebelum meletakkan mangkuk di meja kecil dan berdiri. Violet hanya mengangguk pelan.

Ia memandangi keluar jendela. Di kejauhan, bangunan-bangunan yang sempat roboh saat perang kini tampak berdiri tegak kembali. Cahaya hijau menyala—membetulkan tembok, menumbuhkan kembali taman yang hangus, dan menyembuhkan luka-luka yang tak kasat mata.

Semua orang sibuk dengan tugas mereka. Tapi Violet hanya bisa diam melihat semua orang bekerja keras.

Ravel menghampiri Jenderal Caelis yang baru saja kembali. Pria berwajah tegas itu berbisik pelan di dekat Raja, suaranya nyaris tak terdengar. Violet hanya bisa mengamati dari jauh.

Tak lama kemudian, Ravel menghela napas panjang dan mengangguk. Caelis membungkuk lalu segera pergi.

Ravel kembali duduk di samping Violet, mengambil mangkuknya lagi.

“Ada apa, Ayah?” tanya Violet. Suaranya sudah lebih stabil. Wajahnya terlihat segar, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih.

Ravel menatapnya sejenak sebelum menjawab, suaranya berat, “Laporan. Katanya… putra tertua kerajaan sihir hitam terluka parah. Dan… putra keduanya masih belum ditemukan.”

Violet mengernyit. “Itu sebabnya mereka mundur?”

Ravel mengangguk pelan.

“Kalau begitu…” ucap Violet pelan, matanya menerawang. “Apa akan ada perang lagi? Kalau putra mereka tak selamat… dan putra kedua mereka masih belum ditemukan… mereka pasti akan menyalahkan kita.”

Ravel tak langsung menjawab. Kalimat putrinya itu menyentuh titik kekhawatirannya yang terdalam.

Setelah jeda lama, Violet kembali bertanya, “Sebenarnya… kenapa mereka tiba-tiba menyerang? Padahal selama ini kita hidup terpisah. Aman. Damai.”

Ravel menarik napas dalam. “Ayah dengar... mereka mencurigai kita telah menculik putra kedua mereka. Tapi tak ada bukti. Dan tak satu pun penyihir putih yang mengetahui soal itu.”

“Jadi… itu cuma kesalahpahaman?” gumam Violet.

“Seharusnya begitu,” jawab Ravel, nadanya penuh beban. “Tapi sampai sekarang… putra kedua mereka belum ditemukan. Dan dengan kondisi putra tertuanya yang sekarat… Ayah rasa Raja Lucius memilih fokus menyelamatkan anak tertuanya, ketimbang berperang lagi.”

“Kenapa mereka langsung menyerang?” tanya Violet, alisnya mengernyit. “Kalau itu hanya kesalahpahaman... bukankah mereka bisa datang dan bertanya lebih dulu?”

Nada suaranya jujur, polos—tapi penuh logika yang tajam.

Ravel terdiam sejenak. Matanya menatap lantai, dalam.

“Memang seharusnya begitu,” ucapnya akhirnya. “Namun entah apa yang membuat Raja Lucius begitu marah.”

“Dengan perang pun… putranya tidak ditemukan,” ucap Violet pelan. Tatapannya menerawang ke luar jendela. “Bahkan dia harus menerima kalau anak tertuanya terluka parah…”

Ada nada prihatin dalam suaranya. Entah mengapa, pikirannya tertuju pada pria yang terluka itu—seseorang yang bahkan tidak ia kenal.

Ravel melirik putrinya, mengamati perubahan ekspresinya yang tak biasa. Ia lalu berbicara lembut namun tegas,

“Sudah… jangan terlalu dipikirkan. Fokuslah pada pemulihanmu. Ayah ingin kau benar-benar pulih.”

Violet menunduk. Matanya tampak sayu.

“Semoga… putra keduanya segera ditemukan. Agar kesalahpahaman ini bisa berakhir. Dan… tak ada yang terluka lagi.”

***

Ravel duduk di meja kerjanya. Ujung penanya terhenti di atas kertas, tintanya mulai menetes, tapi ia tidak menyadarinya.

Pikirannya melayang jauh… kembali pada laporan terakhir dari Caelis.

“Maaf yang mulia, aku kehilangan jejaknya,” ucap Caelis saat itu. “Anak itu sangat cepat dan kuat. Kurasa dia menyadari aku mengikutinya, dan itu tidak mungkin jika dia hanya penyihir biasa. Kurasa… dia adalah penyihir yang terlatih.”

Ravel pun merasakan hal yang sama. Tatapan anak itu terlalu tenang untuk usianya. Sihirnya… tak seperti sihir anak-anak biasa, Ravel sudah merasakan sesuatu yang aneh.

Ia juga masih mengingat ucapan Leon sebelumnya—yang dengan yakin mengatakan bahwa Noiro bukanlah anak kecil biasa.

Akhirnya, tanpa menunggu lebih lama, Ravel memanggil Leon. Ia mengirim utusan untuk memintanya datang langsung ke ruang kerja.

Tak butuh waktu lama, pintu diketuk pelan.

“Masuk,” ucap Ravel tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.

Leon melangkah masuk, membungkuk singkat. “Yang Mulia memanggil saya?”

Ravel mengangguk pelan, lalu menunjuk kursi di depannya. “Duduklah.”

Leon menuruti, meski wajahnya sedikit tegang. Ada sesuatu yang berat di ruangan ini—dan ia bisa merasakannya.

Beberapa detik hening berlalu sebelum akhirnya Ravel membuka suara. Nada suaranya tenang, tapi mengandung tekanan halus.

“Kau bilang waktu itu… Noiro bukan anak biasa.” Ia menatap Leon tajam. “Apa maksudmu?”

Leon menarik napas, lalu menjawab jujur, “Waktu itu, saya menemukannya saat sedang mencari Violet. Dia dikepung oleh dua penyihir hitam. Saya sempat ingin menolongnya, tapi… sebelum saya sempat bergerak, anak itu sudah lebih dulu menghabisi mereka.”

Ravel mengangkat alis, tapi tetap diam mendengarkan.

“Lalu…” lanjut Leon, suaranya menurun, “Saat itu saya mendengar ada yang mengucapkan mantra terlarang. Tak jauh dari jarak kami berada. Tapi Noiro tidak menyadari. Saya segera menyeretnya pergi, dan menitipkannya sementara di penjara bawah tanah. Setelah itu, saya kembali mencari Violet.”

Ravel menautkan jari-jarinya. “Jadi… sejak awal kau tahu dia bukan anak biasa.”

Leon mengangguk perlahan. “Benar, Yang Mulia. Saya mohon maaf karena tidak langsung melaporkannya. Saat itu keadaan terlalu kacau.”

“Lalu kenapa,” Ravel menatapnya lekat, “anak itu menyerang sesama penyihir hitam?”

Leon menggeleng pelan, wajahnya terlihat ragu. “Saya juga tak tahu. Saya sempat menanyakannya, tapi dia hanya menjawab… ‘Itu bukan urusanmu.’”

Ravel kembali bersandar di kursinya. Pikirannya dipenuhi benang kusut yang belum bisa ia urai. Jika benar Noiro berasal dari pihak musuh… kenapa dia justru menyelamatkan Violet dan membunuh penyihir hitam?

***

“Ibu, kau menghukum terlalu keras…” gerutu Caleb sambil meringis. Ia memegangi kakinya yang dipukul dengan tongkat milik ibunya.

Thalia menatap tajam ke arah putranya. “Itu karena kau bicara sembarangan.”

Caleb mendengus, masih kesal. “Memangnya salah? Itu kan memang benar. Violet itu anak cacat. Dia hanya beruntung karena terlahir sebagai anak Raja. Kalau bukan, dia pasti sudah dibuang atau dibunuh sejak lama.”

“Caleb!” bentak Thalia tajam, suaranya bergema di dinding ruang duduk pribadi mereka.

Matanya menyipit. Ia menurunkan suaranya, tapi penuh tekanan. “Sudah Ibu katakan… kau harus menjaga ucapanmu. Apalagi di hadapan pamanmu sendiri. Bagaimanapun, Violet adalah satu-satunya anak Raja. Dan kau… seharusnya kau bersyukur karena anak itu tidak punya sihir.”

Caleb memandang ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu?”

Thalia mendekat, membungkuk sedikit dan berbisik di dekat telinga anaknya, “Tanpa sihir, dia tak bisa mewarisi tahta ayahnya. Itu artinya… kau, Caleb. Kau satu-satunya kerabat darah Raja. Kau yang akan jadi pewaris berikutnya.”

Mata Caleb membesar. “Sungguh? Aku bisa jadi raja?”

Thalia tersenyum tipis, licik. “Tentu saja. Kau pikir kenapa Ibu selama ini mau bersusah payah mengurus anak itu? Itu semua agar Ravel percaya… bahwa kita adalah keluarga yang setia. Agar Violet tak pernah mencurigai apa pun.”

Caleb terlihat berpikir sejenak. “Tapi… bagaimana kalau dia menikah nanti?”

Senyum Thalia makin melebar, kali ini lebih sinis. “Memangnya siapa yang mau menikahi gadis cacat? Sekalipun dia anak Raja, tak ada bangsawan waras yang mau mempertaruhkan garis keturunannya. Mereka pasti takut anak-anak mereka lahir lemah atau tidak punya sihir juga.”

Tawa ringan keluar dari mulut Caleb, diikuti oleh senyum puas dari Thalia.

Di balik tirai topeng manis mereka pada dunia… dua ambisi tengah tumbuh liar, menyebar seperti racun.