Pesan misterius dan Pertengkaran

l

POV Tiara

Rumah ini terlalu sunyi untuk kusebut rumah.

Terlalu dingin... untuk kusebut pernikahan.

****************

 

Malam ini aku sulit untuk tidur. Setelah mendengar ucapan Mas Deva, tubuhku menolak untuk beristirahat, seolah luka yang baru saja ia goreskan menuntut perhatian penuh. Kalimat terakhir Mas Deva masih terbayang-bayang di kepalaku, ucapannya menari-nari bersama bayangan wajahnya yang dingin.

"Aku tidak membencimu, Tiara. Aku hanya tidak peduli."

Aku berbaring dalam gelap, tapi setiap kali memejamkan mata, aku merasa seperti jatuh. Jatuh ke jurang sunyi yang lebih dalam daripada sebelumnya. Tak ada tangan yang mencoba menolongku, menarikku agar tidak jatuh ke jurang kehampaan.

 

Matahari terbit perlahan, memamerkan sinarnya. Aku sempat melihatnya... Yah, aku melihat suamiku. Mas Deva pergi mengendarai mobilnya, kulihat dari jendela kamarku.

Di sekitar taman, Bi Surti sedang menyapu dedaunan dengan langkah lambat. Dia terus menyapu sambil menyenandungkan lagu yang tidak aku kenali.

Tubuh dan batinku menolak untuk melakukan apa pun hari ini. Aku ingin bermalas-malasan saja di kasurku. Toh, Mas Deva juga tidak akan pernah peduli pada istrinya ini.

Aku membuka ponsel genggamku, men- scroll kontak yang ada di daftar telepon. Aku mencoba menghubungi seseorang, tapi masih tidak ada jawaban. Seperti biasa... tidak ada yang peduli.

"Huffttttt..... aku sudah bosan diabaikan," ucapku lirih.

Krukkkk... kruuyukkk...

Perutku berbunyi. Rasa lapar menghantamku tiba-tiba. Aku malas masak, namun aku harus memakan sesuatu demi menguatkan diri agar tidak jatuh sakit.

Aku keluar kamar dan menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa kumakan. Aku melihat sepotong roti tawar di atas piring. Tanganku langsung mengambil roti itu, tak lupa mengolesinya dengan selai cokelat dicampur selai kacang. Ini rasa favoritku. Entah mengapa, aku sangat menyukai rasa ini, padahal dulu aku tidak terlalu suka makan roti di pagi hari.

Aku kembali menuju kamarku, sambil masih mengunyah roti cokelat kacangku. Ada sekitar sepuluh potong roti yang berada di atas piring yang kubawa ke kamar. Kubuka pintu perlahan.

Saat aku memasuki kamar, tiba-tiba, layar ponselku menyala. Pesan dari nomor tak dikenal.

"Kamu masih betah di rumah itu?"

Aku tertegun. Jari-jariku gemetar menatap layar.

Hahhh... haahhh... Pesan dari siapa ini? Apa... orang ini tahu sesuatu?

Pesan berikutnya datang sebelum aku bisa membalas.

"Kalau kamu terus tinggal di rumah itu, kamu akan hancur."

Nafasku tercekat, aku kesulitan bernapas. Kutenangkan diri, sambil terus meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja.

Tak apa Tiara, tenanglah... tenangkan dirimu... Kamu tidak tahu apa pun, karena memang aku tidak tahu... aku tidak berpura-pura...

Jemariku masih gemetar menggenggam ponselku. Bibirku terus mengucapkan kata penguat untuk diriku. Mataku memerah menahan ketakutan.

Aku tak membalas pesan itu. Kulepaskan ponselku, tapi kata-kata itu menancap lebih dalam ke lubuk hatiku. Rasanya seperti sebuah bisikan dari kenyataan yang selama ini coba kutolak.

Aku tidak akan hancur, demi diriku dan tanggung jawab yang kumiliki. Aku akan mempertahankan rumah dan juga suamiku.

Aku terlelap begitu saja, setelah pergolakan batin karena pesan misterius yang kubaca.

 

Siang hari menjelang sore aku terbangun dari tidurku. Aku membangunkan diriku, bergegas melakukan pekerjaan yang sebelumnya tidak ingin kukerjakan. Aku bangun bukan karena harapan lain.

Aku tidak lagi berharap Mas Deva akan mengucapkan terima kasih untuk istrinya yang menyiapkan makan untuknya.

Tidak lagi berharap seseorang duduk di meja makan, mengucap “terima kasih” atas makanan yang kusiapkan.

Tidak lagi berharap suaranya menyapaku, walau hanya satu kata.

Siang ini aku hanya bangun karena tubuhku tahu... aku belum mati.

Kegiatan yang semula kulakukan dengan harapan akan mengubah suasana... kini hanya jadi kebiasaan kosong.

Di dapur, tanganku bergerak seperti mesin. Memotong kentang dengan seirama, menggoreng ikan, serta menanak nasi. Sambil mengerjakan pekerjaan seorang istri yang lain... Kususun piring yang sudah dicuci oleh Bi Surti semalam. Rasa lelah bukan merayap di tubuhku, namun lebih ke batinku.

Aku menatap meja makan yang selesai kutata dengan banyak masakan yang kusiapkan... Sebenarnya untuk siapa aku menyiapkan semua masakan ini?

Entah untuk keberapa kalinya, aku menghela napas pelan. Mataku berembun mengingat semua perlakuan Mas Deva padaku. Untuk pertama kalinya hatiku berbisik untuk mengakui, bahwa aku harus berhenti mengharapkan seseorang yang tak pernah menginginkanku.

Tiba-tiba aku merasa ingin tertawa. Bukan tawa karena bahagia, namun tawa yang mengandung rasa getir di dalamnya. Air mataku lolos dari kelopak mata, dengan cepat kuhapus kasar dan mencoba menenangkan hatiku kembali.

"Huffttt, aku seperti tokoh pendukung di dalam kisahku sendiri.... kisah seorang istri yang tidak pernah diinginkan oleh suaminya," bisikku pada diriku sendiri.

Dari arah ruang tengah, kudengar langkah berat lagi. Ia akhirnya pulang. Bi Surti menyambut Mas Deva dan segera berlalu sambil menggenggam pel, sepertinya Bi Surti baru selesai mengepel lantai. Bi Surti berlalu ke arah dapur.

Kulangkahkan kakiku mendekati Mas Deva, mencoba menjadi istri yang baik, walau aku sudah lelah berharap namun aku tetap istrinya. Kuambil tangannya lalu kucium punggung tangannya dengan cepat.

Tubuhnya membeku, dan dia menghempaskan tanganku.

"TIARA!! LANCANG KAMU!!!?" teriaknya menggelegar seperti petir menyambar.

Mas Deva menatapku berang, dan melangkahkan kakinya ke arah sofa. Ia meletakkan jaket di sandaran sofa, dan melempar sepatunya begitu saja. Wajahnya memerah, bibirnya yang gemetar terus-terusan mengucapkan kata maaf, yang sama sekali tidak kumengerti ditujukan untuk siapa.

Aku menatap ke arah Mas Deva. Kali ini... bukan untuk menunggu keajaiban.

Kutarik tangannya, dan kugenggam erat lalu aku membisikkan sesuatu di telinganya.

"Sekuat apapun kamu mengelak, aku tetap istrimu... Aku tidak akan melepaskanmu, Mas... TIDAK AKAN!" ucapku yakin dan menekan perkataanku di akhir kalimat.

Aku lanjutkan dengan suara sedikit lebih tegas, meski suaraku masih terdengar seperti bisikan.

"Mas Deva... lihatlah ke arahku sekali saja."

Akhirnya ia menoleh. Tapi ekspresinya... bukan kaget, bukan ramah. Tapi seperti... geli. Sejenak ia terdiam, menatapku dari atas ke bawah. Lalu, ia tertawa. Tawa pendek yang tajam. Seperti tawa orang yang mendengar lelucon paling bodoh di dunia.

"Kamu bermimpi?" Ia mengangkat satu alis, lalu berdiri, berjalan mendekat pelan. Matanya menusuk. "Kau masih punya keberanian, Tiara?"

Aku menelan ludah.

"Diamku membuat kau menjadi semakin menjadi-jadi! Hahhh, sialan kau! Lepaskan tanganku, sebelum aku melukaimu," katanya mengancam.

"Kupikir kau hanya wanita biasa, Tiara. Baru kutahu kau sangat murahan dan tidak tahu malu... karenamu aku yang harus menanggung segalanya... murahan!" hardiknya kejam kepadaku.

Nada suaranya tidak tinggi, namun setiap bait katanya menusuk langsung ke hatiku. Yang lebih menusuk... adalah sorot matanya. Penuh... rasa jijik.

Aku berdiri terpaku. Kakiku ingin mundur, tapi mulutku lebih dulu bicara.

"Aku hanya ingin mempertahankan rumah tanggaku, Mas, apa aku salah?"

Pertanyaanku mungkin sederhana. Tapi rasanya seperti menerobos dinding yang terbangun di antara kami.

"Kenapa?" Ia mendekat beberapa langkah. "Kau serius bertanya apa salahmu?" Jawabnya sinis, bisa kulihat wajahnya yang menahan geram.

Ia mendengus pelan.

Lalu ia berkata, pelan tapi seperti pisau yang menikamku. "Karena bahkan bicara denganmu saja, rasanya seperti mengkhianati diriku sendiri," ucapnya dengan menggebu.

Kata-katanya menusuk. Lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah kudengar. Aku ingin balas bicara, tapi mulutku membeku.

"Mendengar suaramu... membuatku muak."

"Matamu... mengingatkanku pada kegagalanku sendiri," sambungnya lagi.

Aku menggigit bibir kuat. Dadaku bergetar hebat, diikuti tanganku yang berkeringat.

Aku terpaku di tempatku berpijak. Karena percuma jika aku menjawab... aku tahu, suaraku akan terdengar rapuh. Dan Mas Deva membenci suaraku.

"Berhentilah menyeretku dalam hidupmu?" ucapnya pelan. "Aku ingatkan untuk yang terakhir kalinya, ini peringatanku yang terakhir. Jangan melewati batas, Tiara." sambungnya, matanya menatapku nyalang.

Mas Deva melewati bahuku, dan masuk ke kamarnya. Pintu ditutup dengan keras, seakan ia menyalurkan seluruh amarahnya padaku ke pintu yang ia hempaskan itu.

Aku sudah berhenti berharap.

Tapi ternyata... rasa sakit itu tetap datang.

Bahkan saat aku tidak lagi menunggunya.

 

****************

Kalau ini yang disebut menikah,

maka aku telah menikahi kesepian itu sendiri,—Tiara.