WebNovelServer X63.83%

Satu bulan.

Malam itu, Bayu berjalan menyusuri lorong gelap yang berlantai batu. Setiap langkah sepatunya menimbulkan gema yang terdengar sunyi dan berat. Di benaknya masih tergambar jelas tatapan Sora—mata gadis itu yang begitu jernih dan menyimpan luka dalam.

Ia menatap telapak tangannya. Jemarinya mengepal.

“Apa-apaan itu… Seharusnya aku menangkapnya…” gumamnya lirih, nyaris seperti menyalahkan dirinya sendiri.

Di ujung lorong, sosok Yanto telah menunggunya. Berdiri bersandar di dinding dengan tangan menyilang, matanya tajam mengamati Bayu.

“Oi… Kenapa kau tidak menangkap Sora?” tanyanya datar.

Bayu sedikit terkejut. “Hah!? Kau tahu?”

“Haneep melihat semuanya. Sora itu aset kita! Bahkan bisa menghasilkan uang besar!” seru Yanto, suaranya naik satu oktaf.

“Aku… tidak bisa,” jawab Bayu pelan. Ia menunduk. “Dia… itu…”

Belum sempat Bayu menyelesaikan kalimatnya, Yanto melangkah cepat dan langsung menarik kerah bajunya. Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Bayu, membuatnya tersungkur ke tanah.

“Sial! Kau tergoda di tengah misi!?” hardik Yanto marah.

Bayu terdiam, wajahnya menoleh ke samping. Darah menetes dari sudut bibirnya. Yanto kembali mengangkat Bayu dengan kasar, siap melayangkan pukulan kedua—namun tangannya berhenti di udara.

Ada sesuatu di mata Yanto yang berubah. Kenangan masa lalu mereka—kebersamaan, pertarungan, dan tawa yang pernah mereka bagi—berkelebat sejenak.

“Kenapa, Yanto!? Kenapa kau berhenti!?” teriak Bayu, emosinya memuncak.

Yanto mendesah berat dan melepaskan genggaman kerah Bayu. Ia memalingkan wajah.

“Cih… Kau mengecewakanku,” ucapnya dingin. “Haneep memanggilmu. Dia tahu segalanya.”

Tanpa menoleh lagi, Yanto melangkah pergi, membiarkan Bayu terdiam dalam gelap, dengan darah dan penyesalan yang perlahan menggenang dalam hatinya.

---

Jam menunjukkan pukul 2 malam. Sora telah kembali ke markas Server X. Ia dibaringkan di ruang perawatan darurat. Di sekelilingnya ada Keter, Lim, Mugi, Freya, dan Crane yang menemaninya dalam diam.

Dokter Alice sedang memeriksa kondisi Sora dengan layar monitor dan senter medis. Matanya fokus, sementara layar di sebelahnya menunjukkan fluktuasi irama jantung yang tidak stabil.

“Bagaimana, Alice?” tanya Crane dengan cemas.

Alice mengangguk kecil, kemudian menjawab tenang, “Tubuhnya lemas karena jantung itu. Tegangan listrik tinggi yang dialirkan sebelumnya membuat sistemnya overload. Ada ketidakseimbangan antara pompa darah dan proses digitalisasi perangkat kerasnya.”

Sora menyentuh dadanya. Napasnya berat, ekspresinya penuh tanya.

“Itu... berbahaya, Dokter Alice?” tanyanya pelan.

Alice menghela napas. “Karena arus yang masuk terlalu tinggi, perangkat kerasnya mengalami kerusakan minor pada fungsi sirkulasi. Singkatnya… ini mirip metode penghancuran bertahap—tingkat tinggi.”

Sora memandang kosong ke arah langit-langit ruangan. “Berapa lama aku bisa bertahan?” bisiknya.

Alice menatap monitor lagi, lalu menjawab, “Untungnya jantungmu berteknologi tinggi. Jika tidak banyak bergerak... bisa bertahan satu bulan. Mungkin satu setengah. Kalau sangat beruntung—dua bulan.”

“...Satu bulan?” saut Crane, nadanya gemetar.

Alice mengangguk.

Crane mulai kehilangan kontrol. “Maksudmu… waktu hidupnya tinggal satu bulan?!”

Semua diam. Lalu Keter menoleh dan berkata tegas, “Ya. Waktu hidupnya.”

Crane terdiam. Matanya membelalak. “Tidak mungkin… tidak mungkin…”

Ia terduduk, menatap Sora seolah menolak kenyataan.

“Tidakkah kalian bisa membuat atau memprogram sistem baru?! Alice, kau ilmuwan terbaik kita!” teriak Crane.

Alice menunduk. “Tidak bisa. Aku benci mengakuinya... tapi pengetahuan dan kemampuanku tidak bisa membantu kalian kali ini.”

Sunyi.

Lalu Keter menambahkan, suaranya pelan tapi menusuk, “Jantung itu... bukan hanya kuat. Tapi terkutuk. Bukan dari segi fungsi... tapi dari asal-usulnya.”

Semua terdiam, seperti ditusuk realitas yang dingin. Satu-satunya suara yang terdengar adalah isakan tertahan dari Crane.

Namun, Sora perlahan duduk tegak di ranjang perawatan. Ia tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.

“Tidak apa-apa,” katanya tenang. “Sudah berkali-kali aku bilang ke Crane… aku seharusnya sudah mati dari dulu. Kalau jantung ini adalah kutukan, maka aku bersyukur padanya. Karena kutukan ini... aku bisa hidup cukup lama untuk bertemu kalian semua.”

Semua menunduk, kehilangan kata-kata.

Sora berdiri perlahan, tubuhnya masih lemah. Ia menunduk pada Alice dan berkata dengan lembut, “Terima kasih, Dokter.”

Lalu ia menatap teman-temannya satu per satu. “Ayo… kita kembali ke kamar masing-masing.”

Tak ada yang menjawab. Hanya langkah-langkah pelan, dan rasa pahit yang menggantung di udara.

---

Di dalam kamar yang remang-remang, Sora duduk di depan cermin, mengenakan baju tidurnya sambil menyisir rambut pelan-pelan. Di belakangnya, Crane duduk di tepi kasur, memperhatikan dalam diam.

“Besok katanya ada festival,” ujar Crane pelan. “Apa kau akan pergi?”

“Tentu,” jawab Sora sambil tersenyum kecil, menaruh sisir di meja. “Apalagi katanya festival musim panas. Banyak orang berdoa dan meminta keberuntungan.”

Sora berjalan menuju kasur dan membaringkan diri. Raut wajahnya tenang, seperti seseorang yang sudah lama menunggu malam yang tenang seperti ini. Crane masih duduk di ujung ranjang, menatap langit-langit kamar yang redup.

“Kau percaya pada keberuntungan?” tanyanya lirih.

“Tentu saja,” sahut Sora sambil menoleh pelan. “Kesempatan dan keberuntungan itu pasti datang... tinggal pilih yang kau inginkan saat saatnya tiba.”

“Yang aku inginkan, ya...” gumam Crane, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan malam.

Sora tertawa kecil. “Yoi! Aku punya banyak hal yang kuinginkan, meski... ya, banyak juga yang gagal.”

Tiba-tiba, tanpa berkata-kata lagi, Crane membaringkan diri, merebahkan kepala di dada Sora. Gerakan itu begitu lembut dan tiba-tiba, membuat Sora sedikit terkejut. Tapi ia tidak menolak.

“Tak ada yang melihat... kurasa ini kesempatan dan keberuntunganku,” bisik Crane. “Ini yang aku inginkan.”

Sora hanya tersenyum. Malam itu, mereka tidur bersama dalam diam yang hangat—bukan karena kata-kata, tapi karena kebersamaan yang akhirnya terasa cukup.

---

Di sebuah ruangan rahasia yang dipenuhi cahaya lampu temaram, Prof. Fujima duduk bersandar di kursinya dengan wajah letih dan frustrasi. Di hadapannya, Presiden Erick berdiri sambil menatap layar monitor yang baru saja menampilkan laporan kegagalan operasi terakhir.

“Hah! Orang-orang itu benar-benar tak berguna,” desis Fujima tajam, nada suaranya nyaris seperti geraman. “Padahal dia adalah aset berharga.”

Erick masih menatap layar, suaranya tenang tapi dingin. “Mereka bisa dibilang jenius. Dari segi penampilan, strategi, hingga sistem... mereka tak kalah dari unit manapun.”

Fujima mengangkat alis, seolah setuju setengah hati. “Aku akui. Di antara kelompok itu, ada kejeniusan, ada strategi, ada keterampilan yang sulit ditandingi.”

Ia berhenti sejenak, lalu menoleh perlahan, matanya menyipit tajam.

“Tapi kau tahu?” lanjutnya dengan suara pelan namun menusuk.

Erick menoleh ke arahnya. “Apa?”

“Menurutku... orang jenius sekalipun tak akan mampu membunuh monster.”

Kata terakhir itu diucapkan dengan tekanan, dan matanya kini gelap—bukan karena cahaya, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Dendam. Keputusasaan. Atau mungkin, ketakutan akan sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.

Erick tersenyum tipis, entah itu senyum percaya diri atau sinis. “Benarkah begitu?”

Suasana ruangan menjadi sunyi. Hanya suara kipas komputer yang berdengung pelan, seolah menjadi latar bagi dua tokoh penting yang kini mulai menyadari... permainan mereka belum berakhir, dan musuh mereka mungkin jauh lebih dari sekadar manusia jenius.

---