Taman dalam istana telah diperbaiki dengan sihir. Rerumputan tumbuh kembali, pohon-pohon berdiri tegak, dan bunga-bunga bermekaran seperti tak pernah ada perang. Udara di sana harum dan sejuk, angin membawa aroma tanah basah dan kelopak mawar yang baru merekah.
Violet dan Leon berjalan pelan di jalan setapak berkerikil putih. Suara langkah mereka nyaris tak terdengar. Di sampingnya, Leon bicara—tentang upacara tadi, tentang para Elyssari, tentang kekhawatiran ayah Violet. Tapi gadis itu hanya diam, tatapannya kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Ia menunduk, menatap kedua telapak tangannya.
Tangan yang sama yang tadi disentuh oleh anak kecil bernama Aerielle.
Tangan yang disebut ‘dingin’.
Leon akhirnya menyadari keanehan itu. Ia menghentikan langkahnya, memiringkan kepala ke arah Violet.
“Kau… baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Violet tidak menjawab.
Leon segera menggandeng tangannya, membimbingnya duduk di bangku marmer dekat kolam kecil yang airnya tenang memantulkan langit siang.
“Kalau kau merasa tak nyaman… kita bisa kembali,” ujar Leon khawatir, berjongkok di hadapan gadis itu.
Tiba-tiba, Violet mengangkat tangan dan menyentuh wajah Leon. Jari-jarinya menyentuh pipi pemuda itu dengan lembut.
Leon tersentak. Sentuhan itu dingin, seperti embun pagi di musim dingin.
“Leon,” tanya Violet dengan suara pelan dan polos, “apa kau merasakan tanganku dingin?”
Leon mengerjapkan matanya. “E-emm… yah, agak dingin,” jawabnya ragu, takut membuat Violet cemas.
Violet menarik kembali tangannya. Ia menatapnya sejenak, lalu perlahan menyentuh jari-jarinya sendiri. Kemudian ia letakkan tangannya di pipinya.
“Aku juga… merasakan ini dingin,” bisiknya pelan.
Ia mengerutkan kening, bingung.
“Tapi… aku tidak merasa kedinginan.”
Ia menoleh ke arah Leon, matanya menyiratkan pertanyaan yang bahkan ia sendiri belum bisa mengerti.
“Kalau aku tidak menyentuh diriku sendiri… aku tidak tahu kalau aku sedingin ini…”
Leon hanya terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh Violet. Fenomena itu masih jadi misteri — bahkan para Sanctaris pun belum memberi jawaban pasti. Tapi ia tak ingin membuat Violet khawatir.
“Itu karena kau belum pulih sepenuhnya,” ucap Leon akhirnya, suaranya tenang.
Violet menoleh pelan. Matanya memantulkan cahaya lembut dari kolam kecil di dekat mereka.
“Leon…” bisiknya, “apa aku terkena sihir kutukan yang mematikan?”
Pertanyaan itu membuat Leon kembali diam. Hatinya terasa mengeras. Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi ia tak bisa membiarkan Violet takut. Tidak sekarang.
“Tidak,” jawabnya, memaksakan senyum, “kau pasti akan pulih.”
Violet menatapnya, curiga. “Kenapa kau yakin? Apa kau tahu aku terkena kutukan apa?”
Leon menghela napas pelan. Ia menunduk sesaat, lalu menatap Violet kembali.
“Aku tak tahu,” jawabnya jujur. “Tapi melihat kau masih hidup, bisa duduk di sini dan bicara denganku… aku yakin, itu bukan kutukan mematikan. Kau akan pulih.”
Violet menunduk. Ia kembali menatap tangannya. Diam-diam, ia mencoba percaya. Tapi tetap saja… hatinya masih ragu.
“Jangan terlalu dipikirkan,” kata Leon sambil mengacak-acak rambut Violet. “Kau masih kecil, jadi bersikaplah seperti anak kecil.”
“Leon…” Violet cemberut, menepis tangan Leon. “Aku juga bukan anak kecil, aku sudah dua belas tahun.”
Leon tertawa, lepas. “Bagiku kau masih anak kecil,” candanya.
Violet mendengus kesal. Ia paling tidak suka dibilang begitu — apalagi oleh Leon.
Melihat wajah gadis itu berubah diam, Leon menghentikan tawanya. Ia sedikit panik.
“Eh? Kenapa?” tanyanya, kini dengan nada lembut.
Violet tidak menjawab. Matanya menatap kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hei… Violet… baiklah, kau bukan anak kecil… kau sudah dua belas tahun,” ucap Leon, kini lebih lembut, berusaha menenangkan.
Namun saat wajah Leon semakin khawatir, tiba-tiba Violet tertawa. Ringan dan jernih, seperti air yang jatuh di atas kaca.
Leon tertegun. Suara itu…
Tawa itu membuat dadanya terasa hangat. Seperti sudah lama ia tak melihat senyum itu — sejak Violet kembali dari hutan dalam keadaan nyaris tak bernyawa.
Ia ikut tersenyum kecil. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri:
"Aku akan terus menghidupkan senyuman itu"
Violet perlahan berhenti tertawa. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Leon yang duduk di sampingnya.
"Malam itu... bagaimana kau menemukanku? Bagaimana akhirnya kita bisa bersama malam itu?" tanyanya pelan.
Leon menoleh. Wajahnya berubah serius. Tatapannya tidak lagi bermain-main seperti sebelumnya.
"Saat itu... aku terus mencarimu," ucapnya.
—
Malam itu, langit di atas istana telah dipenuhi asap dan suara sihir bertabrakan. Leon berlari menerobos lorong istana yang sudah hancur sebagian. Napasnya memburu, jubah tempurnya kotor, dan matanya liar mencari satu hal—Violet.
"Violet!! " teriaknya, tak peduli siapa yang mendengar. Ia melintasi pelayan-pelayan yang lari menyelamatkan diri, reruntuhan pilar, dan tubuh-tubuh yang tergeletak tak bergerak. "Di mana anak itu!" gumamnya.
Beberapa jam sebelumnya, Leon baru saja menyelesaikan latihan Sihrabelum—latihan tempur sihir tingkat tinggi yang dikhususkan bagi para pelindung istana. Tubuhnya masih dilapisi keringat dan debu mantra ketika Jenderal Celies, panglima pasukan sihir kerajaan, datang menghampiri dengan napas berat.
“Kerajaan sihir putih diserang... mendadak,” ujar sang jenderal tanpa basa-basi.
Dan satu-satunya yang muncul dalam pikirannya saat itu adalah nama Violet.
Leon langsung berlari dan kembali ke istana secepat mungkin. Namun ketika ia tiba, kehancuran sudah terjadi. Api di mana-mana. Teriakan. Mayat. Darah. Mereka menyerang tanpa ampun. Bukan hanya prajurit, tapi juga para pelayan, ibu-ibu, anak-anak, bahkan penyihir sipil. Tak peduli.
"Violet!!" teriaknya lagi.
Ia berlari menuruni tangga utama, menyusuri koridor menuju ruang pribadi Violet. Kosong.
"Violet..." gumamnya, napas memburu. Ia mendobrak pintu ruang penyembuhan, aula kecil tempat Violet biasa membaca, dia tidak ada di istana.
Tidak ada.
Tubuhnya mulai gemetar, bukan karena lelah—tapi karena ketakutan. Bukan sebagai prajurit, tapi sebagai lelaki yang akan hancur bila perempuan itu tidak ditemukan.
Ia kembali ke lorong utama, matanya liar, langkahnya hampir limbung.
“Jawab aku… Violet... kau di mana…”
Lalu, di tengah lorong yang sepi, dipenuhi debu dan puing-puing yang jatuh dari langit-langit,
sebuah suara lirih terdengar:
"...Tolong... Lady Violet... "
Leon terdiam sejenak. Nafasnya terputus, jantungnya berdegup keras. Ia menoleh cepat ke arah asal suara.
Di balik tumpukan batu dan serpihan kayu, seorang tubuh terbaring lemah. Sosok yang dikenalnya—Lira, pelayan pribadi Violet.
Tubuh nya dipenuhi luka, sebagian hangus, sebagian tertusuk pecahan kaca. Napasnya pendek, hampir tak terdengar.
Leon berlari menghampiri, berlutut di sisinya.
“Lira! Hei! Lira!”
Lira membuka mata perlahan. Mata itu berkaca, tubuhnya menggigil. Saat bibirnya mencoba bergerak, hanya desahan pelan yang keluar.
Leon menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Lira.
“Katakan… aku di sini… katakan di mana Violet...”
Lira mencoba bicara, tapi tenggorokannya berdarah. Suaranya tercekik.
Bibirnya bergetar, hanya satu kata yang jelas:
“Tuan... Leon…”
Leon menggenggam tangannya yang dingin, penuh luka.
“Aku di sini, dengar aku… tetaplah sadar…”
Lira menelan darah. Tubuhnya kejang sebentar sebelum mereda. Ia memaksa mengangkat tangan, menunjuk samar ke arah luar jendela yang hancur.
“Lady… Vio… let…”
“Ke… hutan…”
Suaranya hampir tak terdengar. Leon harus mendekat lebih dalam, hampir menempel.
“…Ke… hutan… per… batasan…”
Suaranya serak, nyaris hanya bisikan yang dicuri waktu. Kata itu keluar dengan sisa tenaga terakhir yang ia miliki,
seolah seluruh hidupnya kini hanya ditujukan untuk mengucapkan satu hal:
menjaga Violet.
Leon membuka mulut—ia ingin mengatakan sesuatu, ingin memanggilnya, menahannya untuk tetap bertahan.
Namun terlambat.
Lira menghembuskan napas panjang… dan tak menariknya kembali.
Matanya terbuka, tapi tidak lagi melihat.
Tangannya yang sempat menunjuk kini jatuh di lantai, lepas dari kehidupan.
Leon terpaku. Ia bahkan belum sempat menyelamatkan, belum sempat mengucapkan terima kasih atau janji perlindungan.
Yang tersisa hanya keheningan dan satu arah:
hutan perbatasan.
Kata-kata itu menggema dalam kepala Leon. Itu tempat yang sangat berbahaya. Saat perang, di sana pasti penuh dengan prajurit sihir hitam.
Tanpa pikir panjang, Leon langsung berlari menuju perbatasan. Langkahnya cepat, tanpa arah pasti, hanya berbekal harapan. Di tengah jalan, ia bertemu seorang anak lelaki berjubah hitam dengan mata tajam yang sedang di kepung , anak yang memperkenalkan diri sebagai Noiro. Setelah memastikan anak itu aman, Leon kembali ke hutan perbatasan.
Nalurinya berkata untuk mengikuti arah suara yang meneriakkan mantra terlarang—suara yang sempat ia dengar sebelumnya.
Tanpa ragu, Leon mulai berjalan cepat.
"Jangan... jangan Violet..." gumam Leon panik.
Ia mempercepat langkahnya, tubuhnya nyaris jatuh saat menerobos semak-semak dan rumput tinggi. Jantungnya berdegup keras, terlalu keras, seperti ingin meloncat keluar dari dadanya.
Rasa takut itu menjeratnya.
Dan di kepalanya—
bayangan-bayangan mengerikan mulai muncul.
Bagaimana jika suara kutukan itu…
…ditujukan untuk Violet?
Ia menggeleng cepat, menolak imajinasi buruk yang menari di kepalanya. Tapi suara kutukan tadi terus terngiang,
dan nalurinya terus memaksanya berlari lebih cepat.
Langkahnya tak bisa berhenti.
Hingga akhirnya, di balik pohon besar yang tumbang, ia melihat tubuh kecil meringkuk. Cahaya bulan memantul samar di lambang phoenix merah di jubahnya. Itu Violet.
"Violet!!"
Leon langsung menghampiri. Ia memeluk tubuh Violet yang terdiam .
Leon senang—itu dia.
Namun kegembiraan itu seketika berubah menjadi kepanikan saat melihat wajah Violet dipenuhi darah. Disamping gadis itu juga , banyak tetesan darah. Nafasnya tercekat. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah Violet, mencoba membangunkannya.
"Violet… hei... jawab aku..."
Darah itu… begitu banyak. Namun saat Leon membuka kerah jubah Violet perlahan dan memeriksa tubuhnya, ia sadar—itu bukan darah milik Violet. Luka-lukanya memang ada, goresan di tangan, di kakinya, sedikit sobekan di pipi, tapi tidak ada luka besar. Tidak ada yang cukup parah untuk mengalirkan darah sebanyak itu.
Leon memeluk Violet perlahan, merapatkan jubahnya ke tubuh gadis kecil itu.
“Aku menemukanmu... Violet...” gumamnya lega namun takut, seolah tak berani mempercayai bahwa gadis ini benar-benar masih hidup.
Namun ia tak bisa tinggal diam terlalu lama.
Dari kejauhan, suara sihir dan ledakan masih terdengar. Istana juga masih diserang. Cahaya sihir berpendar di langit seperti kilat yang membelah malam. Tak ada tempat aman.
Leon segera menengok sekeliling dan mengangkat tubuh kecil Violet ke dalam pelukannya. Ia tahu ia tak bisa kembali ke istana sekarang, terlalu berisiko. Maka ia mencari tempat perlindungan sementara.
Ia membaringkan Violet dengan hati-hati. Ia duduk di sisinya, menggenggam tangan mungil gadis itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya—Leon merasa takut kehilangan.