Soca
•
•
Cahaya kemerah-merahan di sebelah timur perlahan-lahan mengusir kegelapan malam. Pohon-pohon yang semula tampak hanya seperti gumpalan-gumpalan hitam mulai terlihat nyata. Embun-embun bergelantungan di atas daun.
Semalam, usai memastikan kalau si pria berkalung rantai tidak mengejar. Altair memutuskan rehat di tengah hutan karena memikirkan kondisi Nereid yang masih sangat buruk. Meskipun begitu, ia tidak tertidur barang sekedipan pun. Sebab, dirinyalah yang mengambil tugas berjaga, baik dari hewan buas ataupun bahaya lain.
Begitu pagi datang, Allera lekas terjaga. Hal pertama yang dilakukannya adalah menuntut sebuah penjelasan.
Altair pun menjelaskan semuanya tanpa harus ada yang ditutup-tutupi.
"Kalau memang begitu, kenapa kau tidak melawan si pria berkalung rantai itu saja? Memangnya kau tidak memiliki keyakinan dapat mengalahkannya?"
"Persoalannya tentu tidak sesederhana itu!" Altair mengesah kecil, menyandarkan tubuh pada pohon. Wajahnya terlihat letih, mungkin karena kurang tidur. "Kallonna berbeda dengan Soesa, kota ini memiliki aparat serta hukum. Jika kita membuat keributan, terlebih membunuh orang, pasti akan memancing perhatian. Buntutnya, kita akan tertahan lebih lama di sana.
"Pria berkalung rantai itu hanyalah suruhan. Jika dia mati, orang lain pasti akan datang menggantikannya. Melawan pria berkalung rantai itu sama saja dengan membuat keributan, memancing perhatian. Jika kita tertahan lebih lama di sana, orang yang paling diuntungkan adalah majikan si pria berkalung rantai itu." Altair menghela napas sekali lagi.
"Aku tidak berpikir sejauh itu." Allera memalingkan wajah. Merasa malu karena pola pikirnya tidak seapik Altair.
"Hahahaha ...."
"Kau menertawaiku?"
"Tidak! Tidak! Hanya saja kurasa kemampuanmu tidak di bidang menganalisa atau semacamnya. Mungkin, di bidang lain. Memukul orang misalnya. Haha ...."
"Huh!" Meskipun Allera tahu pemuda bermata biru itu tidak sungguh-sungguh mengejek, tetap saja dirinya merasa kesal. Kendati demikian, tidak ada hal yang dapat dilakukannya selain merengut sebal.
Tanpa terasa, fajar menghilang. Digantikan oleh mega putih keabu-abuan, berarak-arak. Malam sudah disingkirkan oleh siang, sinar keemasan sang surya gemilang menerangi jagat raya. Daun rindang menghalau cahaya yang datang, tetapi sebagian tetap menerobos melalui celah-celahnya.
Cahaya dari celah daun memapar wajah Nereid yang tengah terbaring di atas tanah. Berbantal akar yang menganjur. Intensitas tinggi cahaya berhasil mengusiknya dari ketidaksadaran.
Kedua mata Nereid mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka perlahan-lahan. Suara yang pertama muncul dari mulutnya merupakan erangan lirih. Tubuhnya tampak lenguh lesu, wajahnya pucat seperti mayat.
Allera yang menyadari pergerakan Nereid langsung bergegas menghampiri. "Nier, kau sudah siuman?"
Kedua mata Nereid menyipit karena silau. Mencoba menghalangi cahaya──yang membuatnya kesulitan melihat──dengan lengan. Batuk langsung menyergap saat ia berusaha duduk. Altair buru-buru membantu.
"Nier, tenanglah! Jangan terlalu banyak bergerak dulu," pinta Altair.
~
Nier, kemarilah! Ayo kita bermain!
Nier, kenapa kau tidak mengizinkan Kakek memotong rambutmu yang sudah jabrik?
Nier, bicaralah! Kenapa kau diam saja?
Nier, kenapa kau menyakiti guru?
Nier! Nier! Nier!
~
Nereid coba menghalau silau, memfokuskan kedua mata. Namun, begitu sadar siapa dua orang di sekitarnya ia justru membeku. Jantungnya serasa mau lepas, seperti terhantam sesuatu dengan sangat keras.
"Menjauh dariku!" Nereid membentak tak terkontrol. Mimik wajahnya seolah ketakutan bercampur panik. Tubuhnya bangkit dengan cepat dan kemudian melesat pergi. Menerobos Altair serta Allera yang berusaha menahannya.
Tanpa memedulikan apa pun Nereid terus berlari menjauh, menerobos semak belukar. Namun, lantaran terlalu terburu-buru tanaman merambat yang menjulur-julur serta melintang, luput dari perhatian. Tak ayal, tubuhnya langsung bergedebug jatuh. Kakinya terjerat tanaman merambat.
Altair segera menghampiri untuk membantu, tetapi Nereid menolaknya kasar.
Nereid menepis lengan Altair dan berusaha menyerang, tetapi sayang usahanya nihil. Pukulannya tidak memberi efek apa-apa. Sebaliknya, justru dirinyalah yang langsung tersungkur ke tanah saat dihantam balik.
"Berhentilah bersikap seperti anak-anak, Nier!" bentak Altair.
"Alta, apa yang kau lakukan? Nier sedang terluka!" Allera mendorong kasar tubuh Altair, kemudian buru-buru menghampiri Nereid yang masih meringkuk di tanah.
Allera membangunkan Nereid pelan-pelan, lantas memeluknya. Berusaha agar remaja berambut panjang itu menjadi tenang. Dulu, Aaron sering melakukannya saat Nereid mendadak histeris atau mengamuk tanpa alasan.
"Nier ...." Altair tampak menyesal. Jari-jemarinya yang tergantung lemah berkedut. Seiring dengan emosi yang mereda, napasnya menjadi lebih tenang, tidak lagi memburu. Lirihnya, "Maafkan aku ...."
Nereid tidak menjawab, kedua lengannya terkulai lemah, pun tubuhnya. Bernapas berat, sesekali bahkan seperti tersendat-sendat.
"Biarkan ... aku pergi," pinta Nereid dengan suara hampir tidak terdengar. Kelopak matanya membuka, tetapi tidak sepenuhnya. Membentuk celah yang menampilkan sedikit sklera serta irisnya.
"Tidak, Nier! Kau telah pergi terlalu lama. Kini, sudah saatnya kembali. Kakek sangat merindukanmu ...." Allera mengeratkan pelukannya. Mengusap kelapa Nereid yang terkulai di bahunya. Tindakannya seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.
Nereid tidak berkata apa-apa lagi. Tahu bahwa percuma saja bersikeras. Hendak melarikan diri pun tubuhnya sudah tidak sanggup. Jadi, jalan satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah diam dan berpasrah.
Nereid mengatupkan kedua matanya.
"Sebaiknya kita lekas melanjutkan perjalanan." Allera menatap Altair yang berdiri tak jauh.
"Iya." Altair menempatkan Nereid di punggungnya. "Karena kita akan mengambil jalur hutan, tidak efektif bila menunggang kuda. Jadi, kita lepas saja kuda-kuda itu di sini."
"Baiklah!" Allera mengangguk. Mengalirkan aura pada tubuhnya agar bisa melompat dengan ringan di atas pepohonan. "Biar nanti aku yang membawa barang-barangmu."
Altair mengangguk kecil kemudian melompat ke dahan, diikuti Allera. Keduanya bergerak kembali ke tempat beristirahat tadi. Mengambil ransel dan berbagai perlengkapan, melepaskan kuda, lalu melanjutkan kembali perjalanan.
Bersambung ....