Bel istirahat berbunyi nyaring, menandakan waktunya siswa bersantai dan mengisi perut. Alesya berdiri sambil meraih dompet kecil berwarna cokelat muda dari dalam tasnya. Dengan rapi, ia menyelipkan dompet itu ke dalam saku seragamnya. Rambutnya masih dicepol seperti pagi tadi ia tidak merasa perlu mengubah penampilan.
“Les, yuk ke kantin!” ajak Tania, diikuti Della dan Ayu.
Mereka berempat melangkah keluar kelas dan menuju kantin sekolah yang cukup ramai. Aroma makanan yang menggoda langsung menyambut begitu mereka masuk. Suasana kantin begitu hidup, penuh gelak tawa dan suara piring beradu.
“Lo mau makan apa, Les?” tanya Ayu sambil melihat antrean mie ayam.
Alesya menoleh dan tersenyum kecil. “Aku coba mie ayam, deh. Aku belum pernah makan.”
“Belum pernah?” Tania memandangnya heran.
Alesya hanya mengangguk, lalu ikut antre. Setelah memesan semangkuk mie ayam dan segelas es jeruk, ia menambahkan dua gorengan yang tampak renyah ke dalam piring kecil.
Begitu mendapatkan tempat duduk, mereka semua mulai menyantap makanan masing-masing.
Alesya menatap mangkuk mie ayam miliknya dengan penuh antusias. Ia menyuap satu sendok pertama, lalu matanya membesar. “Enak banget.”
“Hahaha, itu baru mie ayam biasa, belum yang pakai topping,” ujar Della.
“Topping? Emang bisa ditambahin apa aja?”
“Biasanya sih bakso, ceker, atau pangsit,” jelas Ayu sambil mengunyah.
“Ceker?” Alesya menatap mereka penuh minat. “Next time aku coba deh. Kayaknya menarik.”
Alesya lalu mengambil satu gorengan, menggigitnya perlahan, kemudian menoleh ke arah Tania. “Ini namanya apa?”
“Tempe mendoan,” jawab Tania.
Alesya mengangguk pelan. “Gurih ya, aku suka.”
Tania menatap Alesya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Ia bersandar sedikit mendekat dan berbicara lebih pelan. “Les, jujur ya lo tuh kayaknya bukan cewek sederhana. Maksudku, dari cara lo makan, ngomong, sama ekspresi lo keliatan banget kalau kamu dari keluarga berada.”
Sejenak Alesya terdiam. Senyumnya menipis, lalu pandangannya menyapu sekilas ke sekeliling kantin. Ia menyadari ada beberapa siswa yang mungkin bisa mendengar pembicaraan itu. Dengan tenang, ia menoleh ke Tania dan menjawab lirih namun tegas.
“Pada waktunya nanti kalian akan tahu. Tapi untuk sekarang, biarkan aku menikmati mie ayam ini dulu,” katanya, disertai senyuman manis yang membuat teman-temannya terdiam.
Tania mengangguk, tidak ingin memaksa. Ia sadar Alesya punya alasan untuk menunda bicara soal latar belakangnya.
Tanpa Alesya sadari, dari kejauhan di salah satu meja paling pojok Rayan sedang duduk santai, tangannya memainkan sedotan dalam gelas kopi susu. Pandangannya diam mengarah ke Alesya dan teman-temannya.
Ia mengamati gerakan Alesya dengan seksama. Dari ekspresi wajahnya saat mencicipi mie ayam, sampai cara gadis itu bertanya soal nama gorengan.
“Dia baru pertama kali makan mie ayam? Bahkan gak tahu itu tempe?”
Ada rasa penasaran yang makin menguat dalam diri Rayan. Gadis itu terlalu bersih untuk jadi anak kos biasa. Tapi kenapa bisa muncul di sekolah ini, tinggal di kosan sempit, dan berpakaian sesederhana itu?
“Apa yang sebenarnya lo sembunyiin, Cewek Kecil?” batin Rayan dalam diam.
---
Alesya menyendok sisa mie ayamnya yang tinggal separuh. Bibirnya yang tipis dan alami berwarna pink melengkung pelan, menandakan kepuasan. Ia menyeruput es jeruk dingin yang terasa segar di tenggorokan.
“Enak banget Aku pingin nyobain semua makanan di sini,” gumamnya pelan tapi antusias. Matanya menyapu sekeliling kantin yang masih ramai oleh suara anak-anak SMA yang riuh rendah.
Lalu, ia menoleh ke Tania. “Disini ada batagor nggak? Aku dari tadi mikir, kayaknya pengin makan itu juga.”
“Wah, ada! Tapi agak di ujung sana, deket tiang pojok. Besok-besok kita ke sana, ya,” jawab Tania sambil tersenyum.
“Oke, noted,” jawab Alesya ringan sambil kembali meneguk es jeruknya hingga menyisakan es serut di dasar gelas.
Dari sudut lain kantin, tepat di meja dekat dinding, Rayan sedang duduk bersama dua temannya. Ia bersandar malas di kursinya, satu tangan memutar tutup botol minuman, tapi matanya jelas tidak fokus ke arah percakapan di mejanya.
Ia menatap diam ke arah Alesya dari gerakan kecilnya menyuap mie, cara ia tersenyum, hingga ekspresinya yang terlihat tulus menikmati makanan sederhana seperti mie ayam dan gorengan. Tidak dibuat-buat. Tapi terlalu anggun untuk ukuran anak kos biasa.
“Loe serius amat, Yan,” bisik Andra, temannya, sambil menyenggol siku Rayan.
“Hah?” Rayan menoleh pelan, ekspresinya tetap datar.
Andra terkekeh, “Anak baru itu, yang rambutnya dicepol. Lo liatin dari tadi.”
Rayan mengangkat bahu. “Biasa aja.”
“Biasa apaan, mata lo nggak pindah sejak dia duduk.”
“Dia aneh,” sahut Rayan pendek.
“Aneh?”
Rayan mengangguk kecil, masih menatap ke arah Alesya. “Gayanya terlalu bersih buat anak kos. Tapi makan mie ayam baru pertama, dan nanya batagor segala. Kayak anak hilang dari dunia lain.”
Andra tertawa pelan. “Mungkin aja, cewek kayak gitu nggak biasa makan di pinggir jalan.”
Rayan tidak menjawab. Pandangannya kembali tertuju ke arah Alesya yang sedang bercanda kecil dengan Tania dan Della. Ia terlihat bahagia dengan hal sederhana. Tapi justru itulah yang membuat Rayan semakin penasaran.
Siapa lo sebenernya, Cewek Kecil?
---
Berikut kelanjutan Bab 9 – Bagian 3 dari novel Gadis Elit dan Ketua Geng, dengan suasana ringan namun tetap menggambarkan karakter Alesya yang sederhana namun anggun, serta tatapan tak biasa dari Rayan yang makin penasaran:
---
Setelah suapan terakhir mie ayam berpindah ke perut, Alesya berdiri sambil mengelap sudut bibirnya dengan tisu. Senyumnya masih tertinggal, puas dan bahagia karena perutnya kenyang oleh makanan yang begitu sederhana tapi terasa istimewa baginya.
“Aku ke ibu kantin dulu ya,” katanya pelan ke Tania, Ayu, dan Della.
Ia melangkah dengan tenang ke bagian depan kantin. Langkahnya ringan, rambutnya masih dicepol rapi, dan senyumnya menyapa siapa pun yang bersinggungan dengannya.
“Ibu, beli air mineral dingin satu, ya,” ucap Alesya sambil menunjuk botol yang disimpan dalam termos es.
“Iya, Nak. Mau yang besar atau kecil?”
“Kecil aja, Bu,” jawab Alesya.
Setelah menerima botolnya, mata Alesya tertarik pada beberapa gorengan yang tersusun rapi di etalase kecil di samping meja kantin.
“Bu, ini yang bulat bakwan ya?”
“Iya. Yang ini risol mayones, yang itu tahu isi.”
“Boleh saya bungkus semuanya masing-masing satu?”
“Tentu, tunggu sebentar ya,” jawab si ibu kantin sambil mulai membungkus makanan ke dalam plastik kecil yang diberi tusuk lidi.
Alesya mengeluarkan dompet kecil dari sakunya, mengeluarkan uang pas, lalu tersenyum. “Terima kasih ya, Bu.”
“Sama-sama, Nak. Awas panas, ya.”
Dengan satu botol air mineral dan plastik gorengan di tangan, Alesya kembali ke meja tempat ketiga sahabat barunya duduk.
“Nih, uang buat bayar yang tadi,” ucap Alesya sambil menyerahkan lembaran uang kecil ke Tania.
“Hah? Nggak usah, Les, tadi kita yang ajak kamu,” balas Della.
Alesya menggeleng lembut. “Nggak enak. Tadi kan aku makan mie ayam, es jeruk, sama gorengan satu. Masa nggak bayar?”
Tania dan Ayu hanya tertawa pelan melihat sikap Alesya yang teguh dengan prinsipnya meski terlihat begitu santun.
“Baik banget, sih,” celetuk Ayu.
Sementara itu, tak jauh dari mereka, Rayan masih memerhatikan dari sudut meja tempat ia duduk. Ia tidak sadar kalau tangan kirinya sudah mengaduk minumannya entah sejak kapan, sementara pandangannya tetap lekat ke sosok Alesya.
“Cewek ini aneh,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Tingkah Alesya yang antusias tanya-tanya nama gorengan, membayar sendiri makanannya, bahkan senyumannya yang ramah ke ibu kantin semuanya seperti potongan puzzle yang tidak cocok dengan image anak kos biasa.
Apalagi caranya menata rambut, cara bicara yang sopan tapi percaya diri, dan gaya berpakaian yang tetap rapi meski sederhana.
Rayan mulai terusik. Ia bukan tipe cowok yang peduli sama urusan orang. Tapi entah kenapa, gadis itu seperti memberi teka-teki kecil yang ingin ia pecahkan.