WebNovelServer X40.43%

Sora.

Pertempuran semakin menggila. Pasukan BlackRoom, tentara militer, dan anak-anak hasil eksperimen menyerang membabi buta. Meskipun pihak Server X dan Sensper bertahan dengan segala kekuatan, mereka mulai terdesak.

Sora menoleh ke arah Crane.

"Crane! Apa aku harus melakukan itu?"

Crane melirik cepat, ekspresinya tegang.

"Jangan!" jawabnya dengan nada keras.

Sora menghela napas.

"Kita tidak punya pilihan lain. Satu jam itu... terlalu lama."

Crane terdiam beberapa detik.

"Tapi... apa tidak apa-apa?"

Sora mengambil ikat rambut pink miliknya, lalu mengikat rambutnya ke belakang. Ia melirik tajam ke arah Crane.

"Berapa peluru pistolmu?"

Crane menghela napas dan menyerahkan pelurunya.

"Ini... cukup."

Sora memasukkan peluru itu ke pistolnya, lalu mengulurkan tangan.

"Berikan juga pistolmu padaku."

Crane menatapnya dalam-dalam.

"Apa kau benar-benar mau melakukan ini?"

"Tentu saja," jawab Sora mantap.

Crane pun menyerahkan pistolnya. Namun raut wajahnya murung—ada rasa khawatir di dalam tatapannya.

Sora memberi instruksi.

"Kau gunakan minigun itu. Begitu aku lempar flashbang, tembak sebisanya. Kita hanya butuh bertahan satu jam. Walaupun kehabisan amunisi... bantuan pasti datang."

Crane mengangguk perlahan.

Sora kemudian mengaktifkan alat komunikasi di telinganya.

"Kalian dengar! Setelah flashbang dilempar, tembak musuh secara brutal! Jangan pedulikan aku, tembak saja!"

Suara dari komunikasi terdengar bingung.

"Apa?! Kau mau mati, Sora?!"

"Tidak seperti itu! Aku juga nggak mau mati. Sama seperti kalian!"

"Lalu kenapa nyuruh kami menembak terus!?"

Sora menunjuk ke arah dadanya.

"Karena aku percaya... dengan ini."

Salah satu prajurit melihat dari kejauhan.

"Apa maksudmu? Jantungmu terbuat dari emas?"

Sora tersenyum manis.

"Bukan. Karena seluruh jantungku adalah mesin."

Semua pasukan terdiam. Bahkan Crane memejamkan mata dan mencengkeram minigun dengan gusar.

Tanpa ragu, Sora mengangkat tangan. Flashbang di tangannya dilemparkan ke tengah kerumunan musuh.

"Satu... dua... tiga—MULAI!" teriaknya.

Ledakan cahaya membutakan.

Crane langsung menembakkan minigun miliknya. Pelurunya menghujani musuh tanpa ampun. Di saat bersamaan, seluruh pasukan Server X melepaskan tembakan brutal ke segala arah.

Sora berdiri paling depan. Matanya menyala merah. Tubuhnya bersiap dalam kuda-kuda sempurna.

Dari kejauhan terdengar bunyi logam berdegup…

Jantung mesinnya mulai memompa.

Perang… baru saja dimulai.

Kamera menyorot asap putih sisa ledakan flashbang yang masih menggantung di udara. Di tengahnya, siluet Sora muncul perlahan. Rambutnya terikat ke belakang, matanya memancarkan cahaya merah menyala.

Sora melesat menembus asap dengan kecepatan yang mustahil diikuti mata biasa. Setiap peluru musuh melesat, namun tak satu pun menyentuh tubuhnya—seolah waktu melambat hanya untuknya. Ia bergerak seperti bayangan, menari di antara hujan timah panas.

Sora (teriak): "Itu dia!! Markas musuh!"

Gedung tua di ujung medan perang kini terlihat jelas. Pintu besi yang terbuka memperlihatkan pasukan bersenjata dan anak-anak eksperimen yang menyambut dengan rentetan tembakan brutal.

Pasukan Server X (terkejut): "Dia... monsterkah?!"

Pasukan Sensper (terpana): "Itu gila banget!!"

Sora tak memperdulikan suara di belakangnya. Ia menukik ke dalam gudang, dua pistol di tangan, mata merah menyala dengan sistem targeting yang mengunci setiap lawan.

Dengan presisi seperti mesin, pelurunya menghantam jantung dan otak setiap musuh. Sekali tembak—satu jatuh. Ia tidak berhenti, tidak ragu. Kakinya melayang ringan di lantai beton, tubuhnya berputar dan melompat seolah menari bersama peluru.

Kamera mengikuti gerakan lambat Sora saat ia memutar tubuh, menembakkan peluru ke kiri dan kanan. Bayangan musuh jatuh satu demi satu. Tatapan merah matanya berpindah cepat, dingin seperti optik mesin pembunuh.

Anak-anak eksperimen itu menjerit, mencoba menyerang secara brutal. Tapi Sora melompat ke tembok, memantul, dan menembakkan peluru terakhir di pistolnya ke arah kepala musuh terakhir.

BLAM! BLAM! CLIK-CLI-CK—SHHH!

Asap peluru mengepul di udara. Tubuh musuh tergeletak berserakan. Sora berdiri di tengah ruangan, tubuhnya dipenuhi luka ringan, namun ia tetap berdiri tegak. Pistolnya kini kosong, tapi tekadnya belum padam.

Sora... adalah badai dalam bentuk manusia.

Gudang penuh mayat dan asap tipis. Bau mesiu menyengat. Sora berdiri di tengah, tubuhnya diam, mata merahnya masih menyala samar.

Di antara tumpukan mayat, seorang prajurit yang masih hidup membuka pin granat secara diam-diam.

Dengan refleks cepat, Sora berlari ke arahnya, menepis granat itu dan menendangnya ke ruangan kosong. Dia menyikut dada prajurit itu dan melemparkannya ke ruangan yang sama.

Sora (datar):

“Sayang sekali, ya.”

Ledakan terjadi. Tubuh prajurit itu hancur tanpa suara.

---

Dari belakang, muncul prajurit militer lain membawa AK-47.

Tembakan dilancarkan beruntun ke arah Sora.

Namun dengan santai, Sora menghindar sambil sedikit memutar tubuhnya.

Dia mengangkat pistol dan menembak sekali — peluru bersarang tepat di kepala prajurit itu.

---

Prajurit lain (teriak dari kejauhan):

“Nona! Jangan bergerak! Tetap diam di sana!”

Prajurit:

“Aku tahu kau sudah kehabisan peluru. Jadi jangan melawan.”

Prajurit itu mendekat perlahan. Sora hanya berdiri diam. Matanya menatap lurus, dingin, tanpa emosi.

Prajurit (mengejek):

“Bagus... Gadis manis tak boleh melawan.”

Saat jaraknya cukup dekat, Sora tiba-tiba bergerak.

Tangannya cepat merebut pistol dari prajurit itu.

Dalam sekejap, dia menempelkan moncong pistol itu ke dahi si prajurit.

Sora (pelan, tajam):

“Sekarang… siapa yang tidak boleh melawan, paman?”

Tanpa ragu, dia menarik pelatuk.

Tembakan menggema. Tubuh prajurit itu jatuh ke lantai.

---

Sora kembali berdiri sendirian di antara mayat-mayat.

Matanya menyapu ruangan. Tidak ada rasa bangga, tidak ada rasa takut. Hanya... hening dan tekad.

---

Asap perlahan menghilang, meninggalkan ruangan yang kini sunyi penuh aroma mesiu dan darah. Seluruh musuh telah tumbang. Tubuh-tubuh korban tergeletak, menumpuk di antara pecahan tembok dan genangan darah.

Sora berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar, napasnya berat. Matanya memerah mulai meredup, suara jantung mekaniknya kini terdengar lambat dan berat—berdetak dengan jeda yang mengkhawatirkan.

Ia berjalan dengan langkah gontai, menyeret kakinya melewati medan pembantaian yang baru saja ia ciptakan.

> “Gawat… aku sudah tidak bisa bergerak secepat itu lagi…” ucap Sora lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, seolah tak hanya tubuhnya—tapi juga jiwanya—mulai melemah.

Namun sebelum sempat ia melangkah lebih jauh—

> DOR!

Sebuah peluru kecil bersarang di lehernya. Mata Sora melebar sesaat, menyadari sensasi aneh menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia menyentuh lehernya… jarum bius.

Detik berikutnya, lututnya lemas. Tubuhnya roboh ke lantai dengan suara keras, menghantam lantai beton.

Sora—pingsan.

---

Matanya perlahan terbuka. Pandangannya buram—langit-langit beton, lampu tua menggantung di atasnya. Ia duduk di sebuah kursi tua berlapis kulit lusuh, kedua tangannya bebas tapi tubuhnya lemah. Di sampingnya, berdiri seorang pria asing.

Rambut pria itu berwarna hijau gelap, wajahnya tirus namun terlihat gembira—senyuman menyeramkan menempel di bibirnya seolah tak pernah hilang.

> “Wah, wanita bertubuh indah sudah sadar,” ucap pria itu santai.

Sora menatapnya, masih lemas. Suaranya parau, tapi tegas.

> “Siapa kau?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke depan, memiringkan kepalanya sedikit sambil mengamati tubuh Sora.

> “Kau tak perlu tahu siapa aku. Tubuhmu itu... aset, bukan? Bagi kami, sangat berharga.”

Sora menatap tajam, tapi di dalam hatinya ia tahu: pria ini bukan orang biasa. Ia memutuskan untuk bersikap biasa saja—tidak menunjukkan apapun tentang sistem jantung buatannya.

> “Kami siapa? Dan... kenapa kau menodongku seperti ini?” tanyanya dingin.

Pria itu tertawa kecil.

> “Untuk menguji. Untuk tahu, apakah seseorang layak hidup... atau mati.”

Tanpa peringatan—

> BRAK!

Satu peluru ditembakkan dari jarak sangat dekat ke arah kepala Sora.

Namun Sora menghindar. Gerakannya cepat meski goyah. Ia terhuyung ke bawah, tangan memegang dadanya yang kini terasa nyeri hebat. Napasnya tersengal.

> “Hah... hebat! Bagaimana kau bisa lakukan itu?” seru pria itu, seolah terpukau.

Sora menggertakkan gigi.

> “Rahasia.”

Pria itu mendekat. Kakinya berat, langkahnya lambat namun penuh niat. Ia berjongkok di depan Sora, lalu mengangkat dagu gadis itu dengan jarinya. Wajah mereka kini sangat dekat.

> “Apa jantungmu itu juga... rahasia?” bisiknya pelan.

Tubuh Sora bergetar. Matanya membesar, perasaan jijik dan waspada bercampur jadi satu. Ia hanya bisa menggertakkan giginya.

> “A...apa yang kau bicarakan?”

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya tertawa pelan, lalu dengan tenang menyandarkan tubuh Sora ke sofa yang berada di sudut ruangan.

Sora—kini terbaring lemas. Pria itu berdiri di atasnya, tersenyum lebar… dan menyeramkan.

---