Tulisan spidol merah itu seperti sirene dalam kepala para murid. Suasana kelas menjadi lebih diam, lebih tegang, lebih dingin.
Tapi bukan hanya murid-murid SMA yang menghadapi ujian. Di meja kecil SD dekat kantor kelurahan, Aditya juga duduk membungkuk, pensil di tangan, kening berkerut. Matanya lelah. Ada bekas kantuk yang tak sempat hilang.
Di rumah, Raka menemukan buku-buku latihan matematika berserakan di lantai kamar Aditya. Kertas ulangan, coretan-coretan, dan satu lembar berisi tulisan besar yang dicoret berkali-kali:
“Aku nggak bisa.”
Raka duduk di lantai. Membaca coretan itu. Diam.
Hari kedua ujian, Aditya pulang lebih lambat dari biasanya. Wajahnya murung. Ranselnya penuh kertas lecek. Ia tak langsung masuk rumah. Duduk dulu di tangga depan, menatap hujan gerimis yang turun ringan. Jemarinya mencoret-coret sol sepatu.
Raka melihat dari balik jendela.
Tapi ia tetap diam.
Malamnya, saat makan malam, Raka membuka pembicaraan. Pelan.
“Gimana ujian tadi?”
Aditya mengangkat bahu. “Biasa.”
“Matematika?”
Aditya mengunyah lambat. “Susah.”
“Sudah belajar, kan?”
“Sudah. Tapi lupa semua pas di kelas.”
Raka menaruh sendok. Matanya tak tajam. Tapi juga tak lembut.
“Kamu nggak boleh malas, Dit.”
“Aku nggak malas.”
“Nilai itu penting.”
“Bapak juga dulu selalu dapat nilai bagus?”
Raka terdiam.
Pertanyaan itu seperti lemparan balik ke dadanya.
Lalu Aditya menatapnya. Matanya mulai basah, tapi bukan karena sedih. Karena marah.
“Bapak tahu nggak... rasanya belajar sendirian, tidur sendirian, dan tiap hari cuma dengar orang bilang ‘nilai penting’? Bapak... nggak pernah nanya, aku capek atau nggak.”
Raka membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia tidak siap. Tak pernah siap.
Aditya berdiri. Kursinya bergeser nyaring.
“Aku nggak minta apa-apa. Aku cuma mau... ditemani. Sekali aja.”
Lalu ia masuk ke kamar, membanting pintu. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuat rumah tua itu terasa lebih sepi dari biasanya.
Raka duduk lama di ruang makan. Nasi di piringnya dingin. Tehnya tak disentuh.
Lalu pelan-pelan, ia berdiri. Melangkah ke kamar Aditya. Tidak mengetuk. Hanya berdiri di depan pintu. Mendengarkan.
Tidak ada suara.
Ia ingin bicara. Tapi mulutnya kering.
Akhirnya, ia hanya bergumam pelan, tanpa berharap didengar:
“Maaf, Dit... Aku juga lagi belajar.”
Lalu ia kembali ke ruang tamu.
Malam itu, ia tidur di kursi panjang. Dan pintu kamar Aditya tetap tertutup.