Mulut Ashton menghancurkan milikku tanpa basa-basi, tanpa peringatan, tanpa keraguan.
Panas, kuat, dan benar-benar tak kenal ampun—dia mencium seolah dia memiliki bibirku, napasku, bahkan jiwaku sialan.
Aku terkesiap, mencoba menarik diri, tapi dia sudah masuk, sudah mengambil alih.
Lidahnya menerobos perlawanan bibirku seolah memang seharusnya berada di sana, dan mungkin memang begitu, karena tubuhku sama sekali tidak menolak.
Tanganku refleks terangkat, telapak tanganku rata di dadanya—tapi alih-alih mendorongnya menjauh, tanganku malah mencengkeram kain kemejanya seolah itu satu-satunya hal yang membuatku tetap terikat.
'Ashton—tunggu, hanya—' Aku mencoba bicara, tapi yang keluar hanyalah gumaman terengah di mulutnya, terpotong oleh kekuatan dirinya.
Dia tidak menunggu.
Dengan gerakan mulus yang membuatku pusing, dia melingkarkan satu lengan di pinggangku dan menarikku ke pangkuannya.
Kursi berderit di bawah kami, seluruh mobil sedikit bergeser dengan gerakan itu.