Hari Sabtu Tanpa Rencana

Sabtu pagi datang tanpa alarm. Langit mendung tapi tak hujan. Udara masih dingin, tapi tidak menusuk. Di rumah itu, jam berjalan lebih lambat. Tak ada bel sekolah. Tak ada tugas menumpuk.

Dan untuk pertama kalinya, Raka tidak buru-buru membuat teh atau membuka koran. Ia hanya duduk di beranda, menatap jalanan kosong, sambil sesekali mencium aroma tanah yang lembap dari halaman belakang.

Aditya keluar dari kamarnya masih dengan kaus tidur dan celana pendek. Rambutnya belum disisir. Ia duduk di anak tangga paling bawah, bersandar ke tiang kayu.

Tak ada sapaan. Tak ada pertanyaan. Tapi keheningan di antara mereka tidak canggung. Seperti dua orang yang sedang menikmati jeda yang sama.

Beberapa menit kemudian, Raka berkata, “Mau ke pasar?”

Aditya menoleh. “Ngapain?”

“Liat-liat.”

Anak itu mengangkat bahu. “Boleh.”

Motor butut Raka melaju pelan di jalan desa yang sepi. Aditya duduk di belakang, tidak banyak bicara, tapi juga tidak memeluk erat. Tangannya memegang pinggiran jok, cukup untuk menjaga keseimbangan. Mereka melewati sawah, jembatan kecil, dan lapangan bola yang mulai ditumbuhi ilalang.

Pasar tradisional di Kecamatan Cikoneng masih seperti dulu—ramai, padat, dan berisik. Ibu-ibu menawar ikan, penjual tempe bersuara lantang, anak-anak kecil berlarian sambil membawa kantong plastik.

Raka membeli beberapa bahan: tahu, daun bawang, dan kerupuk. Tapi di tengah keramaian, Aditya berhenti di depan sebuah lapak kecil.

Lapak mainan bekas.

Di sana, tergantung satu mainan mobil besi—berkarat di ujungnya, tapi masih utuh bentuknya.

“Itu... mirip yang dulu Ibu beliin,” gumamnya.

Raka menatap mainan itu lama. Harganya ditulis di kardus kecil: seribu lima ratus rupiah.

Tanpa berkata apa-apa, Raka membayar.

Dan memberikan mainan itu ke tangan Aditya.

Anak itu hanya menunduk, menggenggamnya erat. Lalu berkata lirih, “Terima kasih.”

Dalam perjalanan pulang, mereka berhenti sebentar di warung pinggir jalan. Hanya menjual mie rebus dan kopi sachet. Tapi meja kayunya menghadap langsung ke sawah yang luas.

Mereka makan di sana. Tanpa bicara panjang. Tapi di sela-sela hirupan mie panas, Aditya bertanya:

“Dulu... Bapak pernah punya anak didik yang Bapak sayangi?”

Raka memandangnya sekilas. “Banyak.”

“Tapi... bukan cuma karena pintar?”

Raka tersenyum kecil. “Ada. Tapi yang paling kusayang... biasanya bukan yang nilainya tinggi.”

Aditya berpikir sejenak. “Kenapa?”

“Karena mereka bertahan. Meski hidup nggak selalu mudah.”

Aditya mengangguk pelan. Lalu berkata, pelan pula:

“Kalau aku... masuk yang mana?”

Raka tidak menjawab. Tapi sebelum mereka naik motor lagi, ia meletakkan tangan di kepala Aditya.

Dan mengacak rambutnya.

Itu saja.

Tapi cukup.

Sabtu itu mereka pulang sore. Langit tetap abu-abu. Tapi rumah itu terasa lebih terang dari biasanya.

Dan malamnya, Aditya meletakkan mobil besi kecil itu di rak buku. Di sebelah foto ibunya.

Tanpa komentar. Tanpa penjelasan.

Tapi Raka tahu—hari itu adalah hari pertama mereka “pergi bersama.”

Bukan sebagai guru dan anak orang lain.

Tapi sebagai dua manusia yang akhirnya tahu: mereka sedang membangun rumah dari puing yang sama.