Samuel berdiri membeku, masih terguncang oleh badai kesadaran yang baru saja menghantamnya. Bibirnya sedikit terbuka, seolah kata-kata berusaha terbentuk namun tidak mampu keluar dari mulutnya. Api yang berkobar begitu keras dalam dirinya beberapa saat lalu kini digantikan dengan keheningan dingin—keheningan yang terkejut dan tercengang.
Kedua perwakilannya—yang tadinya berdiri dengan percaya diri di belakangnya beberapa menit sebelumnya—kini seperti patung. Mata mereka bergerak dari Malisa ke Cora, lalu kembali ke Samuel. Tak satu pun dari mereka berani berbicara. Naskah yang telah mereka siapkan dengan hati-hati, taktik negosiasi, dan rencana cadangan semuanya telah hancur menjadi debu.
Mereka sama terkejutnya dengan Samuel—jika tidak lebih.