PROLOG

"Mati saja kau! Begitupun dengan kau! Dasar keluarga yang tidak tahu diri!" Suara berat disertai suara cambukan yang menggema memenuhi ruang kosong yang sunyi dan gelap berasal dari seorang pria paruh baya yang tengah diselimuti amarah. Ruang tengah itu selalu menjadi saksi bisu atas penderitaan yang dialami satu keluarga itu.

"Maaf. Jangan siksa ayah dan bund—" Suara lemah tak berdaya dari seorang gadis remaja yang kini meringkuk kesakitan akibat luka yang memenuhi tubuhnya terpotong.

"Diam!" seru pria yang sedari tadi menyaksikan penyiksaan itu.

"Kau bahkan tidak layak untuk bicara pada kami saat ini, anak bodoh!" Pria itu menyela kalimat temannya.

Lagi, suara cambukan terus-menerus menorehkan luka baru di sekujur tubuh gadis remaja yang mencoba menahan rasa sakit dengan air mata yang meluruh membasahi pipinya yang juga dipenuhi memar dan beberapa luka.

Setelah merasa puas, pria paruh baya serta temannya itu melangkah pergi begitu saja, membiarkan satu keluarga itu tinggal di ruangan tersebut.

Ada yang berbeda. Malam ini, seorang gadis remaja yang tengah memaksakan diri untuk tetap sadar menatap kosong ke arah sepasang paruh baya dengan seorang gadis yang sudah terbujur kaku di dekatnya. Ia tak yakin dengan kesimpulan yang muncul di pikirannya, namun hatinya menyuruh untuk memastikan sesuatu.

Ia menyeret tubuhnya perlahan mendekat. Dirinya menyentuh pergelangan tangan sepasang paruh baya yang tak lain adalah orang tuanya, dan juga gadis yang tak lain saudara kembarnya tersebut.

"Ayah, Bunda, ka-kak," gumam gadis remaja itu pelan, nyaris tak terdengar memanggil keluarganya yang sudah terbujur kaku.

Badan lemah itu bergetar. Perlahan, isak tangis menyelimuti heningnya malam. Kembali ia ingat kalimat yang meluncur bebas dari bibir orang yang tak ia kenali itu saat tengah menyiksa mereka beberapa waktu lalu. Perasaan marah, sedih, kecewa, dan benci tergabung menjadi satu dan menjalari dinding-dinding rumah yang semakin malam terasa semakin dingin.

Tak lama setelah itu, suara sirene mobil polisi dan ambulans datang memenuhi halaman rumah itu. Entah siapa yang memanggil, gadis remaja itu tak tahu dan bahkan nyaris tak peduli. Ia masih syok dengan kenyataan bahwa keluarganya telah meninggal akibat siksaan dari orang asing tadi.

"Hai sayang, kamu sudah aman sekarang."

Gadis itu hanya menatap polisi pria yang berada di hadapannya itu tanpa berniat membalas. Ia tahu siapa pria itu. Polisi itu yang selalu datang disaat keluarganya terkena siksaan fisik oleh orang yang tidak ia ketahui. Namun hanya sebatas itu, pria di hadapannya ini tak pernah berniat mengamankan dirinya dan keluarga. Itu sebabnya ia tak peduli pada pria berseragam tersebut.

Ah, mengingat itu rasa sedih kembali menggerogoti hatinya. Memorinya kembali pada saat di mana kakeknya masih ada. Kehidupannya tidak seperti ini. Hari-hari yang ia lalui tidak menyeramkan seperti sekarang. Jika dulu tak seorang pun dapat melukai dirinya dan saudaranya meski seujung kuku, sebab kakeknya tidak akan membiarkan hal itu terjadi