Chapter 66 – The Day You Returned

Chapter 66 – The Day You Returned (Hari di Saat Kau Kembali)

Beberapa hari telah berlalu sejak kabar terakhir tentang Lawzi Zienxi. Di kota Feifei, sore itu langit dihiasi awan jingga yang perlahan berubah menjadi ungu tua. Di tengah riuh rendah pasar dan langkah kaki para penduduk, Vuyei berjalan pelan di pusat kota bersama Lian Roushi, Rui Fei, Shou Lin, dan Jian Rou.

Langkah mereka membawa mereka ke berbagai sudut kota, tetapi hati Vuyei seakan tak ikut melangkah. Matanya kosong menatap jalanan, senyumnya nyaris tak pernah muncul.

"Aku... tidak tahu kapan kakakku akan kembali," gumam Vuyei pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh keramaian sekitar, tapi cukup untuk didengar teman-temannya. "Ini sudah sangat lama... hampir empat bulan, kurasa."

Lian Roushi menoleh dengan lembut, menatap wajah sahabatnya yang terlihat jauh lebih murung dibanding hari-hari sebelumnya. Ia menggenggam tangan Vuyei sejenak.

"Kau harus tetap percaya, Vuyei," ucap Roushi dengan suara lembut. "Dia akan kembali. Kakakmu bukan orang yang melupakan janjinya."

Rui Fei, yang biasanya penuh semangat, mengangguk pelan. "Kami semua tahu seberapa dalam dia menyayangimu. Pasti ada alasan dia belum kembali."

Shou Lin menambahkan, "Dan sekarang kau tidak sendirian. Kami di sini untukmu."

Jian Rou berjalan lebih dekat, mencoba tersenyum. "Ayo kita duduk sebentar. Di kedai yang sering kau kunjungi bersama kakakmu. Mungkin... itu bisa menenangkan hatimu."

Vuyei hanya mengangguk pelan, langkahnya berbelok ke arah sebuah kedai tua di sisi jalan. Tempat itu masih sama seperti dulu, atap yang rendah, lentera tua yang tergantung di depan pintu, dan aroma teh hangat yang menyambut dari kejauhan.

Pemilik kedai, seorang pria tua bertubuh gempal dengan janggut abu-abu lebat, mengenali Vuyei seketika. Matanya membesar.

"Eh? Bukankah kau gadis kecil yang dulu sering datang bersama kakak laki-lakimu? Sudah lama sekali, ya. Di mana dia sekarang?"

Pertanyaan itu menghantam hati Vuyei seperti badai. Tanpa bisa dicegah, air mata mengalir di pipinya. Bahunya bergetar, dan suara isaknya terdengar lirih.

"Ah... maaf... apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya pemilik kedai, cemas dan merasa bersalah.

Lian Roushi segera melangkah maju, memeluk bahu Vuyei dengan hangat dan menjelaskan pelan, "Tidak apa-apa, Tuan. Vuyei hanya... sangat merindukan kakaknya. Sudah begitu lama dia pergi, dan belum kembali."

Wajah pemilik kedai berubah lembut. Ia menunduk sedikit dan berkata pelan, "Maafkan aku, nak. Aku tidak tahu... Aku akan siapkan teh favorit kalian dan mantou kesukaanmu, ya."

Mereka duduk di meja pojok yang menghadap ke luar jendela. Vuyei masih diam, memandangi cangkir teh di hadapannya, namun tak menyentuhnya. Roushi dan yang lain berusaha membuatnya tersenyum, bahkan Shou Lin melontarkan beberapa candaan ringan, tapi senyum itu belum juga muncul.

Langit mulai gelap ketika mereka memutuskan untuk melanjutkan langkah ke tempat yang lebih tenang danau kecil di pusat kota, tempat di mana cahaya lentera dan refleksi air menciptakan keindahan yang sunyi.

Sesampainya di sana, Vuyei berdiri di tepi danau, angin sore membelai rambutnya. Ia menatap air dengan dalam, seakan berharap cermin danau itu bisa menunjukkan sosok yang ia rindukan.

Dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca, ia berbisik, "Kak... kau di mana? Aku merindukanmu..."

Roushi, Rui Fei, Shou Lin, dan Jian Rou berdiri tak jauh darinya, memberi ruang pada perasaannya. Lian Roushi akhirnya bicara dengan nada lembut, "Tenanglah, Vuyei... Kakakmu pasti akan segera pulang."

Vuyei menarik napas panjang. "Aku tahu... Dia berjanji padaku. Tapi... kapan? Kenapa harus selama ini?"

Tak ada yang bisa menjawab. Keheningan menyelimuti mereka sampai sebuah suara tenang dan lembut memecah udara dari belakang mereka.

"Aku sudah pulang, Vuyei."

Seketika tubuh Vuyei membeku. Ia tahu suara itu. Suara yang paling ia rindukan. Suara yang selalu menenangkannya di setiap malam kesepian.

Perlahan, ia berbalik. Dan di sana, berdiri di bawah cahaya temaram danau, adalah Lawzi Zienxi. Rambutnya panjang tergerai, jubah hitamnya tertiup angin. Matanya lembut menatap adik kecilnya.

"Kak... Kak..." suara Vuyei tercekat. Air matanya kembali jatuh, lebih deras dari sebelumnya.

Dengan langkah gemetar, ia berlari ke arah kakaknya. Tubuhnya langsung memeluk Zienxi erat, seolah takut sosok di hadapannya hanyalah bayangan. Tangisnya meledak.

"Kau... kenapa lama sekali...? Kemana saja kau pergi...? Aku merindukanmu, Kak... Aku... aku sangat merindukanmu..."

Zienxi membalas pelukan itu dengan tenang. Ia membungkuk sedikit, mengelus lembut kepala Vuyei.

"Maafkan aku... karena telah lama meninggalkanmu..."

Suara Zienxi penuh penyesalan dan kasih sayang. Vuyei masih terisak dalam pelukan kakaknya, matanya memerah. Ia mendongak, menatap wajah yang sangat ia rindukan itu.

Zienxi membalas tatapannya dengan senyum hangat.

"Aku di sini sekarang... Aku kembali, Vuyei."

Tangis Vuyei semakin pecah, tapi kali ini ada rasa lega di dalamnya. Ia memeluk kakaknya lebih erat, seakan ingin menebus waktu yang hilang. Di belakang mereka, Lian Roushi dan teman-temannya hanya berdiri membisu, membiarkan dua hati yang lama terpisah itu menyatu kembali dalam haru dan kasih.

Zienxi tahu, Vuyei telah menunggu begitu lama. Ia pun merindukan celotehan, tangis, dan tawa adiknya itu. Dan kini, setelah sekian lama... mereka bersama lagi.

"Apakah kita akan terus berpelukan sepanjang malam?" tanya Zienxi lembut, suaranya pelan seolah tak ingin memecah kedamaian malam.

Vuyei masih memeluk kakaknya erat. "Ya... aku ingin begini terus... tidak mau melepaskannya," jawabnya tanpa ragu, suaranya masih parau oleh tangis.

Zienxi tersenyum tipis. "Benarkah? Tapi lihatlah... ada banyak orang yang melihat kita."

"Aku tidak peduli... aku tidak peduli," bisik Vuyei, memejamkan mata dan kembali menyandarkan wajahnya ke dada kakaknya.

Zienxi membelai rambut adiknya. "Setidaknya... biarkan kakakmu ini duduk. Punggungku mulai pegal."

Vuyei mendongak, menatap wajah kakaknya sesaat, lalu mengangguk pelan. Mereka pun berjalan ke meja tepi danau, duduk berdua di bangku batu yang hangat oleh sinar bulan.

Tak jauh dari mereka, duduk pula Lian Roushi, Jian Rou, Rui Fei, dan Shou Lin. Keempatnya diam-diam memperhatikan dengan rasa ingin tahu.

Malam telah sepenuhnya menyelimuti kota Feifei. Cahaya lentera menggantung lembut di sepanjang tepian danau, memantulkan bayangan oranye ke permukaan air.

Dengan lirih, mata Vuyei masih berkaca-kaca meski air matanya telah berhenti, ia bertanya, "Kemana saja kau selama ini... kenapa begitu lama...?"

Zienxi memandang adiknya, kemudian menjawab lembut, "Apakah adikku ini... mau mendengarkan ceritaku?"

Vuyei mengangguk. Roushi dan yang lainnya tak bisa menahan rasa penasaran mereka dan ikut memfokuskan perhatian ke arah mereka.

Zienxi menarik napas perlahan, lalu mulai bercerita:

"Setelah kita berpisah... aku pergi ke Lembah Arashi. Awalnya aku hanya ingin menenangkan diri... Tapi perlahan, aku merasakan sesuatu dari lembah itu. Aku mulai berkultivasi di dekat Pinggir Arus, sebuah aliran air deras yang membelah bagian luar lembah. Di sana... hanya ada suara air dan desiran angin. Aku terbenam dalam ketenangan alam."

Dia menatap langit sebentar, lalu melanjutkan, "Setelah satu bulan, aku menerobos. Perlahan aku melangkah lebih dalam ke lembah. Di sanalah aku menemukan dataran kecil, dikelilingi tiang-tiang batu besar. Angin dan petir menderu-deru, terus menerus. Aku duduk di sana, bermeditasi selama sebulan penuh... mencoba memahami kekuatan angin dan petir. Sedikit demi sedikit... aku mulai merasakannya."

Vuyei mendengarkan penuh perhatian. Jian Rou menyandarkan dagunya di telapak tangan, sementara Rui Fei bersandar ke belakang dengan senyum tertarik.

"Setelah itu... aku terus masuk lebih dalam ke lembah dan menemukan beberapa tanaman yang bisa kugunakan untuk membuat pil," lanjut Zienxi.

Shou Lin berseru pelan, "Tanaman langka dari Lembah Arashi? Itu pasti luar biasa."

Zienxi mengangguk singkat. "Di situlah... aku bertemu dengan Arashi Wyrm."

"Arashi Wyrm...?" tanya Vuyei dengan suara kecil.

Roushi dan yang lainnya ikut membelalakkan mata.

"Apa itu makhluk buas...?" tanya Jian Rou ragu.

Zienxi tersenyum tipis. "Makhluk semi-roh... penghuni abadi Lembah Arashi. Panjang tubuhnya seribu kaki. Sisiknya keperakan, dan dari matanya memancar kilatan petir."

Rui Fei terkesiap. "Seribu kaki...? Itu monster!"

"Berbahayakah dia?" tanya Lian Roushi cepat.

"Tidak," jawab Zienxi dengan singkat. "Tidak untuk mereka yang tenang... Tapi sangat berbahaya bagi mereka yang ceroboh."

Mereka semua saling pandang, kagum dan sedikit gentar.

"Setelah itu aku bermeditasi lagi... di sebuah tempat yang disebut Lingkaran Angin Mati. Angin tak bergerak, tapi petir masih menyambar dari kejauhan. Aku duduk di sana selama sebulan lagi."

Vuyei menggenggam tangan kakaknya. "Lalu...?"

"Aku pergi ke kota Shandai. Aku butuh tungku... dan saat berhasil mendapatkannya, aku dikejar oleh seorang kultivator di tahap Spirit Root Cultivation. Dia mengejarku selama empat hari penuh. Aku hampir mati."

Mata Vuyei membelalak. "Empat hari...? Kenapa... kenapa kau tidak kabur ke tempat lain?!"

"Aku tidak bisa. Tapi aku punya rencana. Aku memancingnya masuk ke Lembah Arashi... dan Arashi Wyrm yang menghabisinya."

"Kakak... itu terlalu berbahaya..." bisik Vuyei, kini menggenggam lebih erat.

Lian Roushi tetap tenang, tapi tatapan matanya berubah serius.

Shou Lin bersiul pelan. "Gila... Kau menjadikan makhluk seperti itu sebagai pelindungmu?"

"Bukan pelindung," kata Zienxi dengan tenang. "Tapi... aku rasa dia menghargai ketenanganku."

Suasana di meja itu berubah menjadi sunyi sejenak. Hanya suara riak danau dan desir malam yang mengisi kekosongan.

Jian Rou tersenyum lembut. "Kau selalu punya cara sendiri yang tak biasa... Lawzi Zienxi."