(Flashback)
Beberapa tahun lalu, ketika Alliance baru terbentuk...
Di tengah jalanan malam yang sepi, lampu-lampu jalan berkedip lemah. Dua siluet berdiri berdampingan: Nipis dengan hoodie longgarnya, dan Mugen yang mengunyah permen karet seperti biasa.
“Wah… Nipis, kita kayaknya nggak main-main kali ini,” gumam Mugen sambil menyipitkan mata ke arah lawan mereka. “Itu... salah satu mafia paling ditakuti di Asia Selatan, kan?”
Nipis mengangguk ringan. “Kelihatannya begitu.”
Di hadapan mereka, berdiri seorang pria bertubuh besar dengan tato naga di lehernya. Dia sedang memutar-mutar leher sambil melipat tangan.
“Tak usah terlalu memuji,” ucap mafia itu dengan suara berat. “Aku cuma penasaran... seberapa kuat sih 'Alliance' yang baru-baru ini heboh disebut-sebut itu?”
Dalam sekejap mata—blur!—sosok mafia itu menghilang. Mata Nipis dan Mugen membelalak.
“Di belakang—!”
BRAK!
Terlambat. Kaki mafia itu melibas keduanya sekaligus. Nipis dan Mugen terjatuh menghantam aspal.
“Ugh! Cepat banget...” desis Mugen sambil bangkit tertatih.
“Heh… cuma segini?” Mafia itu menyeringai, menatap mereka seolah dua anak kecil yang baru belajar bertarung.
Tiba-tiba—srrrt!—suara benda terbang membelah udara.
BRAK!
Sebuah tong sampah logam menghantam wajah mafia itu dengan keras! Tubuhnya terhuyung, wajahnya kini tersembunyi di balik tong.
Dari atas tiang listrik, sosok mungil melayang turun dengan anggun: Yanli.
“Sekarang, bodoh!!” teriaknya.
Nipis langsung bangkit dan melepaskan tendangan memutar penuh tenaga ke arah tong itu—DUARR!
Diikuti Mugen yang meloncat dan menghantam tong dengan tendangan menyilang khasnya—KRAKK!
Tong sampah remuk seketika, dan tubuh mafia itu terlempar ke belakang, pingsan dengan gaya yang... agak memalukan.
Mereka bertiga terdiam sejenak.
Yanli menjentikkan jarinya dan berucap santai, “Kalian terlalu serius. Kadang tong sampah bisa lebih efektif daripada pedang.”
Mugen meludah ke samping dan terkekeh. “Catat itu, Nipis. Kadang solusi datang dari tempat sampah.”
---
Angin malam berhembus saat debu pertempuran perlahan mengendap. Nipis, Mugen, dan Yanli masih tertawa puas setelah menjatuhkan mafia bertubuh raksasa tadi. Tong sampah yang menutupi tubuh sang mafia kini penyok parah, tergeletak bersamanya yang pingsan tak berdaya.
Tiba-tiba, dari balik bayangan tembok, langkah kaki pelan namun penuh tekanan terdengar. Hibiki Genta muncul dengan siluet gagahnya, membawa tongkat kayu panjang yang terikat kain lusuh di ujungnya.
“Kalian sedang bertarung?” tanyanya tenang, tapi mata tajamnya menelisik ke arah tubuh mafia yang tergeletak.
“Iya, tapi kau telat, kakek,” celetuk Mugen sambil menyeringai.
Hibiki mengangguk ringan, lalu berkata dengan suara berat, “Tapi ini belum selesai. Anggota Red Chain masih bergerak.”
Yanli langsung melonjak, berteriak antusias, “Wahh! Ini bakal heboh!!”
Di kejauhan, sorot lampu dari sebuah mobil menyala tajam, mendekat cepat menerobos kabut malam. Suara deru mesinnya meraung liar. Asap mengepul dari ban yang tergesek aspal.
Tanpa ragu, Yanli meraih helmnya dan melompat ke atas motornya yang berwarna oranye cerah dengan stiker petir menyala. “Kalian siap!?” teriaknya semangat.
Mugen pun menaiki motor hitamnya yang gagah, suara knalpotnya memekakkan telinga. Hibiki menatap mereka sebentar sebelum bertanya, “Kalian yakin?”
“Tenang saja,” jawab Yanli sambil menoleh ke belakang, “Dalam hal kejar-kejaran, Nipis adalah yang terkuat!”
Nipis, dengan tenang dan dingin, menaiki motornya bersama Yanli. Ia memasang pedangnya di sisi sabuk kulit di pinggang.
“Kami berangkat, kakek!” seru Nipis.
Tiga motor melaju dengan kecepatan tinggi, membelah malam, seperti tiga panah api yang ditembakkan ke jantung musuh. Motor Yanli dan Nipis berada di depan, sejajar seperti dua saudara yang kompak. Mugen mengekor di belakang, bersiaga.
“Yanli, bersiap!” teriak Nipis sambil memegang erat pinggiran motor.
“Serahkan padaku!!” balas Yanli dengan semangat membara, gas motornya meledak bagaikan singa lapar.
Mobil musuh mulai melakukan manuver liar. Dalam satu gerakan mengerikan, ban mobil itu terbakar gesekan dan mengeluarkan percikan api saat memutar arah mendadak di aspal. Mobil itu melayang sedikit karena dorongan kecepatan.
Pada detik itu—Nipis melompat.
Tubuhnya melayang di udara seperti bayangan petir, menanti waktu yang tepat. Motor Yanli melesat di bawah mobil itu, nyaris menggesek aspal dengan spionnya. Cahaya dari lampu jalan menyinari mata Yanli yang berkilat penuh gairah.
BRAK!!
Mugen menembak ban mobil dengan presisi luar biasa. Pelurunya menghantam sisi ban yang terangkat, membuat mobil itu kehilangan kendali dan terguling kembali ke posisi semula.
“Sekarang!!” teriak Mugen.
Nipis, di udara, menghunus pedangnya dan menancapkan langsung ke atap mobil. Suara logam terbelah menggema saat pedangnya menembus bodi mobil—namun...
Kosong.
“Hah!?” Nipis terkejut.
Tiba-tiba—dari kegelapan di belakang mobil—seorang anggota Red Chain melompat seperti siluman, membawa belati besar. Ia melompat ke arah Nipis dari belakang, siap menebas.
Namun, suara raungan motor kembali menggema.
WUUUSHHH!!
Yanli menerbangkan motornya—BAN DEPANNYA MENGHANTAM LANGSUNG KEPALA SI PENYERANG. Dentuman keras terdengar, tubuh musuh itu terpental jauh ke semak-semak. Debu mengepul, burung-burung beterbangan.
Yanli mendarat mulus, lalu memutar helmnya sambil berdiri di atas motor. “Selesai!”
Nipis, masih berdiri di atas mobil, menggeleng sambil tertawa pelan.
“Gila banget...” gumamnya, terkesan sekaligus kagum.
Malam itu, mereka bukan sekadar tim. Mereka legenda dalam pembentukan Alliance.
---
Malam itu sunyi.
Tiga anak muda—Yanli, Nipis, dan Mugen—terlihat duduk santai di atas kap mobil anggota Red Chain yang kini jadi korban aksi konyol mereka. Motor mereka terparkir tak jauh, sedikit miring seperti habis digunakan dalam aksi brutal.
"Heh... itu tadi terlalu mudah," kata Yanli sambil menggigit batang rumput, kakinya menjuntai ke bawah. "Gak kebayang kalau mereka tadi turun tanpa mobil. Udah pasti kelar."
Mugen, masih mengatur napas, menatap langit. "Aku ragu... beda level. Kita ini cuma anak baru, Yanli."
Yanli menoleh cepat. "Ragu apaan? Nipis itu ketua kita, nomor satu dalam pertarungan, apalagi soal main pisau. Dan kamu—wakil ketua yang lincah, kuat, dan... yah, kadang nyebelin, tapi efektif."
Nipis hanya mengangkat bahu kecil. "Aku gak mau terlalu kelihatan. Biar Haneep aja yang mimpin di depan layar. Aku cukup jadi ketua umum di belakang layar."
Yanli melirik ke arahnya dengan ekspresi malas. "Ih, kamu cringe banget. Kedengeran kayak tokoh utama yang suka sembunyi di anime."
Nipis tersenyum kecil, tak membantah. Ia menikmati momen itu, walau sebentar.
Tiba-tiba, suara mesin mobil mendekat. Lampu sorot menyapu jalan rusak, menyorot wajah mereka bertiga.
Dari dalam mobil, Haneep turun sambil bersandar di pintu. "Ayo pulang. Jangan bikin gila-gilaan lagi malam ini."
Ketiganya berdiri. Dengan santai mereka turun dari kap mobil, meninggalkan jejak kecil kekacauan malam itu di belakang mereka.
---
Kembali ke masa sekarang.
Mugen berdiri membisu di hadapan tubuh kaku Hibiki Genta. Angin meniup jubahnya, dingin, sunyi, namun tak mampu membekukan getar luka di dalam hatinya.
"Maafkan aku... Hibiki. Alliance. Kalian semua adalah masa laluku," gumamnya pelan.
Di sisi lain, tidak jauh dari tempat Mugen berdiri, Nipis dan Freya berhadapan langsung dengan Jack the Ripper. Suasana menegang. Mata mereka saling menatap, tajam, penuh amarah dan dendam.
"Kau pernah bilang aku membunuh ayahmu, bukan?" ucap Jack sambil melangkah santai. "Siapa nama ayahmu?"
"Afgan," jawab Nipis, suaranya rendah namun jelas. "Itu nama ayahku."
Jack terdiam sejenak. Lalu tersenyum kecil, nyaris tidak bisa disebut sebagai senyuman.
"Aku ingat sekarang... Seharusnya aku tidak membunuh Tuan Afgan. Seharusnya aku membunuh Tuan Abner. Tapi... karena aku tidak menemukan Abner waktu itu, aku membunuh Afgan sebagai gantinya."
Nipis mengepalkan tinjunya. Suara di telinganya mendadak lenyap, hanya gemuruh di dalam dadanya yang terasa.
"Kenapa?" suaranya nyaris bergetar. "Kenapa kau membunuh ayahku?"
Jack mengangkat bahunya. "Kalau aku ceritakan alasannya... kau tidak akan mengerti. Tapi itu adalah pilihanku. Dan itu cukup bagiku."
Nipis menoleh ke arah Freya, yang hanya menunduk, tak mengatakan apapun.
"Freya..." ucap Nipis sambil melangkah ke depan. "Ini pertempuranku. Kau lihat saja."
Lalu dia menatap Jack penuh amarah. "Aku punya teman yang sedang bersedih. Jadi ayo... kita selesaikan ini."
Mereka berdua langsung bergerak. Pisau mereka beradu dalam benturan tajam yang menggema di antara tiang-tiang stasiun yang hancur. Jack, dengan gerakan cepat, mengeluarkan rantai panjang dari balik jasnya. Nipis berputar ke belakang dan melempar tubuh Jack ke udara, namun Jack membalas dengan melempar rantainya dan melilitkan ke kaki Nipis. Seketika, Nipis terseret dan menghantam tiang beton hingga retak.
Jack tidak memberi jeda. Dia mengayunkan rantainya lagi, tapi Nipis menahan dengan pisau di tangan kanan dan membalas dengan tembakan dari pistol di tangan kirinya. Jack bergerak gesit, melompat ke belakang, lalu kembali memutar rantai, melilit tubuh Nipis sepenuhnya.
Dengan kekuatan brutal, Jack melempar tubuh Nipis ke atap stasiun. Debu berhamburan saat tubuh itu menghantam keras.
Jack tertawa kecil, melangkah pelan. "Kau kira ini akan berakhir berbeda?"
Namun... detik berikutnya, suara langkah pelan terdengar di belakangnya.
"Jack," suara Nipis terdengar. Nafasnya berat, tubuhnya berdarah, tapi langkahnya mantap. "Aku benci pembunuh tanpa alasan. Yang membunuh hanya demi bersenang-senang..."
Jack sempat menoleh.
Terlambat.
Dengan satu gerakan cepat, Nipis menjambak kepala Jack dari belakang, menarik topi burung itu, lalu mengayunkan pisaunya. Suara mengiris terdengar pendek, bersih.
Leher Jack terpotong dalam satu tebasan.
Tubuhnya jatuh dengan bunyi thud berat. Matanya terbuka, kosong, tidak percaya.
Nipis berdiri diam, nafasnya tersengal, darah mengalir di wajah dan tangannya.
Freya hanya bisa menatap dari bawah—tak berkata apapun.
Namun... dari bayangan di belakang mereka... suara langkah lain terdengar.
Lambat. Berat. Aneh.
Dan dari balik kabut reruntuhan, muncul sosok yang seharusnya tidak ada di sana.