CHAPTER 2 : Vlaudenxius Albertus

Di saat matahari terbenam dan kota mulai gelap. Terjadi sesuatu di bawah kolong jembatan kota yang gelap dan tak dilalui orang-orang saat malam tiba.

"Bahahaha... Padahal dia kakak kelas kita. Tapi dia ini ngulang di tingkat 1, sampai 3 kali loh. 3 kali! Yang benar saja! Dasar anak bodoh!" Bully seorang pelajar baru bernama Sinus. Ia berambut hitam, gondrong dan acak-acakan hingga sepundak. "Sudah bodoh! Lemah! Tubuhnya kuntet seperti anak kecil! Kau ini sebenarnya umur berapa sih?!"

"..." Anak itu masih terdiam saja, tapi tubuhnya tak bisa bohong.

"Hehehe... Lihat dia. Badannya gemetar seperti itu. Velizar kau tak mau memukuli dia? Nikmat rasanya loh."

"Sudahlah Sinus... Kau senang sekali memukuli dia sih." balas seseorang bernama Velizar, Ia berambut putih gondrong, bermata ungu. Sedang duduk lesehan bersandar di tembok batu kolong jembatan. Dirinya yang memakai pakaian putih berhoodie, dengan kaki kanan menyelonjor dan scimitar di pelukannya. "Nantinya dia juga bakal di kelas yang sama. Kau mau bully dia sampai mana? Kalau sampai mati kita susah nih."

"Haa...? Kalau kata-katamu barusan benar. Wahh aku senang sekali bersekolah disini. Tenang saja Velizar! Aku bisa bosan kalau dia terbunuh."

"Nah... Rasain nih!" Lalu Sinus meninju pipi anak itu sekali lagi. "Ohh sungguh menyenangkan rasanya!" ucapnya dengan perasaan gembira.

"Kalau si Nicholas ada disini. Pasti lebih seru lagi. Tapi dia itu lagi ngapain sih?" ucap Velizar dengan nada datar. Dengan tatapan mata seperti orang mengantuk

"Benar! Kalau si Nicholas. Dia itu menyiksa kamu bukan dengan fisik lagi. Tapi mental!" ucap Sinus. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Kakak kelas kita. Hael... Huahuahua..."

"..." Hael terdiam tak berdaya tapi harus terus menahan rasa sakitnya.

"Ohh masih diem-diem aja! Kurang ya!" Sinus meninju lagi... Lagi dan lagi.

***

"Boo! 17 kali sudah! Wahh... Menyenangkan!" ucap Sinus kegirangan. "Tapi tetap saja! Aku belum puas." Sinus menepuk-nepuk tangannya, bersiap melancarkan tinju yang lebih keras lagi.

"Hei!!" Alzen membelanya dengan segera. Aliran listrik yang semakin bersinar di tempat gelap ini sudah meletup-letup sebagai ancaman.

"Huh!?"

"Pukul dia sekali lagi, Listrik ini akan menyengat di seluruh tubuhmu!"

"Ouw, ouw, ouw. Velizar! Kita kedatangan pahlawan! Woo... Aku takut." balas Sinus yang tak mengindahkan ancaman Alzen melainkan malah meledeknya dengan ekspresi menjelek-jelekkan.

"Sudah kuperingatkan!" tatapan Alzen terlihat tidak main-main.

"Di tempat sepi begini kupikir gak bakal ada orang lewat." ucap Sinus.

"Di bawah jembatan ini cuma gelap. Bukan tak ada orang lewat." balas Velizar dengan nada datar, "Lagian juga, kamu berisik sekali sih..." Velizar menolehkan matanya ke Sinus. "Hee!? Tunggu Sinus…"

"Kenapa? Kau mengenalnya?"

"Tidak-tidak..." Velizar segera berdiri dengan menggenggam pedangnya. "Sebaiknya kita pergi saja."

"Hee? Kenapa? Kau takut dengannya?" ledek Sinus. "Nih, Satu pukulan lagi. Kamu mau apa!"

"Orang ini!" Wajah Alzen memerah, terlihat marah sekali.

"Hyaaa!!" Sinus mengarahkan pukulan ke Hael.

"Apa boleh buat." Alzen menyentuh dada Sinus dan mengalirkan petir ke tubuhnya.

"Elec Stream !!"

BZZZZZTTT !!

Serangan itu menyetrum seluruh tubuh Sinus dengan tegangan tinggi. Sampai-sampai ia pingsan dan hangus.

"Haaah... Dasar temanku yang satu ini." komentar Velizar. "Padahal sudah kuperingatkan."

Sambil menggendong Sinus yang gosong disengat listrik, Velizar berkata pada Alzen. "Hahh… Biar kuurus temanku yang satu ini. Biar tak buat gara-gara lagi." Selagi berupaya mengangkut Sinus, Velizar berkata pada Hael. "Hael... Kupikir setiap harimu sial. Tapi sesekali tidak juga." Lalu di akhir kalimatnya Velizar terlihat tersenyum, tapi senyumnya seram sekali.

"..." Hael, anak yang dibully itu masih juga terdiam. Meski tubuhnya sudah babak belur.Dan masalahnya sudah selesai, tapi ia tetap gemetar ketakutan.

"Dan kamu, tuan pahlawan." Velizar memberi hormat dengan mengangkat satu tangannya pada Alzen, Kemudian ia pergi sambil menggendong Sinus yang hitam hangus, di belakang punggungnya.

"Hael? Itu namamu? Kau baik-baik saja?" tanya Alzen.

Lalu tanpa bicara sepatah katapun Hael pergi dari tempat itu dengan wajah murung dan memar-memar.

"Lohh? Kok…" Alzen tidak tahu kenapa, Hael tiba-tiba langsung pergi. Berterima kasihpun tidak, melihat Alzenpun tidak.

Beberapa saat kemudian,

"Ahh, Berat... Lebih baik begini saja" Velizar menjatuhkan Sinus dan menyeret kedua tangannya sampai tiba ke asramanya.

"Nah… Begini lebih baik."

***

Malam hari tiba,

Alzen baru kembali dari perpustakaan. Ia baru saja membuka pintu kamarnya, Lalu... Lonceng dari puncak menara Universitas berbunyi.

Sahut suara pengumuman yang disampaikan instruktur wanita yang menyambut mereka tadi pagi. "Semuanya berkumpul di Student Hall 5 menit lagi, yang terlambat akan kena sanksi! Jangan lupa mengenakan Almamater kalian. Terima kasih."

"Apa!? Katanya jam 7? Tapi ini masih setengah 7." Keluh Chandra.

"Yasudah! Ngeluh tak akan membantu. Ayo cepetan." balas Alzen dengan tergesa-gesa. "Cepat pakai Almamater-nya!"

"Haduh... Padahal lagi nikmatin fasilitas." Chandra bangun dengan ogah-ogahan.

***

Setibanya di sana dengan berlari tergesa-gesa, makan malam pertama diadakan di Student Hall. Ruang besar berisi meja makan panjang untuk lebih dari 3000 murid dan di sana, seluruh siswa dari semua tingkat berkumpul untuk makan-makan sambil mendengarkan pidato kepala sekolah.

"Selamat datang para pelajar Vheins, silahkan menikmati hidangannya!" ucap kepala sekolah Vheins. "Selagi kalian makan, biarkan aku memperkenalkan diri pada kalian wahai murid-murid baru Vheins, Aku Vladenxius Albertus, kepala sekolah disini. Meski aku kepala sekolah. Aku juga seorang Gubernur, Kepala daerah Provinsi Vheins. Tapi aku berbeda dengan penyihir-penyihir hebat dibayangan kalian..."

Sesaat semua terdiam,

"Aku tak memiliki janggut panjang !!"

"HAHAHAHAHA !!" Lalu semua student yang mendengarkan tertawa meriah.

"Saat ini umurku 69 tahun, Tua sekali ya... Dan juga tahun depan aku akan memasuki usia 70. Asal kalian tahu. Diumur segini waktu berlalu cepat sekali. Aku sedikit iri sama kalian yang muda-muda ini. Tapi kalian juga pasti iri denganku. Aku mengusai lebih dari satu elemen. Bukan 2, bukan 3, bukan 5 juga, tetapi 7 Elemen sekaligus."

"Woooo..." Banyak pelajar yang kagum dengan pernyataannya barusan.

"7 elemen!?" Alzen yang duduk di pinggir ruangan besar ini pun tak habis pikir.

"Perlu bukti?"

"Perlu!!" jawab para pelajar Vheins serentak.

"Kalau kalian bisa 7 elemen maka akan tercipta sihir yang indah sekali. Seperti ini..." Vlaudenxius mengangkat kedua tangannya, satu serong ke kiri dan satu serong ke kanan. Dan tercipta sebuah Aurora Borealis dalam ruangan besar itu dengan 7 warna pelangi. Yang saling transisi satu sama lain.

"Woooowww !!"

"Siapa sebenarnya kepala sekolah ini? Bisa 7 elemen!?" komentar Alzen.

"Sudah puas? Ehemm... Dan selagi aku bicara, aku minta satu persatu dari kalian naik dan menunjukan sihir dasar yang kalian bisa. Cukup gunakan Elemental Ball dari setiap elemen yang kalian bisa. Apa ada yang tak tahu Elemental Ball? Boleh angkat tangannya!"

Lalu semua diam, Tak satupun berani mengakui. Sampai satu orang mengangkat tangannya.

"Aaa? Apa itu Elemental Ball?" tanya Alzen dengan tangan terangkat dan berdiri.

Seketika semuanya mentertawai Alzen, sebagai satu-satunya orang yang tidak tahu.

"Hahaha... Ada juga orang yang gak tahu."

"Woi... Itukan sihir paling gampang. Masa gak tahu?"

"Dasar Bego !!"

"Ehemm..." Vlaudenxius mengeluarkan sihir.

"Global Silence."

Seketika semua suara hilang untuk beberapa detik.

"Begini! Aku yakin pasti ada juga yang tak mengerti tapi tak berani angkat tangan karena malu. Satu orang berani jujur mengakui hal yang ia belum tahu dan itu lebih baik dari ingin tahu tapi terlalu takut untuk ditertawai."

Sambungnya. "Biar kujelaskan lagi, satu persatu dari kalian akan maju dan melakukan sesuai sihir elemen yang kalian bisa, kalau kalian bisa elemen api, gunakan Fireball, kalau bisanya elemen air, gunakan Waterball dan seterusnya. Kalau kalian bisa menggunakan elemen api dan juga elemen air gunakan dua-duanya. Mengerti!"

"Mengerti!" jawab semuanya serentak.

"Baik, dimulai dari yang paling ujung kanan depan saya ke belakang dan kedepan lagi sampai seterusnya."

Lalu tes itu berlangsung ke setiap murid baru yang masuk.

"Ahh... Karena tahun ini cukup banyak yang masuk, total ada 1881 murid baru. Ohh... Angka yang unik... Uhmm maaf... Jadi, silahkan langsung 10 orang maju ke depan, dan tenang saja. Ini tak akan makan waktu lama... Selagi menunggu giliran, biar aku jelaskan tentang sekolah ini."

"Beneran !?" ucap Alzen. "Ada 1800-an murid setiap tahunnya!?"

Sambung Chandra. "Kudengar malah kadang lebih, tak heran kan. Ini sekolah sihir terbaik di benua Azuria. Bahkan orang North Azuria juga banyak yang bersekolah disini. Nih, aku contohnya."

Lalu sambung pidato Vlaudenxius. "Kalian akan belajar disini sekitar 4 tahun, dengan 3 tingkat berbeda. Tingkat 1 belajar 1 tahun, dengan fokus untuk mengajari kalian semua mengusai elemen yang kalian bisa dengan baik, Kalian yang baru pertama kali ke sini adalah yang berada di Tingkat 1. Tingkat 2 belajar 1 tahun juga, dengan tujuan untuk kalian bisa menyempurnakan elemen kalian lebih kuat lagi dengan lebih terfokus. Jadi kalian jangan jadi penyihir Jack of All Trades, Master of None. Di beberapa kasus langka... Kalian bisa mengusai elemen baru. Di Tingkat 3 dan yang terakhir belajar 2 tahun untuk mendapat gelar Master di elemen yang kalian pelajari. Misalnya Master of Fire, Master of Water Gelar master ini akan memberikan kalian akses melakukan Quest-quest sulit dengan bayaran yang sangat tinggi." Vlaudenxius berpidato.

"4 Tahun sudah jadi Master!?" Alzen bertanya-tanya.

"Nah yang akan belajar disini hanyalah Tingkat 1 dan Tingkat 2. Contoh Alumni Tingkat 3 adalah instruktur kami yang ada di sini. Sedangkan yang sedang belajar di Tingkat 3 belajar di lingkungan nyata. Sangat disayangkan, beberapa dari mereka mati sebelum sempat lulus sebagai Master... "

Para pelajar baru seketika terkejut mendengarnya.

"Pak!" seseorang bertanya. "Kenapa tingkat 3 beresiko menyebabkan kematian? Memangnya seperti apa belajarnya?"

"Ohh, Kalian penasaran rupanya. Tingkat 3 belajar di lingkungan nyata. Mungkin dari 1800-an pelajar baru disini cuma ada 2 orang yang jadi master pada akhirnya. Karena ujian buat mereka adalah... Mengerjakan World Quest, Tingkat kesulitan SSS."

"Hah? SSS, Memangnya ada yang seperti itu?"

"Kalian tak perlu terlalu memikirkan-nya untuk saat ini. Tingkat 3 perlu paling cepat 2 tahun untuk menyelesaikannya. Jadi ini ada di tingkat yang jauh berbeda. Meski imbalannya besar,resikonya juga besar... Tapi kalian tak perlu khawatir, kalian bebas berhenti di tingkat manapun setelah lulus di Tingkat 1 atau Tingkat 2 saja. Tak ada keharusan menyelesaikan semuanya. Kecuali jika kalian benar-benar bertekad jadi master di bidang kalian."

Sambungnya. "Lulus dan berhenti di Tingkat 1 pun sudah sangat cukup membekali kalian wahai para pelajar baru. Setidaknya kalian bisa menggunakan sihir kalian dengan sangat baik dan melakukan sesuatu di luar sana. Untuk negeri ini, untuk kalian sendiri, atau berakhir jadi penjahat besar diluar sana? Terserah! Kalian yang memilih. Jadi selama kalian berkesempatan belajar disini... Nikmatilah karena sihir itu keren, dan belajar sihir itu menyenangkan!" Sahut Vlaudenxius.

Para pelajarpun berseru, sependapat dengan Kepala sekolah.

"Nah untuk kalian Tingkat 2, Selamat atas kelulusan kalian. Kalian sudah menang tapi perjalanan belum berakhir. Beberapa memutuskan lanjut dan berhasil, ada juga yang gagal dan harus mencoba lagi tahun depan. Beberapa ada juga yang memutuskan berhenti di Tingkat 1... Tidak masalah karena itu pilihan kalian, tapi jika kalian memilih lanjut. Bersiaplah lebih semangat lagi!"

"YAAAA !!" sahut anak-anak Tingkat 2.

"Untuk Tingkat 2. Kalian akan belajar elemen yang kalian bisa dengan lebih terfokus, ditambah mempelajari tingkat yang lebih tinggi lagi. Mungkin, di beberapa kesempatan. Kalian bisa membangkitkan Elemen baru di Tingkat ini. Tingkat 2 adalah 3 kali lebih sulit dari Tingkat sebelumnya. Jadi kalau kalian tidak mengusai dasarnya lebih dahulu. Mungkin kalian akan sangat kesulitan di Tingkat ini. Tapi jika kalian berhasil sampai akhir. Perjuangan kalianpun juga akan terbayar dengan luar biasa. Aku percaya kalian akan jadi sangat kuat setelah selesai dari sini."

Selagi Vlandenxius terus berpidato, kini giliran Alzen dipanggil dan diminta untuk melakukan Elemental Ball dengan semua elemen yang dimilikinya...

Ketika ia naik, ia dicemooh dari belakang dengan bisik-bisik meledeknya.

"Bagaimana sih? Elemental Ball itu?" Alzen-pun masih ragu.

"Apa seperti ini ya?" Alzen mencoba membuat bola api di tangannya.

"Waa... Waa... Waaaa!!" Api yang dibuat Alzen justru kebesaran sampai-sampai seperti membuat matahari kecil dalam ruangan.

Vlaudenxius pun menyadari di belakangnya menjadi panas. "Astaga!" ucapnya.

Vlaudenxius mengucapkan sihir.

"Dis... Pel..."

POP !!

Lalu matahari kecil itupun lenyap seketika seperti balon pecah.

"Tak perlu sebesar itu." ucap Vlaudenxius sambil tersenyum bangga dengan menggoyangkan jari telunjuknya.

"Aaa… Maaf."

Seluruh student yang meremehkannya tadi langsung terdiam.

***

Setelah Alzen melakukannya, ia diberi 3 Medal berwarna Merah, Biru dan Ungu. Lalu Alzen kembali ke tempat duduknya dan bertanya pada Chandra Wang, teman disebelahnya.

"Chandra... Medal yang seperti Pin ini, buat apa?" tanya Alzen.

"Itu simbol elemen yang kamu kuasai." jawabnya.

"Elemen yang aku kuasai?" ucap Alzen. "Ohh yang Merah ini artinya Api, yang Biru artinya Air, yang Ungu artinya Petir. Begitu ya?"

"Yup... " balas Chandra singkat. "Tuh kamu ngerti."

Kemudian ketika giliran Chandra Wang naik, ia diberi medal Merah dan Biru yang di tempelkan di Almamater bagian dada.

"Tuh... Benarkan! Merah, Biru, Ungu." ucap Chandra sambil menunjuk Medal Alzen. "Merah, Biru."

***

Lalu Vlaudenxius menjelaskan, "Warna-warna di Medal adalah simbol dari elemen yang kalian bisa."

"Tuh apa kata gue..." Chandra tak henti-hentinya membanggakan diri.

"Iya... iya..." balas Alzen.

"Besok kalian akan masuk ke kelas berdasarkan Elemen yang kalian kuasai. Mudahnya bisa dilihat sesuai medal yang kalian miliki. Untuk yang hanya punya 1 Elemen, kalian tak perlu memilih kelas, karena sudah jelas. Tapi untuk pemilik Multi-Elemen, 2 atau 3 atau mungkin 4. Silahkan memilih 1 dari kelas yang kalian suka sebagai komunitas belajar kalian. Misalnya pemilik 2 Elemen. Elemen Api dan Elemen Angin boleh memilih Kelas Api atau Kelas Angin."

Alzen angkat tangan untuk bertanya "Pak Vlaudenxius! Jika kita memilih Kelas Elemen tertentu, kita tidak diperbolehkan belajar Elemen yang di luar itu?"

"Pertanyaan bagus... jawabannya, tentu saja boleh. Kelas hanya sebatas untuk komunitas kalian, bukan jadi penghambat kalian untuk belajar. Ohh iya, aku hampir lupa. Ingat ini, kalian tak boleh berganti kelas sampai naik ke Tingkat selanjutnya. Jadi pilihlah dengan bijak."

Sorak-sorai keramaian memberikan komentar.

"Haaa!? Tak boleh ganti kelas?"

"Kalau salah pilih... Apes dah..."

Dan 3 orang yang tadi ditemui Alzen. Yaitu Sinus, Velizar dan Nicholas membicarakan sesuatu di kursi yang jauh berhadapan dengan Alzen dan Chandra duduk.

"Ngapain dipikirin sih. Kita cuma bisa Elemen Darkness." ucap Sinus bersama temannya.

"Lihat... Banyak sekali yang keberatan." ucap Velizar datar. "Padahal tak begitu banyak yang bisa Multi-Elemen kurasa."

"..." Sementara Nicholas teman di sampingnya hanya diam saja.

"Oi, Oi, Nick, Nick? Nick!" tanya Sinus.

"Ahh... Wahh!?" Nicholas kaget. "Apa!? Kenapa?"

"Kau lihatin siapa? Bengong begitu?" tanya Sinus.

"Dia lihat cewek rambut pirang panjang itu." kata Velizar dengan nada datar. "Kalau gak salah Leena namanya."

"Hmph... Mataku terbaca dengan mudah ya?" kata Nicholas tersenyum. "Velizar benar. Dia Leena, dia punya Elemen Cahaya. Jadi sialnya kita akan sekelas dengannya nanti."

"Ya... Kalau sewaktu-waktu lawan dia. Aku nyerah saja deh..." Velizar melipat tangannya di belakang kepala dan menidurkan kepalanya di penyangga belakang kursi yang ia duduki. "Aku tak terlalu suka pengguna Cahaya. Seperti banyak menghabiskan tenaga."

"Lohh... Kan beda elemen? Kok sekelas?" tanya Sinus tak mengerti.

"Halah... Kau tak ngerti ya..." Nicholas malas menjelaskan. "Haa? Sebentar-sebentar. Baru perhatiin, Kau Sinus, kenapa agak gosong dan rambutmu acak-acakan gitu?"

"Dia disambar petir Alzen Franquille. Hahaha... Wajahnya bodoh sekali waktu dirinya disetrum."

"Ahh... Lupakan soal itu!" Kesal Sinus. "Si rambut biru sialan banyakan gaya!"

"Hoo!? Alzen Franquille? Siapa dia?"

balas Velizar "Nanti kau juga tahu..."

***

"Sebelum kalian kembali ke dorm. Kita akan sudahi setelah memberikan tepuk tangan yang meriah kepada 3 murid penerima beasiswa tahun ini, Majulah... ini hadiah untuk kalian. Karena kalian cerdas dan berbakat."

Sambung Vladenxius. "Biar kusebutkan namanya satu persatu. Aku tak perlu catatan untuk mengingat nama penyihir hebat. Juara 3 Tes Ujian masuk dari 700 peserta yang mendaftar."

"Yang tadi kalian semua tertawakan, Alzen Franquille !!" Setelah disebutkan namanya Alzen maju ke depan. Tapi seperti tak satupun yang mengenal dirinya.

"Ehh?" Alzen heran, Tak satupun memberi tepuk tangan pada Alzen. "Separah itukah aku?"

"Juara 2, Nicholas Obsidus !!" Lalu maju Nicholas, seorang nerd tampan berambut hitam dengan kacamata. Meski ia nerd tapi ia berpenampilan cool dan cerdas... Terlihat sangat introvert, namun juga sangat percaya diri.

Setelah ia naik, Tepuk tangan yang meriah sekali di berikan padanya.

"Juara 1, Leena Leanford !!" Yang terbaik muncul, dia adalah seorang wanita berambut pirang panjang, mengenakan gaun swordman berwarna putih dan garis-garis biru. Parasnya sangat cantik dan juga cerdas.

"Terima kasih, Terima kasih..." ucap Leena karena banyak sekali tepuk tangan yang meriah di hadapannya.

"Dan berikan selamat untuk para penerima beasiswa Tahun ini, Kuberikan selamat pada kalian, bisa bersekolah gratis sampai lulus Tingkat 1."

***

Beberapa saat setelahnya, acara berakhir di jam 9 malam.

Dan semua kembali ke dormnya masing-masing, ada yang langsung tidur, ada yang masih memikirkan sesuatu, ada yang manfaatin fasilitas saking kampungannya, ada yang mengeluhkan dormnya terlalu jelek karena terbiasa tinggal di rumah mewah dan lain sebagainya.

Tapi saat ini dari status sosial manapun mereka sama-sama tinggal berdampingan di tempat yang sama.

Dan hari pertama ini berakhir...

***