Chapter 41 – Beneath the Star-Veiled Sky (Di Bawah Langit Bertabur Bintang)
Malam menjelma perlahan, menyelimuti dunia dalam kesunyian lembut yang hanya dipecah oleh desir angin dan langkah kaki dua saudara itu. Zienxi dan Vuyei masih terus melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui, ditemani cahaya bulan yang menggantung redup di langit. Pepohonan menjulang di sisi kiri dan kanan, seakan menjadi saksi bisu perjalanan mereka yang tak tentu arah namun penuh harapan.
Vuyei, yang sejak tadi diam, mulai bersenandung kecil. Suaranya lirih dan ringan, seperti mencoba mengusir lelah yang menggantung di pundaknya. Nyanyian itu, meski sederhana, membawa kehangatan dalam malam yang dingin. Zienxi, yang berjalan di sampingnya, tetap waspada, matanya sesekali menelusuri kegelapan di sekitar, memastikan tak ada ancaman tersembunyi.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka menemukan sebuah tempat istirahat yang teduh, di bawah naungan pohon besar dengan akar yang menjalar seperti pelukan alam. Daun-daunnya lebat, memberikan perlindungan alami dari embun malam.
"Ahh, akhirnya..." ujar Vuyei dengan napas panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya perlahan ke atas rumput yang lembut. "Aku ingin makan sesuatu... perutku mulai memberontak."
Zienxi hanya tersenyum kecil, lalu mulai mengumpulkan beberapa dedaunan lebar dan ranting kering untuk membuat alas tidur yang layak. "Istirahatlah sebentar. Aku akan menyiapkan tempatnya," katanya tenang.
Setelah makan dengan bekal sederhana yang mereka bawa, Vuyei merebahkan tubuhnya sepenuhnya. Ia menatap ke langit malam yang terbentang luas di atas mereka, dihiasi bintang-bintang yang berkelip seperti mata-mata kecil yang sedang mengintip dunia.
"Kak," gumam Vuyei dengan suara lembut, "menurutmu... sejauh apa bintang itu dari kita?"
Pertanyaan itu terucap bersamaan dengan salah satu bintang di langit yang tiba-tiba berkedip terang sekali, lalu meredup seperti semula, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.
Zienxi duduk bersila di sampingnya, menatap langit yang sama. Sejenak ia diam, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan namun sarat makna.
“Bintang-bintang itu... entah sejauh apa dari kita. Tapi aku tahu, mereka tidak pernah berhenti bersinar, meski terkadang cahayanya tidak sampai ke bumi.”
Vuyei menoleh, mendengarkan penuh perhatian.
“Di dunia ini, Vuyei,” lanjut Zienxi, “ada hal-hal yang terlalu jauh untuk kita jangkau. Tapi bukan berarti tidak bisa kita nikmati keindahannya. Seperti bintang kita mungkin tak akan pernah bisa menyentuhnya, tapi kita bisa belajar darinya. Tentang kesabaran. Tentang keteguhan. Tentang terus bersinar, bahkan ketika tak ada yang melihat.”
Ia berhenti sejenak, menatap adiknya yang kini memejamkan mata sambil tersenyum kecil.
“Dan mungkin, suatu hari... saat kita sudah cukup kuat, cukup bijak, kita akan mengerti bahwa bintang-bintang itu bukan hanya ada di langit. Tapi juga di dalam diri kita sendiri.”
Hening sesaat. Angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan di atas kepala mereka. Vuyei membuka matanya perlahan, menatap kakaknya.
“Kalau begitu... aku ingin menjadi bintang yang bisa terus bersinar, Kak. Meski kecil, setidaknya bisa menerangi langkah kita.”
Zienxi tersenyum tipis. “Kau sudah seperti bintang itu, Vuyei. Kau hanya perlu percaya.”
Di bawah langit yang bertabur cahaya abadi, dua saudara itu akhirnya terlelap dalam keheningan malam. Tak ada janji esok yang pasti, tapi malam itu, mereka tahu selama mereka bersama, cahaya harapan takkan pernah padam.
Matahari pagi mulai memancarkan cahayanya yang hangat, mengusir embun malam yang masih menggantung di ujung dedaunan. Zienxi sudah terbangun sejak lama. Ia duduk bersila di atas sebuah batu datar, memejamkan mata sejenak, membiarkan energi langit dan bumi menyatu dengan napasnya yang tenang. Di dekatnya, Vuyei masih tertidur pulas, wajahnya tampak damai dibuai mimpi.
Zienxi menoleh dan memandangi adiknya. Ada senyum tipis di wajahnya. Wajah Vuyei selalu mengingatkannya pada masa kecil masa sebelum semua menjadi rumit.
Dengan langkah ringan, Zienxi bangkit dan berjalan menyusuri hutan kecil di sekitar tempat mereka bermalam. Ia mencari buah-buahan segar untuk menambah bekal perjalanan mereka. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan beberapa buah yang aman dimakan. Setelah mengumpulkan cukup banyak, ia kembali ke tempat istirahat.
Saat tiba, Vuyei sudah duduk dan menguap kecil, rambutnya masih sedikit berantakan.
"Kak, dari mana dapat buah-buah itu?" tanya Vuyei sambil tertawa kecil.
"Di sekitar sini saja," jawab Zienxi sambil meletakkan buah di antara mereka.
"Hebat juga penciumanmu soal makanan," canda Vuyei sambil menggigit salah satu buah. "Rasanya manis, lumayan buat sarapan."
Zienxi hanya mengangguk sambil mengecek perlengkapan mereka.
"Jadi... kita langsung lanjut perjalanan sekarang?" tanya Vuyei sambil menyimpan sisa buah ke dalam kantungnya.
Zienxi hanya memberi anggukan tenang, tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka pun bersiap, lalu mulai terbang rendah menyusuri hutan yang luas, menjaga agar tak terlalu mencolok di udara.
Perjalanan berlangsung selama berjam-jam. Dari atas, mereka melewati deretan perbukitan, sungai yang mengalir jernih, serta lembah yang dalam. Udara di atas terasa lebih sejuk, namun Zienxi mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa.
Mata Zienxi menyipit. Ia menoleh ke belakang dengan cepat. Beberapa sosok terlihat mengejar dari kejauhan empat orang kultivator, dengan pakaian yang tidak menunjukkan asal sekte atau klan mana pun.
"Vuyei," ucapnya tenang.
Vuyei menoleh ke belakang. "Siapa mereka? Dari sekte mana?"
Zienxi menggeleng pelan. "Entah."
Tiba-tiba salah satu dari kultivator itu berteriak lantang, suaranya menggema di udara, “Kalian berdua, berhenti sekarang juga!”
Zienxi dan Vuyei memperlambat terbang mereka dan akhirnya berhenti di udara, lalu berbalik menghadap para pengejar itu.
"Ada apa?" tanya Zienxi dengan datar namun sopan.
Seorang dari kultivator itu melangkah maju, wajahnya sombong. "Kalian dilarang melewati wilayah ini. Ini jalur tertutup. Kalau kalian tetap bersikeras, kami akan membunuh kalian di tempat!"
Zienxi tetap tenang. "Kami hanya ingin pergi ke kota Feifei. Tidak lebih."
Kultivator itu mencibir. "Kota Feifei bukan untuk anak-anak seperti kalian. Kultivator kecil seharusnya tahu tempatnya."
Tanpa peringatan lebih lanjut, salah satu dari mereka langsung menyerang. Serangan cepat dengan pedang berlapis qi menebas ke arah Zienxi, namun dalam satu gerakan gesit, Zienxi membalas dan menangkis. Wajahnya tetap datar. Lalu ia berbalik, menerjang lawannya dan dalam satu tebasan bersih, kultivator itu roboh tak bernyawa, darah menetes di udara.
“...Kak, mereka serius…” kata Vuyei dengan nada khawatir, tapi segera mengangkat pedangnya.
Tiga kultivator yang tersisa terkejut, namun langsung maju serempak. Vuyei pun ikut bertarung. Zienxi melepaskan mantra Pedang 11 Ilusi, pedang menyapu ke arah musuh dari segala sisi. Salah satu kultivator sempat menangkis namun kewalahan, dan Zienxi langsung menebasnya dengan serangan nyata.
Vuyei di sisi lain mengeluarkan mantra Daun Pemecah, lembaran-lembaran daun tajam seperti bilah meluncur deras, menembus pertahanan lawannya. Satu lagi tumbang.
Kini tersisa dua.
Zienxi dan Vuyei bertukar pandang, lalu menyerang bersama dalam irama yang terlatih. Perpaduan pedang dan mantra membuat dua kultivator terakhir tidak berkutik. Dalam beberapa detik, tubuh mereka jatuh menghantam tanah.
Hening.
Angin kembali berembus, membawa aroma darah yang menyengat.
Zienxi mengamati tubuh mereka. "Baru tahap Vein Opening menengah, tapi sombongnya melebihi langit."
Vuyei mengangguk. "Menyerang tanpa alasan jelas. Dunia ini makin aneh saja."
Zienxi membungkuk, membuka kantung penyimpanan para kultivator yang sudah mati. Beberapa pil penyembuh, batu spiritual, dan item pendukung lainnya ia temukan. Sebagian ia berikan kepada Vuyei.
"Kau simpan ini. Kita tidak tahu kapan butuh."
Setelah memastikan semuanya aman, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Hari pun berganti. Saat siang tiba dan matahari menggantung tinggi, dari kejauhan mereka melihat bayangan kota.
"Apakah itu... kota Feifei?" tanya Vuyei, matanya berbinar. "Dari jauh kelihatannya indah juga ya, tidak sebesar Holuang, tapi terlihat bersih dan damai."
Zienxi tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, matanya tajam mengamati setiap sudut yang bisa menjadi ancaman. Hatinya tidak sepenuhnya tenang. Namun dalam diamnya, ia tahu mereka akhirnya hampir sampai.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada beberapa puluh kaki dari gerbang Kota Feifei. Di kejauhan, cahaya lentera yang menggantung di sepanjang dinding luar kota tampak berpendar lembut, menandakan bahwa malam belum benar-benar mengusir kehidupan dari tempat itu. Vuyei dan Zienxi terbang rendah di atas pepohonan, lalu mendarat dengan ringan di jalanan berdebu yang membentang menuju gerbang utama.
"Sudah dekat, kita lanjutkan dengan berjalan kaki," ujar Zienxi.
Vuyei mengangguk, menepuk debu halus di ujung jubahnya. “Baiklah, kak. Lagipula… rasanya lebih menyenangkan bisa melihat keramaian dari dekat.”
Keduanya melangkah perlahan menyusuri jalan yang mulai ramai oleh manusia fana dan beberapa kultivator tingkat rendah. Di antara mereka, terlihat beberapa pedagang yang mendorong gerobak penuh barang dagangan, sekelompok pengembara dengan pakaian lusuh, hingga kultivator muda yang mengenakan jubah sekte berbeda. Semua tampak berbaur tanpa sekat, menciptakan harmoni kehidupan antara yang fana dan yang telah melangkah ke jalur kultivasi.
“Banyak sekali orang…” gumam Vuyei dengan mata berbinar, memandangi lalu lalang yang hidup di sekitar mereka.
“Ya,” balas Zienxi sambil menatap lurus ke arah gerbang kota. Ia menambahkan pelan, “Ingat, Vuyei. Di tempat ramai seperti ini, kau tak hanya harus menjaga dirimu, tapi juga niat dan pikiranmu. Tak semua senyum adalah ketulusan, ada yang membawa pedang di balik tawa.”