Chapter 19 – The Trial of Wits and Mazes

Chapter 19 – The Trial of Wits and Mazes

(Ujian Kecerdikan dan Labirin)

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian langka di Gunung Lihai. Pusaran hitam keunguan itu masih dibicarakan oleh banyak orang di seluruh Negara Guhawe, mulai dari rumah teh di kota besar, hingga meja-meja kayu sederhana di desa terpencil.

Meskipun langit telah kembali biru dan angin kembali sejuk, bayangan dari peristiwa itu masih tersisa di benak banyak orang. Beberapa percaya itu adalah pertanda zaman baru, sebagian lagi menganggapnya sebagai kutukan kuno yang belum bangkit. Namun satu hal yang pasti: semua mata kini tertuju ke Sekte Daun 7 Sisi, dan ke seleksi tahap kedua yang akan berlangsung hari ini.

Sementara itu, di Desa Yunboa, suasana jauh lebih damai.

Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei, kini berusia sembilan tahun, tengah bermain di halaman belakang rumah mereka. Tanpa beban dan tanpa tahu bahwa dunia luar sedang berubah, mereka berlarian di antara pohon kelengkeng dan semak liar yang berbunga kecil-kecil.

“Cepat, Zienxi! Aku hampir menang!” seru Vuyei sambil tertawa.

“Tidak! Aku yang menang! Kamu curang!” balas Zienxi sambil mencoba mengejar sepupunya.

Di dapur kayu yang hangat, aroma harum dari bubur jagung dan sup ikan memenuhi udara.

Quim Zunxi sedang mencacah daun bawang, sementara Tsai Mianzu sibuk mengaduk sup dengan gerakan lambat namun pasti.

“Mereka tampak lebih ceria dari biasanya,” ujar Mianzu lembut.

“Tentu saja,” sahut Zunxi sambil tersenyum. “Dunia mereka masih bersih... dan mari kita usahakan tetap begitu selama mungkin.”

Di sisi lain rumah, dua lelaki dewasa tengah mempersiapkan peralatan berburu.

Lawzi Jeu, dengan mata tajam dan langkah ringan, memeriksa busur panjangnya.

Lawzi Kunren memeriksa jebakan dan kantong bumbu untuk memasak hasil buruan.

“Hari ini angin condong ke arah timur. Kita bisa coba dekat sungai Teya,” ujar Kunren.

“Baik, tapi kita harus pulang sebelum gelap. Aku tidak ingin Quim khawatir,” sahut Jeu sambil tersenyum tipis.

Mereka berdua menatap ke arah anak-anak yang masih bermain di kejauhan.

“Zienxi dan Vuyei…” gumam Kunren pelan.

“Mereka akan tumbuh di dunia yang jauh berbeda dari kita dulu.”

Seleksi tahap kedua akhirnya dimulai. Di hari yang cerah, 325 calon murid dikumpulkan di lapangan utama Sekte Daun 7 Sisi, tepat di depan gerbang Labirin Teka-Teki tempat ujian kali ini akan berlangsung. Tidak ada aura membunuh, tidak ada tekanan spiritual dari para tetua. Yang ada hanya keheningan, menanti instruksi.

Salah satu tetua maju ke tengah, mengenakan jubah panjang berwarna biru tua dengan sulaman daun berujung tujuh.

“Ujian kedua ini menguji ketajaman pikiran dan kecerdasan dalam mengambil keputusan. Labirin di hadapan kalian tidak berbahaya secara fisik, namun akan menguji kesabaran dan logika. Tidak ada jebakan, tidak ada monster. Tapi salah satu langkah bisa membuat kalian berputar di tempat yang sama selama berhari-hari.”

Para calon murid menyimak dengan penuh perhatian. Sebagian wajah tampak percaya diri, sebagian lain justru gelisah.

“Hanya 250 orang yang akan kami terima dari tahap ini. 75 orang lainnya akan gugur, dan harus kembali ke tempat asal mereka masing-masing.

Ujian dimulai sekarang.”

Pintu labirin terbuka perlahan. Batu-batu besar yang menyusunnya tampak dingin dan tua, menyimpan teka-teki yang belum terpecahkan.

Satu per satu calon murid masuk. Beberapa saling berpamitan dengan teman mereka, sementara yang lain langsung bergegas dengan langkah mantap.

Waktu terus berjalan.

Tujuh hari berlalu begitu cepat.

Suasana di luar labirin mulai ramai dengan sorakan dan tawa. Satu demi satu, calon murid mulai menyelesaikan tantangan mereka dan keluar dari gerbang utama.

Hingga hari ke-7, sudah 153 orang yang dinyatakan lulus.

Di antara mereka, beberapa nama mulai menonjol.

Yun Xiwe keluar dari labirin dengan tenang. Ia tidak berbicara banyak, namun matanya menunjukkan bahwa ia menikmati tantangan tersebut.

Fang Sei berjalan keluar dengan santai, kedua tangannya disilangkan di belakang kepala, ekspresi bosan di wajahnya.

“Tujuh hari cuma buat teka-teki begini? Membosankan.”

Jia Yuwei tampak bahagia, tapi senyum itu cepat memudar saat ia melihat Xieyi Zui keluar beberapa saat setelahnya.

“Oh? Kukira kau akan menangis di simpang utara,” kata Yuwei dengan nada mengejek.

Xieyi Zui membalas dengan suara halus, tanpa terlihat tersinggung.

”Setidaknya aku tidak perlu membaca petunjuk keras-keras agar terdengar pintar.”

Mereka saling menatap sejenak, sebelum memalingkan wajah masing-masing.

Di sisi lain, beberapa peserta lain juga mulai saling menyindir.

“Hah! Yang masuk jalur timur pasti anak-anak bodoh. Semua teka-tekinya cuma permainan kata,” ujar seorang pemuda bertubuh besar yang dikenal sebagai Hui Baifa.

Dari arah yang berbeda, seorang gadis dengan rambut dikuncir tinggi mendengus pelan.

“Lucu. Bukankah kau sendiri yang tersesat tiga hari di sana, Hui Baifa?” katanya sinis.

Sorakan kecil dan tawa terdengar dari para murid lain.

Suasana di sekitar labirin mulai memanas. Ketegangan mulai tampak, namun masih dalam batas wajar. Para tetua dan murid senior yang berjaga di sekeliling tetap diam, membiarkan para calon murid menunjukkan karakter asli mereka. Mereka tahu, seleksi ini tidak hanya tentang menyelesaikan teka-teki tapi juga tentang siapa yang bisa bertahan secara mental.

Jumlah peserta yang keluar terus bertambah setiap jamnya.

Namun waktu terus mendekati batas akhir.

Dan tekanan semakin terasa.

Hari ke-9 pun tiba.

Kabut tipis menyelimuti pelataran luar Labirin Teka-teki saat fajar menyingsing, seakan labirin itu sendiri ikut menjaga rahasia teka-tekinya dari dunia luar. Ratusan pasang mata terus memandangi gerbang keluar dengan harap-harap cemas, menanti siapa lagi yang akan muncul dari dalam.

Dan akhirnya...

Dari pintu batu yang berat itu, langkah kaki terdengar.

Sosok tinggi dan dingin berjalan dengan tenang, tanpa noda, tanpa goyah. Yuji Daofei dikenal karena kecerdasannya yang membungkam, keluar tanpa sepatah kata pun. Mata tajamnya melirik sebentar ke arah para murid yang menunggu, lalu menunduk sebentar kepada para tetua sebelum berjalan ke sisi pelataran tanpa suara.

Beberapa murid langsung membicarakan kemunculannya.

“Itu Yuji Daofei, kan?”

“Tentu saja dia lulus. Dia bukan manusia biasa…”

Tak lama berselang, tawa kecil yang menyebalkan terdengar dari sisi lain gerbang.

Wang Xuei, dengan senyum menyeringai dan tangan di pinggang, melangkah keluar sambil mengibas-ibaskan rambutnya.

“Hah! Terlalu mudah. Mereka bilang labirin ini bisa membuatmu gila? Sepertinya teka-tekinya diciptakan untuk anak kecil,” ujarnya lantang.

Seorang calon murid yang duduk tak jauh darinya mencibir.

“Kalau begitu kenapa kau butuh sembilan hari, Wang Xuei?”

Gadis itu langsung menoleh dengan alis terangkat tinggi.

“Karena aku menikmati setiap teka-tekinya seperti puisi. Tidak seperti kalian yang bahkan tidak tahu arti kata ‘logika’.”

Tawa sinis terdengar. Percakapan mulai memanas lagi seperti hari-hari sebelumnya.

Namun kemudian, gerbang kembali terbuka lebih pelan kali ini. Suasana mendadak sunyi.

Dari balik gerbang muncullah seorang gadis berambut panjang, wajahnya mirip dengan Jia Yuwei namun ekspresinya jauh berbeda lebih tajam, lebih curiga. Jia Wei, sang kakak, akhirnya keluar setelah dua hari lebih lambat dari adiknya.

Yuwei yang tengah duduk langsung berdiri dan tersenyum setengah mengejek.

“Akhirnya selesai juga ya, Kakak?”

Jia Wei tak menjawab. Ia hanya menatap adiknya datar, lalu melempar pandang pada Wang Xuei yang masih bicara.

“Kau terlalu banyak bicara untuk seseorang yang hampir gagal di teka-teki pantulan cahaya.”

Wang Xuei terdiam sesaat, sebelum melengos sambil bergumam pelan.

“Huh… hanya karena aku lupa sisi utara itu kiri kalau balik badan…”

Percakapan demi percakapan di antara para peserta yang telah lulus mulai mewarnai pelataran. Suasana jadi lebih ramai, lebih panas, tapi juga menyiratkan satu hal: waktu mereka semakin sedikit.

Total peserta yang telah lulus kini berjumlah 187 orang.

Artinya, hanya tersisa 63 tempat lagi sebelum seleksi tahap kedua ini ditutup selamanya bagi sisanya.

Banyak mata menatap cemas ke arah gerbang yang belum juga terbuka lagi, berdoa agar teman, saudara, atau bahkan diri mereka sendiri bisa menyusul dan mengukir nama di antara mereka yang terpilih.

Dan di balik semua keramaian ini, di kejauhan, seorang tetua berdiri di puncak menara batu, matanya mengamati satu per satu nama yang tertulis di gulungan besar. Ia mengangguk pelan.

“Masih banyak yang bisa berubah,” gumamnya.