WebNovelServer X31.91%

Sosok bayangan tua.

Catatan dari Penulis:

Bab ini menampilkan adegan aksi yang intens, termasuk pertempuran fisik dan ketegangan emosional. Semua yang ditulis adalah fiksi dan tidak bertujuan untuk mengglorifikasi kekerasan. Harap dibaca dengan kesadaran akan konteks naratif.

----

Peperangan di markas BlackRoom belum benar-benar usai. Baku tembak masih terjadi—di luar gudang, di dalam lorong, bahkan di sela-sela reruntuhan. Api menyala di beberapa titik, membakar sisa amunisi dan pecahan senjata.

Sinyal jamming kini aktif penuh. Semua alat komunikasi terputus.

Sora duduk di kursi mobil taktis, menatap layar yang tak lagi menampilkan apa pun selain noise digital. Ia mengetuk panel berulang, berharap sinyal akan kembali. Tapi sia-sia.

“Putus total,” gumamnya pelan. “Kita tak bisa menunggu lebih lama.”

Ia memutar tubuhnya, menatap Crane yang masih membersihkan senjatanya di bangku belakang.

“Ayo, kita berangkat, Crane,” kata Sora dengan nada cepat. “Kita tidak bisa hanya duduk menunggu… saat yang lain bertarung mati-matian.”

Crane mendongak. Matanya tajam, lalu mengangguk tanpa berkata-kata. Ia tahu, ini bukan soal perintah lagi.

Ini soal pilihan.

Pilihan untuk bertahan atau ikut menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Mereka akhirnya masuk ke medan pertempuran.

Dari kejauhan terlihat pasukan Sensper dan Server X mulai kewalahan—terdesak oleh posisi lawan yang lebih menguntungkan.

Sora dan Crane menerobos masuk ke barisan pertempuran.

Tembakan bersahut-sahutan.

Ledakan granat mengguncang puing-puing beton.

“Sial! Mereka diuntungkan karena bangunan kokoh itu!” seru Sora, sambil berlindung di balik tembok retak.

Beberapa agen Sensper melemparkan granat ke arah pertahanan musuh. Dentuman keras mengguncang dinding.

Serpihan logam dan debu beterbangan.

“Ini seperti tidak ada habisnya,” ucap Crane sambil menembak balik. “Bahkan kita mulai dirugikan!”

Di sisi lain, di bagian dalam gudang utama…

Seorang wanita berambut panjang masuk dari pintu belakang—tanpa suara, tanpa bayangan.

Ia adalah Bee.

Peluru beterbangan menyambutnya, tapi ia hanya menunduk ringan di balik dinding.

Senyum tipis tersungging di wajahnya.

“Hahaha! Ini gila…” bisiknya.

“Aku baru merasakan puncak kesenangan yang luar biasa!”

Dengan satu lemparan cepat, ia melempar flashbang ke arah musuh.

Cahaya putih menyilaukan, suara ledakannya menggema.

Lalu Bee menerjang.

Gerakannya brutal dan presisi. Dalam hitungan detik, satu regu lawan tak tersisa.

Tapi itu… baru bagian belakang.

“Sudah habis ya? Baiklah,” gumamnya.

“Aku akan ke tempat berikutnya.”

Saat ia bersiap melangkah, muncul seorang wanita dari balik bayangan, ditemani dua orang bawahannya.

Wanita itu membawa botol minuman.

“Kami selalu diawasi rupanya,” ucap wanita itu sambil melempar botol ke lantai.

Suara pecahannya tajam dan menghentikan langkah Bee.

“Kau ingin dibunuh di sini?”

Bee menyeringai.

“Battle hand-to-hand combat? Aku siap!”

Salah satu anak buah wanita itu mengangkat kursi logam dan melemparkannya ke arah Bee.

Bee mengayunkan lengannya—kursi itu mental ke samping.

Anak buah kedua muncul dari belakang, bergerak cepat seperti bayangan.

Tangannya menjepit leher Bee.

Namun Bee memutar tubuhnya, mencengkeram lengan penyerang itu dan melemparkannya ke tembok.

Tubuh itu menghantam keras, membuat dinding bergetar.

Bee menyeka keringat di pelipis.

“Wah… aku tak menyangka ada wanita sehebat dirimu.”

Wanita itu langsung menyerang. Pukulan cepat mengarah ke wajah Bee—tapi terlalu lemah.

Bee menangkap lengannya, lalu menarik kuat.

Dengan satu gerakan terlatih, tangan Bee mencengkeram wajah lawannya dan membantingnya ke lantai.

BRAK!

Bee merasa dirinya sudah menang. Ia melangkah pelan, hendak meninggalkan area itu dan menuju titik berikutnya. Namun, dari lorong gelap di sisi kiri, terdengar suara langkah kaki—pelan, berat, dan berirama.

Bee berhenti. Matanya menyipit.

"Huh? Ada seseorang yang mendekat..."

Dari dalam kegelapan lorong, muncullah sosok pria tua. Rambutnya putih beruban, sebagian diikat ke belakang. Ia memakai jas hitam yang sudah sedikit kusut, dan di baliknya tampak kemeja putih dengan dasi tergantung longgar. Di tangannya, tergenggam sebilah katana panjang, terbungkus sarung tipis kain gelap. Ia berjalan sedikit membungkuk, namun langkahnya stabil—tenang, dan sangat terukur.

Bee langsung siaga. Ia meraih kembali senjatanya dan menembakkan peluru ke arah sosok itu.

CLANG!!

Suara logam menghantam logam menggema. Bukan suara peluru yang menembus daging, tapi suara peluru yang ditangkis oleh tebasan cepat. Bee terkejut.

"Apa...!?"

Kakek itu terus melangkah mendekat tanpa mengubah ekspresi. Ia berhenti dalam jarak lima meter dari Bee. Mata tuanya menatap lurus, dalam… dan dingin.

"Kau… kakek-kakek?"

Suara pria tua itu terdengar berat, tenang, namun menyimpan kekuatan tersembunyi.

“Namaku adalah Hibiki Genta,” ucapnya. “Dan karena aku sudah tua, aku ingin kau mendengarkanku… selagi kau masih punya telinga.”

Bee bersiap menembak lagi.

“Mundur lah dari sini… sebelum hal buruk terjadi.”

Bee menyeringai. “Itu sia-sia, kakek. Selagi aku masih berdiri—aku akan tetap—”

Kalimatnya terpotong.

Kakek itu menatapnya tajam.

Lalu, dengan suara menggetarkan dinding:

“Pikirkanlah… di mana posisimu!”

Suara itu bukan teriakan, tapi seperti guntur yang menggema di dalam kepala Bee. Ia terkejut. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Aura di sekeliling pria tua itu berubah—berat, seperti udara tiba-tiba menebal. Bee menggenggam senjatanya lebih erat.

Di hadapannya bukan sekadar kakek tua.

Tapi seseorang…

Yang bahkan mungkin tidak seharusnya masih hidup.

Hibiki Genta tiba-tiba menghilang dari pandangan. Dalam sekejap, ia sudah berada di belakang Bee.

SREEET!

Katana-nya terhunus setengah dari sarungnya.

Bee refleks memutar badan dan menangkis tebasan itu dengan senjata miliknya.

CRACK!!

Tapi yang terdengar… adalah suara patahan logam.

Senjatanya terbelah dua.

“Sial…!” desis Bee, terkejut dan mundur selangkah.

Hibiki mengangkat pedangnya lagi, siap menebas tanpa ragu. Namun Bee cepat—ia menjatuhkan diri ke bawah dan menarik kaki kakek tua itu, lalu melemparkannya keras ke arah dinding.

DUAARR!!

Tubuh Hibiki terhempas, menembus tiga ruangan dan menghancurkan enam dinding berturut-turut. Debu dan batu beterbangan di lorong panjang itu. Namun tak ada suara rintihan… hanya keheningan dan tekanan udara yang makin menyesakkan.

Di balik puing, Hibiki berdiri perlahan. Ia mengambil kuda-kuda dengan satu tangan memegang katana di sisi tubuhnya.

Dengan suara lirih dan datar, ia bergumam:

“Mereka yang menolak mendengar... akan menyesali keputusannya. Dan yang mengabaikan perintah…

hanya akan menghadapi akhir yang pahit.”

SREEET!!

Bee terhuyung saat serangan cepat itu menyayat sisi kirinya. Rambutnya berterbangan, dan matanya membesar-penuh keterkejutan.

“A—Apa…”

Bee menyentuh bagian yang berdarah. Nafasnya terhenti sesaat.

Hibiki melangkah perlahan.

“Sepertinya… tebasanku meleset,” ucapnya datar. “Karena seharusnya… aku memotong pinggangmu.”

Bee bergemetar. Ia menggertakkan gigi dan melompat ke samping untuk menghindari tebasan berikutnya.

Namun…

ZZZRAAKK!!

Tebasan Hibiki membelah lantai—menyobek beton sepanjang lima meter ke depan. Pecahan lantai terlempar ke udara.

Bee menatap horror.

“Kakek ini… seperti monster!!”

Namun saat ia lengah…

TSSHH!!!

Sebuah kilatan menghantam pinggang Bee. Tubuhnya terpental keras. Tubuhnya terhempas dan jatuh ke lantai dengan suara berat.

Bee tergeletak, matanya terbuka, tubuhnya menggigil, napasnya tersendat.

Hibiki berdiri di ujung ruangan, katana-nya meneteskan darah. Ia menghela napas pelan, lalu berucap seperti pada angin:

“Aku bukan datang untuk membunuh…

tapi kalau itu perlu—aku tidak akan menahan diri.”

---

Langit malam di utara berubah kelam. Kabut semakin tebal, suara ledakan mereda… lalu hilang. Tapi satu suara tetap bergema di dalam gudang itu—derap langkah perlahan Hibiki Genta, diseret angin seperti lonceng kematian.

Ia tergeletak di lantai, darahnya membentuk jejak tak beraturan di lantai retak. Ia masih bernapas—lemah. Tapi matanya sudah kosong, seperti kehilangan arah, kehilangan amarah, kehilangan semuanya.

Hibiki berdiri di atasnya, menatap tanpa belas kasih. Angin meniup rambut peraknya yang kusut, dan dari sudut matanya, hanya ada satu penghakiman: "Yang tak mau mendengar… tak pantas hidup."

Di luar gudang, Sora dan Crane masih bertarung. Mereka tidak tahu, salah satu dari mereka… baru saja tumbang. Sementara Iyan yang masih bertarung di bawah tanah belum bisa mencium aroma kehilangan itu—belum.

Sinyal komunikasi tetap mati. Cahaya dari markas Server X hanya berkedip lemah. Dan langit di atas BlackRoom… menahan hujan.

Peperangan belum usai.

Tapi untuk Bee… ini adalah akhir.

---