aku kalah merindukanmu

Bab 1: hujan yang sama Hujan turun deras saat aku berdiri di halte tua itu, tempat terakhir kita bicara sebelum kau pergi. Kata-katamu masih terngiang jelas, seolah udara pun belum sempat membawanya pergi. "Kita sudah terlalu jauh berubah. Tapi bukan berarti aku tak mencintaimu lagi." Aku diam. Kala itu, aku pikir diamku adalah bentuk kekuatan. Kini, aku sadar—diamku adalah kekalahan. Bukan hanya kehilanganmu, tapi kehilangan kesempatan terakhir untuk memperjuangkanmu. Sudah satu tahun berlalu. Tapi hujan—dan rindu—masih terasa sama. Masih sesak. Masih hangat, seperti genggaman tanganmu waktu itu. Kau pergi, membawa separuh diriku. Dan aku... tetap di sini, memeluk separuh yang tersisa, hidup dalam bayang-bayang kenangan. Aku kalah. Aku merindukanmu.

Bab 2: Kenangan yang Tak Pernah Pergi Hari-hari setelah kepergianmu terasa hampa. Aku mencoba menata ulang hidup, menyibukkan diri dengan pekerjaan, berkumpul dengan teman, tertawa... tapi selalu ada ruang kosong di dalam dada yang tak bisa kuisi. Setiap pagi aku bangun berharap ini semua hanya mimpi. Tapi tidak. Kau benar-benar pergi. Kamar kita masih sama. Rak buku yang kau susun berdasarkan warna, bukan genre—karena katanya “warna punya cerita”—masih utuh. Mug kesayanganmu masih tergantung di dapur, berdebu, tapi aku tak sanggup memindahkannya. Aku mencoba melupakan. Tapi bagaimana caranya melupakan seseorang yang menjadi bagian dari setiap detail hidupku?

Bab 3: Surat yang Tak Pernah Terkirim Aku menulis surat untukmu. Entah sudah berapa. Di ponsel, di buku harian, bahkan di tisu bekas saat air mata tak bisa berhenti. Tapi tak satupun aku kirimkan. Apa gunanya? Kau sudah memilih pergi. "Kamu tahu? Rasanya aneh ketika aku menemukan hal kecil yang mengingatkanku padamu. Lagu favoritmu yang tiba-tiba muncul di radio, aroma parfum yang samar-samar tertinggal di jaket lamamu, atau bahkan kata-kata yang dulu kau ucapkan... masih memukul hatiku seperti baru kemarin." Terkadang aku benci diriku karena terlalu lemah. Tapi terkadang, aku hanya ingin jujur: aku kalah karena terlalu mencintaimu. Dan aku merindukanmu... terlalu dalam.

Bab 4: Pertemuan yang Tak Direncanakan Hari itu, takdir mempermainkanku. Di kafe kecil dekat stasiun, aku melihatmu. Kau duduk di sudut ruangan, tertawa dengan seseorang yang tak kukenal. Rambutmu lebih pendek, senyummu tetap sama. Tapi tidak untukku. Mataku menatapmu lama, berharap kau akan melihat ke arahku, berharap akan ada percakapan seperti dulu. Tapi tidak. Kau bahagia, dan itu cukup membuatku mengerti: aku hanya bagian dari masa lalu. Aku tak mendekat. Aku tak ingin merusak bahagiamu dengan kesedihan yang kubawa. Aku memilih melangkah pergi. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merelakan. Walau hatiku berdarah, aku tersenyum dalam diam. "Aku kalah... Tapi kali ini, aku tak lagi berharap menang. Aku hanya ingin kamu tahu—meski kamu tak pernah membaca ini—aku masih merindukanmu."

Bab 5: Luka yang Tak Terlihat Aku pulang dengan langkah gontai setelah melihatmu di kafe itu. Rasanya seperti baru saja membuka luka lama yang belum sempat sembuh. Malam itu, aku duduk sendiri di tepi ranjang sambil memandangi foto kita yang masih terpajang di bingkai kayu kecil. “Kenapa kamu gak buang aja?” tanya seorang teman dulu. Karena aku gak pernah benar-benar siap untuk melepaskan. Aku masih memeluk sisa-sisa yang pernah kita sebut ‘kita’. Bahkan luka ini—luka karena ditinggalkan—kupelihara diam-diam. Entah karena bodoh, atau karena cinta. Aku belajar tersenyum di depan banyak orang. Tapi tak ada yang tahu betapa sunyinya pikiranku saat malam datang. Yang tersisa kini hanya pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kau pernah menyesal? Apakah kau pernah merindukanku, meski sesaat?

Bab 6: Jika Waktu Bisa Diulang Setiap orang punya satu waktu yang ingin diulang, bukan? Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, aku ingin kembali ke malam itu—malam saat kau menangis di depan pintu, berkata kau lelah, dan aku malah diam. Seandainya aku peluk kamu malam itu. Seandainya