WebNovelServer X85.11%

Dua legenda.

Di markas Server X, malam itu suasana mendadak pecah oleh kejutan besar. Nipis, yang tadinya mereka curigai sebagai penyusup, justru mempermainkan semua orang dengan santainya. Kehebohan yang baru saja terjadi masih membekas di wajah para anggota.

Keter melangkah mendekat, matanya meneliti sosok di depannya.

“Jadi... kau Nipis,” ucapnya datar, “teman Freya, ya? Kupikir kau mata-mata.”

Nada Keter tenang, tapi ada ketegangan tersembunyi di balik kata-katanya.

Nipis hanya terkekeh pelan. “Tentu saja tidak. Aku masih cukup waras untuk tahu mana pihak yang benar.”

Di sudut ruangan, Lim tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya merah karena mabuk, tubuhnya menjuntai lemas setelah mencoba memikul Nipis — sebuah aksi spontan yang berakhir konyol.

“Lim!!” teriak semua anggota bersamaan.

Tanpa menunggu komando, mereka beramai-ramai mengangkat Lim, menahan tawa dan panik dalam waktu bersamaan. Kehebohan kecil itu membuat markas sejenak terasa seperti rumah… meski hanya sebentar.

Ketika suasana kembali tenang dan Lim sudah dibawa ke kamarnya, ruangan itu hanya menyisakan tiga orang: Freya, Nipis, dan Keter.

Keter menyilangkan tangan, memandangi Nipis dengan tatapan dalam.

“Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?” tanyanya langsung.

Nipis menatap balik, tidak gentar. “Aku dan kau punya tujuan yang sama… mencari dia.”

Hening beberapa detik menggantung. Freya tampak menahan napas.

Keter akhirnya bertanya, “Lalu? Apa rencanamu sekarang?”

Senyuman muncul di wajah Nipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum dingin penuh tekad.

“Moto hidupku sederhana — membalas seribu kali lipat. Aku akan menghancurkan pembunuh itu.” Ia menatap Keter dalam-dalam. “Dan kau… jangan ragu, Keter. Karena kau yang akan memenggal kepala pemerintah itu.”

Udara mendadak terasa berat.

Freya terdiam, matanya bergeser ke Keter.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Keter tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, seolah sedang berbicara dengan bayangan masa lalu yang belum selesai.

Freya menghela napas, setengah kesal setengah kagum.

Keter diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah, Nipis. Aku harap kau bisa diandalkan di sini."

"Kau bisa mengandalkan aku sepenuhnya." Jawab Nipis mantap.

---

Sementara itu, jauh di tempat lain—di jantung markas Alliance—tiga sosok telah bersiap untuk sebuah misi malam. Haneep, Mikey, dan Ao sudah berada di depan mobil militer hitam, lengkap dengan perlengkapan senyap dan senjata otomatis. Jam menunjukkan pukul 8 malam—waktu yang sempurna untuk operasi gelap.

Namun, satu orang belum juga muncul.

"Eh, tumben banget Pak Hibiki telat," gumam Haneep sambil bersandar di mobil. "Biasanya pak tua itu datang sebelum ayam sempat bermimpi."

Mikey tertawa kecil. "Mungkin dia lagi meditasi... atau merapikan alis."

"Enggak, pasti dia lupa. Dia itu fosil," celetuk Haneep dengan nada sebal.

Ao yang duduk di atas peti amunisi menoleh cepat. "Kau ingin mati bilang begitu? Aku sih enggak—dia seram banget."

Tiba-tiba pintu markas terbuka pelan. Sebuah aura berat langsung menyebar.

Hibiki Genta muncul, tubuhnya tegak meski sudah bungkuk usia. Katana tua tergantung di punggungnya, langkahnya pelan tapi menusuk lantai seperti gempa kecil.

"Ayo," ucapnya pendek. "Kita berangkat."

Tak ada yang berani bercanda lagi. Dalam diam mereka tahu, malam ini akan berdarah.

---

Di markas Server X, suasana hening menyelimuti ruangan utama. Keter perlahan membuka topeng kelinci putih yang selama ini melekat di wajahnya, memperlihatkan tatapan kosong namun dalam. Ia duduk di kursinya seperti biasa, namun aura di sekitarnya terasa berbeda malam ini. Di sebelahnya, Mugi tengah serius mengetik di depan terminal, deretan kode berlarian di layar hitam.

Seluruh anggota Server X berkumpul di ruangan, kecuali Lim. Mereka tidak menyadari, malam ini akan menjadi malam yang mengubah banyak hal.

"Wahh... ternyata kalian punya hacker yang cukup bagus ya. Iya kan... Mugen?" suara santai tapi tajam itu datang dari Nipis, yang berdiri santai di samping meja, matanya tertuju ke arah Keter.

Semua kepala menoleh.

“Mugen?” Agung mengernyit, mencoba memahami maksud dari nama yang disebut.

Keter menunduk pelan. Ia tidak menjawab.

Hening sejenak.

Nipis melangkah maju, senyumnya lebar namun dingin.

"Dia ini... Mugen." Ucap Nipis sambil menunjuk langsung ke wajah Keter. "Kalian tahu Alliance, bukan?"

Ruangan seketika gempar.

“Hah?!” seluruh anggota Server X berteriak bersamaan. Bahkan Mugi berhenti mengetik, wajahnya pucat, matanya membelalak.

"Iya, kami tahu Alliance!" Agung berseru. "Mereka itu mafia sekaligus alat pembunuh pemerintah! Asosiasi pembunuh bayaran. Mereka kekuatan tempur terkuat yang dimiliki negara!"

Nipis mengangguk pelan. "Dan Mugen—yang sekarang kalian panggil Keter—adalah salah satu dari mereka. Mantan anggota Alliance."

Semua terdiam. Seolah udara disedot dari ruangan.

Mugi berdiri perlahan dari kursinya, suaranya gemetar, "Apa... Apa itu benar?"

Keter menghela napas panjang. "Ya... Itu dulu. Aku sudah keluar sejak bertahun-tahun lalu."

Nipis tertawa ringan, "Dan aku... Ketua umum Alliance saat ini."

Keter menatapnya tajam. "Aku tahu. Tapi kau sudah keluar juga, bukan?"

“Sudah,” Nipis mengangguk. “Aku hanya mampir. Reuni, istilahnya. Terima kasih sudah izinkan Freya mengirim koordinat ke sini.”

“Aku awalnya cuma ingin meneruskan drama kita tadi. Tapi karena kau sudah melepas topeng kelinci putihmu itu… yah, anggap saja aku bantu bukakan panggungnya.” Nipis kembali tertawa kecil, senyumnya jenaka namun menakutkan.

Tiba-tiba, radio di sisi meja hidup sendiri. Suara penyiar terdengar gawat.

> "...Berita terkini. Polisi menemukan jasad seorang pria tak dikenal di area stasiun bawah tanah Kota Tiga. Korban ditemukan dengan luka sayatan mendalam di leher, hampir memutus. Tak ada tanda perlawanan. Ini merupakan kasus pembunuhan ketiga dalam dua malam terakhir. Warga diimbau tidak keluar malam tanpa keperluan penting. Pelaku diperkirakan sangat terlatih dan berbahaya..."

Mugi menoleh ke arah Keter, matanya masih belum percaya. “Jangan-jangan...”

“Bukan Alliance. Gaya pembunuhan ini bukan gaya lama kami,” kata Nipis cepat, seolah tahu ke mana arah pikiran Mugi.

Keter berdiri, memasang kembali topeng kelincinya. “Apapun itu... Kita harus cari tahu. Sekarang.”

Freya melirik Mugi, lalu ke Nipis, lalu ke Keter. Dalam hatinya, ia tahu: malam ini Server X tidak hanya kehilangan kepercayaan terhadap masa lalu, tapi juga sedang bersiap menghadapi musuh baru yang mungkin lebih gila dari yang pernah mereka hadapi.

---

Di dalam mobil Alliance yang melaju kencang menembus malam, suasana di dalam kabin terasa berat. Lampu-lampu kota yang sesekali menyambar kaca jendela membuat wajah-wajah mereka terlihat muram dan tegang. Karena saat itu mereka mengerahui berita pembunuhan dari radio dk dasboard mobil mereka.

Haneep mendesah panjang, tangannya mengusap wajah. “Gila... seharusnya pembunuh kayak gini dihukum mati.”

Ia diam sejenak sebelum menambahkan dengan nada lebih rendah, “Tapi kurasa gak mungkin, soalnya... pelaku ini dikirim langsung oleh pemerintah.”

Mikey yang duduk di kursi belakang tertawa kecil. “Hah! Kalimatmu barusan kayak naskah film yang aku tonton semalam. Dialognya mirip banget.”

Haneep memutar matanya. “Sudahlah Mikey, kau selalu aja ngelantur.”

“Apaan sih! Kau tuh gak asyik banget,” gerutu Mikey sambil menyandarkan kepala ke jendela.

Sementara itu, Ao yang mengemudi tampak terlalu agresif. Mobil meliuk tajam di tikungan, hampir mengenai trotoar.

Haneep cepat menegur, “Ao! Jangan terlalu ngebut, ini bukan arena balap.”

Tapi Ao malah tersenyum tipis, matanya tetap menatap lurus ke depan. “Aku pengen ngelakuin ini. Udah lama gak terasa hidup.”

Hening sesaat sebelum Haneep kembali bersuara, kali ini nadanya lebih serius. “Pembunuh itu… bukan orang biasa. Semua luka sayatan bersih. Gak mungkin amatiran. Ini kerjaan psikopat. Jack the Ripper.”

“Tanpa moral, tanpa hati nurani. Kalau soal ngebunuh, dia gak punya rem,” tambah Ao, kali ini dengan nada nyaris kagum.

Haneep melirik ke arahnya. “Tapi kau juga begitu, Ao.”

Ao terkekeh. “Iya sih. Bedanya, aku masih bisa ketawa.”

Mikey mencondongkan badan ke depan, melirik ke kursi paling belakang—tempat Hibiki Genta duduk diam sambil memegang sarung katana-nya.

“Tapi... yang paling serem tetap Hibiki.”

Tak ada yang membantah. Bahkan Ao pun hanya mengerlingkan mata ke spion, memastikan sang ‘pembunuh veteran’ itu masih diam, seperti mayat hidup.

Haneep segera mengalihkan topik. “Ayo cepat. Lokasi korban dekat stasiun tua. Sepertinya Nipis dan orang-orang Server X juga bakal datang ke sana.”

Ao menginjak gas lebih dalam, dan mobil pun melaju semakin cepat ke arah stasiun yang telah berubah menjadi TKP pembantaian.

---

Langit malam menghitam, hanya diterangi cahaya remang bulan yang menembus jendela pecah stasiun tua. Debu beterbangan di udara yang dingin. Empat siluet muncul dari bayangan: Nipis, Freya, Agung, dan Keter—tim inti Server X. Mereka melangkah pelan ke dalam bangunan kosong yang terasa seperti menyimpan bisikan kematian.

Dari saluran suara di telinga mereka, terdengar suara Mugi dari markas, “Seluruh sinyal komunikasi normal. Kami pantau dari sini. Hati-hati… ada sinyal anomali masuk dua menit lalu.”

Freya berjalan mendekati dinding penuh coretan pudar. “Tempat ini... indah dulunya. Sekarang kosong. Sunyi. Seperti tubuh tanpa jiwa.”

“Jelas kosong. Ini tempat pembantaian,” balas Nipis, tajam. “Jejak darah di rel sudah dikeringkan hujan, tapi... baunya masih tertinggal.”

Keter berdiri sambil menatap ke arah langit-langit retak. “Terlalu tenang. Aku tidak yakin pembunuhnya masih di sini...”

Tap. Tap.

Suara langkah pelan bergema dari lantai dua. Semua mendongak bersamaan.

Agung menyipitkan mata. “Ah… sepertinya tempat ini tidak sepenuhnya kosong.”

SHINGG!

Suara bilah katana ditarik paksa dari sarungnya menggema dingin. Dalam hitungan detik, lantai dua terbelah. Potongan beton dan kayu tua runtuh ke bawah dengan dentuman keras!

“AWAS!!” teriak Keter.

Keempatnya melompat mundur hampir bersamaan, menghindari puing yang jatuh menghancurkan tempat mereka berdiri beberapa detik lalu. Debu membumbung. Siluet seseorang muncul dari kepulan abu.

Saat debu mengendap, satu sosok berdiri di tengah keruntuhan lantai. Hibiki Genta.

Tubuhnya tegap. Tangan kirinya menggenggam katana yang sudah berlumur debu tapi tajam mengilap. Mata tajamnya menatap satu persatu.

Freya mengencangkan sarung tangannya. “Itu… Siapa?”

Keter bergumam, “Pembunuh berdarah dingin... Dikirim langsung dari jantung Alliance…”

Agung mengambil langkah ke depan, namun tangan Nipis menahannya.

SHHINK!!

Satu tebasan tajam dilancarkan Hibiki. Gelombang angin dari serangan itu membelah dinding kanan, memotong besi tua seakan terbuat dari roti. Retakan menghancurkan sebagian lantai di belakang mereka.

Mereka semua terpaksa berpisah. Debu kembali beterbangan.

Nipis berdiri tegak dan melangkah maju.

“Jangan ikut campur,” ujarnya tenang. “Kalian tidak akan mampu menghadapinya... Ini urusanku.”

Freya memprotes, “Tapi—”

“Percayalah padaku.”

Suasana menegang.

---

Sementara itu, di luar bangunan—lampu mobil menyala terang. Alliance ternyata saat itu tiba. Ao mematikan mesin, dan ketiganya—Haneep, Mikey, dan Ao—tetap diam di dalam.

Mikey membuka jendela dan melihat reruntuhan dari kejauhan. “Itu... suara katana ya?”

“Dia sudah mulai,” ujar Ao singkat.

Haneep bersandar ke kursi, mendesah. “Hibiki bergerak. Dia sudah haus darah rupanya…”

“Apa kita bantu?” tanya Mikey.

“Tidak. Biarkan Nipis dan Hibiki saling membunuh dulu. Kita tunggu hasilnya.” ucap Haneep dingin.

Mereka menunggu dalam diam. Lampu mobil menjadi satu-satunya cahaya dari kejauhan, menanti bayangan dua legenda yang berdiri di tengah reruntuhan.

Nipis vs Hibiki Genta.

Pertarungan tak terelakkan akhirnya dimulai.

---