Pelantikan Dewa yang Membawa Luka

Langit hari itu lebih sunyi dari biasanya.

Bintang-bintang berkumpul membentuk lingkaran suci, seperti bunga yang mekar pelan-pelan di angkasa.

Tiupan seruling lembut terdengar, bukan dari satu arah, tapi dari seluruh penjuru alam semesta.

Hari ini adalah Hari Pelantikan.

Astraem, pemilik luka-luka dunia, pelindung yang pernah jatuh, dan manusia terakhir yang lulus Ujian Dewa di Bumi, akan dilantik sebagai Dewa Cahaya yang Terbangun.

---

Upacara dimulai.

Di tengah Alun-Alun Takhta Langit, berdiri panggung cahaya melingkar.

Dewa-dewa berdiri mengelilinginya. Ada yang pernah menyapa Astraem. Ada yang dulu diam mengawasi.

Mereka tak bersuara. Hanya menunduk hormat.

Langit membuka suara:

> “Hari ini, satu jiwa yang pernah merangkak di debu,

menatap ke bintang, dan bertahan dalam gelap...

akan bergabung dalam Cahaya Agung.”

Astraem melangkah perlahan.

Jubah putih tipis menjuntai dari bahunya. Namun jejak langkahnya masih seperti manusia. Tak disihir. Tak dibesar-besarkan.

Ia tetap seperti dulu.

> Mata sayu. Bahu sederhana. Tapi sorot keyakinannya kini tak tergoyahkan.

---

Empat Ucapan Pelantikan.

Satu per satu, Dewa-Dewa tertinggi berdiri dan mengucapkan restu mereka.

1. Dewa Air – Laesmer

> “Kau telah membawa kesadaran bahkan dalam penderitaan.

Kau tidak membiarkan luka menjadi alasan berhenti mencintai.

Maka, pegang Air Cahaya. Basuh dunia dari dendam yang membeku.”

Astraem mengangguk. Sebuah aliran air biru menyatu ke dalam jubahnya.

2. Dewa Tanah – Arelion

> “Tanah mengingat. Tanah menyimpan. Dan engkau tak pernah mengubur masa lalu.

Maka biarkan kenanganmu menjadi akar bagi harapan baru.”

Simbol tanah menyala di telapak kakinya, menyambung ke bumi, tempat ia berasal.

3. Dewa Api – Samira

> “Pilihanmu tidak selalu benar. Tapi keberanianmu membakarnya jadi makna.

Maka, pegang Api Pilihan. Bakar arah bagi mereka yang tersesat.”

Lambang api bersinar di dadanya.

4. Dewa Angin – Caen

> “Kau tidak terbang karena kau kuat. Tapi karena kau mau jatuh berulang kali.

Pegang Udara Pengorbanan. Jadilah angin yang mengangkat yang rebah.”

Astraem menutup mata. Napasnya kini terasa lebih panjang, seolah ia bisa bernapas untuk seluruh dunia.

---

Empat elemen lengkap.

Empat luka telah diterima sebagai kekuatan.

Langit bersinar sekali lagi.

> “Kini, Astraem,

berdirilah di tengah, dan bersiaplah menerima gelar yang akan dicatat dalam naskah kekal.”

Astraem maju.

---

Pemberian Gelar Dewa

Bersamaan dengan suara seruling ilahi, cahaya turun membentuk sebuah gulungan. Di dalamnya, nama baru tercetak dengan tinta cahaya:

“Dewa Astraem, Penjaga Luka-Luka Dunia”

> “Engkau bukan penyembuh yang menghapus luka.

Tapi engkau adalah penjaga luka—yang mengingatkan umat bahwa mereka pernah jatuh dan tetap bisa bangkit.”

Langit kini tak lagi diam.

Dari segala penjuru, makhluk-makhluk dari dunia lain datang, menyaksikan, bersujud, dan memuji.

> “Hiduplah Astraem dalam cahaya!

Jadilah penjaga para pecundang yang hampir menyerah.

Jadilah suara di dalam malam!

Jadilah bintang bagi mereka yang tak bisa melihat jalan pulang.”

Dan dengan itu…

Cahaya Pelantikan turun.

Tubuh Astraem mulai menyatu sempurna dengan langit.

Namun satu bagian dari dirinya tetap dibiarkan tak sempurna: hatinya.

Karena langit tahu—ia harus tetap punya ruang untuk rindu.

---

Kilasan Dunia di Bawah

Setelah pelantikan selesai, Astraem diizinkan memandangi dunia satu kali terakhir—sebelum ia resmi duduk di takhta dan menjadi bagian dari Cahaya Agung.

Ia melihat:

Ibu-ibu yang menggigil di pasar, namun tetap tersenyum.

Anak-anak yatim yang duduk menulis di bawah pohon, berharap lulus ujian.

Seorang gadis di atap rumah, memandangi langit—membisikkan nama yang sudah lama naik ke surga.

Aluna.

---

Satu Surat Terakhir

Astraem tidak bisa turun. Tapi ia menulis sebuah surat cahaya, lalu meniupkannya ke bumi dalam bentuk angin senja.

Surat itu mendarat di pangkuan Aluna. Ia membukanya, dan membaca:

---

> Untukmu yang pernah memanggilku dengan nama kecil dan senyum lembut,

Aku di sini. Tapi hatiku tidak pernah benar-benar meninggalkan bumi.

Kalau kau kedinginan, panggil aku.

Kalau kau menangis, aku akan mendengar.

Aku tidak bisa lagi duduk di sebelahmu,

tapi aku bisa jadi udara yang kau hirup saat kau merasa sendiri.

Aku tidak menjadi dewa agar kau melupakan aku.

Aku menjadi dewa agar kau tahu… luka kita dulu, ternyata cukup kuat untuk mengangkatku sampai ke langit.

Dan suatu hari nanti…

kalau takdir mengizinkan,

kita akan duduk bersama lagi. Tanpa ujian. Tanpa perpisahan.

– Astraem

---

Air mata Aluna jatuh. Tapi ia tidak menangis karena sedih.

Ia tersenyum, dan memeluk surat itu.

> “Selamat, Astraem. Aku tahu kamu akan sampai di sana.”

---

Akhir yang Bukan Akhir

Astraem kini duduk di takhta langit, tepat di antara gugusan bintang yang dinamai manusia sebagai “Sabuk Harapan.”

Setiap malam, mereka yang menyerah, akan melihat satu bintang menyala lebih terang dari lainnya.

Itulah Astraem.

Dewa baru.

Tapi tetap seorang penjaga rasa sakit yang pernah ia rasakan sendiri.

Karena langit tidak membutuhkan Dewa yang sempurna.

Langit hanya butuh satu:

Dewa yang pernah terluka, dan tetap memilih mencintai dunia.