Chapter 28 – The Shattered Silence

Chapter 28 – The Shattered Silence (Keheningan yang Terkoyak)

Pagi itu, udara segar mengalir lembut di Bukit Xiang, tak jauh dari Desa Yunboa. Di sanalah Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei berlari kecil sambil tertawa ceria. Cahaya matahari menyinari wajah mereka, memantulkan pancaran polos masa kecil yang belum ternoda tragedi.

Setelah puas berlari dan bermain, keduanya duduk di tepi bukit. Pemandangan luas terbentang di depan mereka pepohonan hijau, lembah yang damai, dan langit biru tanpa cela.

"Zienxi, lihat awan itu… mirip kelinci," ujar Vuyei sambil menunjuk ke langit.

Zienxi tertawa kecil. "Hahaha, iya! Atau mungkin... naga kecil?"

Mereka berdua tertawa ringan, suara masa kecil yang belum tahu dunia bisa begitu kejam.

Sementara itu, di rumah mereka…

Lawzi Jeu sedang membersihkan potongan daging segar di belakang rumah. Tangannya terampil, gerakannya cekatan.

Di halaman belakang, Lawzi Kunren mengukur kayu dan mulai membuat meja baru. Keringat menetes, tapi senyum kecil selalu hadir di wajahnya.

Quim Zunxi dan Tsai Mianzu sibuk di dapur, menyiapkan bumbu dan memanaskan tungku. Aroma rempah dan kaldu mulai memenuhi rumah mereka yang hangat.

Beberapa saat kemudian, Zienxi dan Vuyei pulang. Aroma masakan segera menyambut mereka.

"Hmmmm!" seru Vuyei. "Aku bisa mencium daging panggang!"

"Ibu! Kami pulang!" teriak Zienxi sambil melepas sandalnya.

Quim Zunxi tersenyum dari dapur. "Cuci tangan kalian dulu. Makanan hampir siap."

Mereka duduk bersama di ruang makan. Lawzi Jeu dan Kunren sempat bercanda dengan kedua anak itu sambil menunggu hidangan.

"Lain kali kalian harus bantu potong kayu juga," ujar Kunren sambil mengangkat alis.

"Kalau itu, serahkan ke Vuyei," celetuk Zienxi cepat.

"Hey!" Vuyei memukul lengan Zienxi pelan. Semua tertawa.

Makanan tiba. Hangat, beraroma kuat, dan penuh cinta. Mereka menyantapnya bersama-sama. Tak satu pun dari mereka tahu… itu adalah makanan terakhir yang akan mereka nikmati bersama.

Setelah makan, Zienxi dan Vuyei kembali bermain bersama anak-anak desa lain di sekitar bukit. Mereka bermain petak umpet dan meniru adegan para pendekar seperti dalam cerita ayah mereka. Desa Yunboa tenang… untuk saat itu.

Namun, ketika sore menjelang, langit Yunboa tiba-tiba berubah. Awan gelap menggulung cepat, petir menyambar dari kejauhan, menggema seperti tanda kehancuran. Lalu...

Tiga sosok muncul di langit desa Yunboa.

Dua pria dan satu wanita.

Pria pertama memiliki rambut panjang terikat ke belakang, mengenakan jubah hitam dengan corak biru mengilat. Pria kedua bertubuh kurus dengan mata tajam. Sedangkan wanita tampak paruh baya, rambut putih tergerai, dan jubah kuning yang memantulkan cahaya petir.

Warga desa menatap ke langit dengan ketakutan. Lawzi Jeu, Lawzi Kunren, Quim Zunxi, dan Tsai Mianzu pun terkejut, menyadari aura mengerikan dari ketiganya.

Tanpa peringatan, langit bergemuruh keras.

BOOOOM!

Serangan tiba-tiba menghantam rumah keluarga Lawzi. Tanah berguncang hebat.

"A-apa ini?!" seru Jeu sambil menarik Quim Zunxi ke belakang.

"Apa... siapa mereka?" tanya salah satu warga.

"Mereka... mereka bukan orang biasa!" teriak warga lain.

Lawzi Jeu dan Lawzi Kunren segera keluar, menyadari bahaya yang tak mereka mengerti. Quim Zunxi menggenggam tangan Tsai Mianzu, tubuhnya gemetar.

Dan lalu…

Mantra-mantra dilantunkan. Cahaya menyilaukan meluncur ke arah rumah keluarga Lawzi.

BOOOMMMMMM!!!

Ledakan besar mengguncang desa. Tanah retak, rumah-rumah hancur. Mereka menyerang tanpa ampun.

Lawzi Jeu berusaha bertarung, namun hanya seorang ayah biasa yang mengandalkan naluri melindungi. Ia terlempar dan terhantam dinding rumah. Napasnya berhenti di tempat.

Kunren mencoba menghalangi serangan untuk melindungi istri dan saudara iparnya, namun tubuhnya juga tersambar energi dan jatuh tak bernyawa.

Quim Zunxi tersungkur, tubuhnya hangus sebagian.

Tsai Mianzu masih hidup… dengan napas terputus-putus.

Salah satu pria mendekatinya perlahan.

"Seharusnya kau tidak pernah meninggalkan sektemu, Tsai Mianzu," ucapnya dingin.

Mata Tsai Mianzu membelalak. "Siapa kau, k-kenapa... kenapa mereka juga...?"

"Kau membawa kehinaan. Pengkhianatan. Dan sekarang... kau membayar semuanya."

Air mata jatuh dari wajah Mianzu. "Mereka tidak tahu apa-apa... kenapa..."

Wanita tua itu menatap dingin. "Karena takdir tak peduli siapa yang bersalah."

Dengan satu gerakan, ketiga sosok itu lenyap menghilang ke langit. Yang tersisa hanya kehancuran dan kematian.

Zienxi dan Vuyei kembali menjelang matahari terbenam. Mereka tertawa ringan… hingga langkah mereka terhenti di depan rumah.

Mereka melihat kehancuran.

Mereka melihat api yang belum padam.

Mereka melihat mayat.

“Ayah...? Ibu?!" teriak Zienxi panik.

"Paman!! Bibi!!!" Vuyei mulai menangis keras.

Mereka berlari menyusuri reruntuhan.

Lalu mereka menemukan Tsai Mianzu. Ia di ambang kematian.

"Ibu!! Ibu, tidak.. tidak...jangan pergi!!" Vuyei mengguncangnya pelan.

"Zienxi... cepat... kalian harus pergi..." suara Tsai Mianzu sangat pelan.

"Kenapa… kenapa begini…?" tangis Zienxi pecah.

Mianzu menatap mereka dengan mata berkaca.

"Temui... Jian Lode... dan Defei Sixie... di kota Holuang..." ujarnya.

"Kenapa... mereka... membunuh semua orang?" isak Vuyei.

"Karena... aku... memilih... jalan berbeda..."

Mata Tsai Mianzu perlahan tertutup. Nafasnya berakhir di pelukan anaknya.

Beberapa waktu kemudian, aura spiritual mengalir ke desa. Tetua Sekte Daun 7 Sisi tiba, dengan para murid dan Jia Yuwei di sampingnya.

Ia telah mencapai Root Tempering Stage tingkat 13. Saat melihat kehancuran itu, langkahnya terhenti. Matanya terbelalak.

"Tidak…" bisiknya. "Siapa yang melakukan ini?"

Ia melihat dua anak kecil yang menangis dalam reruntuhan. Wajah mereka dipenuhi debu dan air mata. Tubuh kecil mereka memeluk mayat orang tua mereka yang telah dingin.

Yuwei berlari mendekat, berlutut di sisi mereka.

"Mereka… anak-anak ini…" gumamnya pelan, air mata jatuh.

Teman-temannya yang lain juga terdiam. Tak satu pun tahu harus berkata apa.

Keheningan berubah menjadi kesedihan mendalam.

Hari itu, desa Yunboa kehilangan banyak hal. Tapi dari puing-puing itu… dua anak kecil memulai takdir yang kelam.

Angin sore mengibas debu dan abu di reruntuhan rumah keluarga Lawzi. Bau darah samar masih tercium, bercampur dengan sisa aroma daging panggang yang sebelumnya menggoda perut. Di tengah puing-puing, dua anak duduk bersimpuh, tubuh gemetar, wajah mereka penuh air mata dan kehilangan yang tak terlukiskan.

Jia Yuwei, yang berdiri tak jauh dari mereka, perlahan mendekat. Wajahnya menunjukkan campuran empati dan kebingungan. Dengan suara lembut, ia berlutut dan berkata:

“Adik-adik… kalian tidak apa-apa? Apa yang terjadi di sini?”

Zienxi tetap diam. Matanya kosong menatap tanah, napasnya berat. Luka di dalam terlalu dalam untuk bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Vuyei menunduk, menggigit bibirnya. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia membuka suara, dengan suara kecil seperti bisikan angin,

“Kami… kami tidak tahu…”

“Tadi kami bermain… di bukit… dan… waktu kami pulang… rumah… semuanya…”

Ia tak mampu melanjutkan. Suaranya pecah di ujung kalimat. Jia Yuwei menoleh ke temannya di sebelah, seorang gadis dengan jubah putih muda. Keduanya saling bertukar pandang. Ada keheningan yang panjang, hanya suara angin dan sesekali gemeretak puing yang terdengar.

Vuyei menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan terbata.

“Sebelum… sebelum Ibu… sebelum Ibu meninggal…”

“Dia bilang… kami harus pergi… pergi ke kota Holuang…”

“Katanya… temui paman dan bibi kami di sana…”

Jia Yuwei mengerutkan kening. “Paman dan bibi?”

Vuyei mengangguk perlahan, lalu suaranya semakin lirih.

“Ibu juga bilang… karena aku memilih jalan yang salah…”

Kalimat itu menggantung di udara, seperti bayangan masa lalu yang belum terungkap. Jia Yuwei dan para murid lainnya, termasuk seorang tetua yang ikut menyertai mereka, terdiam. Mereka saling memandang tanpa kata, tidak ingin menyakiti dua anak kecil yang telah kehilangan segalanya.

Tetua dengan janggut putih perlahan berkata, lirih:

“Jalan yang salah…?”

Namun ia tak melanjutkan. Wajahnya bingung memikirkan sesuatu, tapi tidak tau apa. Dia menatap sedih kepada kedua anak itu.

Jia Yuwei kembali memandang Zienxi dan Vuyei. Ia tahu, sejak saat ini, kehidupan mereka takkan pernah sama lagi. Mata Zienxi perlahan menatapnya, penuh amarah yang belum mengeras, penuh kehilangan yang belum mampu diucap.

“Aku… aku ingin tahu… siapa yang lakukan ini,” bisik Zienxi dengan suara pelan dan dalam.

“Aku ingin tahu… kenapa Ayah dan Ibu dibunuh…”

Jia Yuwei mengepalkan tangan, merasakan kepedihan yang ikut mengalir dari anak laki-laki itu. Ia mengangguk dengan sungguh-sungguh.

“Aku akan cari tahu… Aku janji.”

Dua anak kecil, Zienxi dan Vuyei, duduk dalam keheningan di antara abu dan kehancuran. Di sanalah takdir mereka berubah untuk selamanya dan tanpa mereka sadari, langkah pertama menuju jalan kultivasi yang kelam dan penuh luka baru saja dimulai.