Perjalanan ke Rohellio (III)

Soca

Rigel mengaduk-aduk bara api unggun yang mulai padam. Debu hasil pembakaran beterbangan di udara. Di balik bukit, sang surya sudah muncul separuh, cahayanya masih teduh. Sementara di awang-awang, dirgantara perlahan membiru.

Bagaimanapun dipikir dan coba dihubungkan, Rigel masih tetap tidak dapat menemukan benang merahnya. Saman makhluk yang seharusnya dimusnahkan, kenapa malah dilindungi serta dikasihani sedemikian rupa? Terlebih, oleh seseorang yang namanya terkenal galak dalam membasmi Saman, Aaron Costel.

Suara lenguhan mengalihkan atensi Rigel dari bara, dilihatnya Rallia mulai terjaga. Kehangatan sang surya telah mengusik lelap gadis itu.

"Eh! Sudah pagi!" Rallia menyeru kaget. Celingukan, seakan-akan dirinya tidak percaya bisa terlelap sedemikian nyenyak.

Rigel tersenyum simpul menatap wajah kucel dengan rambut awut-awutan khas orang bangun tidur. "Sepertinya kau sangat lelah. Jadi, tidurmu sangat lelap semalam. Meski hanya beralas rumput dan berbantal akar pohon, tetap nyenyak."

Rallia balas tersenyum canggung, malu karena bangun terlambat. Selama ini, dirinya selalu terkekang atas seribu macam peraturan sebagai budak. Tidak mendapat waktu tidur yang cukup sudah merupakan hal biasa. Lalu, saat peluang memberinya kesempatan terlelap tanpa beban, ia benar-benar kebablasan.

"M-maaf, aku tidur seperti orang mati."

"Hahaha, kau lelah, tidak apa-apa. Lupakan saja!" Rigel memainkan ranting yang ujung sudah terbakar, mengepulkan asap tipis. Ranting di angkat mengarah ke sebelah barat. "Di sana ada danau kecil, tidak terlalu dalam. Kau mandilah dulu di sana."

Rallia mengikuti arah ranting. Tanyanya dengan wajah polos, "Bagaimana kau bisa tahu di sana ada danau? Sudah pernah ke hutan ini sebelumnya?"

Tawa kecil Rigel kembali meluncur dari mulut. "Mataku ini sangat awas. Gampangnya, aku naik ke atas pohon paling tinggi untuk melihat-lihat. Tadi aku sudah ke danau itu untuk mandi. Di sana aman, tidak ada hewan buas. Jadi, kau biasa tenang," Rigel menggantung ucapannya, "atau ... kau mau aku temani?"

"Ai, mesum!" Rallia merengut sebal, wajahnya merona terang. Meskipun demikian, diam-diam mencuri pandang. Kalau diperhatikan lebih saksama, rambut Rigel memang masih kelihatan basah. Baju oblong polosnya juga basah di beberapa bagian.

"Apa ada yang salah dariku?" Rigel bertanya tanpa memalingkan perhatiannya dari bara.

"Ah! Tidak! Tidak ada!" Rallia terhenyak bukan main. Tidak menyangka bahwa dirinya akan ketahuan diam-diam memperhatikan. Rigel bahkan tidak menoleh dan pandangannya terfokus pada bara, tetapi pria itu tetap sadar tengah diperhatikan. Rallia mulai berpikir mungkin pemuda berambut pirang itu memiliki mata ajaib yang tersembunyi di samping kepala.

Rigel mengangkat wajah dan menoleh ke arah Rallia yang sudah pergi dengan agak tergesa-gesa. Keningnya mengerut, bergumam sendiri. "Tingkah yang aneh!"

Mengesah, Rigel meniup-niup bara di depannya, halus. Anehnya, bara-bara itu perlahan menghitam, padam. Seolah ada hawa dingin yang membekukan. Rigel tersenyum saat dilihatnya tidak ada lagi nyala bara maupun api.

Setelah beberapa lama, Rallia kembali dengan wajah yang lebih segar. Rambut panjangnya masih meneteskan butiran-butiran air, pakaiannya sedikit basah. Matanya yang besar menampilkan iris hitam berkilauan.

"Lapar tidak?" Rigel mengambil ransel yang digantung di sisi kuda. Mengeluarkan sebuah bungkusan berwarna hitam pupus dari dalam ransel. Ia membuka kertas pembungkus yang agak tebal itu dan mengeluarkan isinya. Beberapa kue kering yang cukup lumayan untuk mengganjal perut. Pintanya, "Kemarilah!"

Agak canggung, Rallia menghampiri. Air liur langsung memenuhi rongga mulutnya, ia memang lapar. Ditambah, selama menjadi budak dirinya tidak pernah sekalipun mendapat makanan yang layak. Mungkin, itulah sebabnya mengapa tumbuh kembangnya menjadi terhambat. Tubuhnya kurus kering dan pendek.

"Ini, ambillah!" Rigel menyerahkan sebagian kue kering yang sudah dibagi dalam dua bungkusan.

Meski mulanya Rallia malu-malu, rasa lapar serta kelezatan dari kue──yang seumur-umur tidak pernah dicap──membuatnya tidak mampu mengendalikan diri. Semakin lama semakin rakus, hingga dalam sekejapan mata, semua kue telah berpindah ke perut.

Rigel yang melihat pun agak dibuat cengo beberapa saat. "Ini kau makan saja."

"Eh?" Rallia terkejut sendiri. Ragu-ragu mengambil kue kering yang seharusnya menjadi bagian Rigel. Tak enak hati sebenarnya, tetapi jika menolak takut malah menyinggung perasaan pria baik itu. Meski malu, mau tak mau tetap memakannya. Kali ini lebih pelan dan hati-hati.

"Tidak apa-apa, tidak usah malu-malu." Rigel menyunggingkan senyuman. Ia beranjak dan membereskan beberapa barang ke dalam ransel. Terakhir melepaskan kuda hasil rampasan ke hutan.

"Kenapa di lepas?" Rallia mengunyah potongan kue terakhir.

"Setelah ini kondisi hutan akan sulit dilewati kuda, tidak akan efektif. Lebih baik dilepas saja."

"Kita akan ke Rohellio dengan berjalan kaki?"

"Ya, kurasa begitu." Rigel membenarkan posisi ransel yang ditaruh di depan. Menghampiri Rallia, lalu berjongkok. Pintanya, "Naiklah!"

"A-apa?" Hampir saja Rallia memekik saking terkejutnya.

Rigel tertawa ringan. "Kau pikir akan berapa lama waktu yang dibutuhkan bila ke Rohellio dengan berjalan kaki? Sudah, tidak usah banyak berpikir. Naik saja!"

"Tapi, Tuan Rig——" Rallia terpaksa memotong ucapannya lantaran ditukas.

"Rigel!"

"I-iya, R-rigel, tapi ...."

"Aku tidak akan melakukan hal-hal mesum. Tenang saja!" Rigel menolehkan kepala, menatap untuk meyakinkan. Sikapnya penuh kesabaran juga kedewasaan.

"B-bukan begitu maksudku ...." Rallia mulai salah tingkah. Bertahun-tahun menjadi budak telah mengubahnya menjadi pribadi minderan, pesimis, dan tidak percaya diri. "Tu, maksudku R-rigel, apa kau tidak apa-apa menggendongku?"

"Memangnya kenapa? Bukankah kemarin juga kau kugendong?" Rigel meringis lemah. "Apa kau punya penyakit kudis?"

"Ai? Tidak! Tidak!" Rallia menyanggah cepat-cepat. Kedua tangan dikibas-kibaskan di depan.

"Ya, sudah! Cepatlah naik, nanti keburu siang!" Rigel meyakinkan dengan senyuman hangat, sehangat sinar mentari yang menerpa tubuhnya saat ini. Kelembutan sikapnya menyerupai embusan angin yang menyejukkan.

"Umm, baiklah." Rallia menurut, meski masih merasa canggung.

Setelah Rallia naik ke punggungnya, Rigel lekas melompat ke dahan pohon. Melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan lincah juga ringan. Menjelang tengah hari, ia rehat sejenak untuk minum, kemudian meneruskan kembali perjalanan.

Saat hari mulai gelap pun Rigel tidak menghentikan perjalanan. Meski Rallia berkali-kali meminta untuk rehat dulu, tetap meneruskan. Semakin cepat sampai, semakin baik. Namun, Rigel mulai melambankan lompatannya saat kedua matanya menangkap cahaya api di kejauhan.

Dibalik rimbun daun, cahaya memendar di tengah gulita. Oleh mata orang biasa mungkin tidak akan kelihatan. Namun, mata Rigel memiliki tingkat ketajaman yang jauh di atas rata-rata orang. Selain sudah terbiasa dengan hutan, tentu karena ia juga sering melatih keawasan indra penglihatannya.

Segelap apa pun, mata Rigel akan tetap awas dalam melihat. Gerakan-gerakan kecil atau sinar-sinar kecil di kejauhan tidak mudah luput dari pandangannya.

Bersambung ....