Perjalanan ke Rohellio (IV)

Soca

Cahaya api yang dilihat oleh Rigel ternyata berasal dari api unggun. Altair duduk tercenung di sana, sementara Allera tengah relaks bersandar pada batang pohon. Tidak jauh, Nereid tidur telentang berbantal sebuah mantel yang digulung. Meski tubuh Nereid sendiri sudah memakai mantel bulu yang tebal, Allera tetap menyelimutinya lagi dengan mantel miliknya.

"Sudah malam, tidurlah! Biar aku yang berjaga." Altair menambahkan ranting, api unggun menjadi bertambah besar, lidahnya menari-nari ditiup angin. Hawa hangat merambat melalui udara, mengusir dingin yang menggigit.

"Emm." Allera kembali ke tempat semula, menyandarkan punggung pada batang pohon.

Suasana hening menyelimuti, sehingga suara bakaran ranting terdengar jelas. Udara dingin di hutan sangat menusuk, terlebih beberapa pekan lagi sudah akan memasuki musim dingin. Lewat beberapa lama, Altair masih terjaga, setia menjaga dua orang rekannya yang sudah terlelap.

Di saat seperti itu, tiba-tiba telinga Altair menangkap bunyi siur angin yang janggal. Suara desau angin berasal dari sebuah anak panah yang diluncurkan dalam kecepatan tinggi. Meluncur dari sisi kiri tubuh, menyasar bagian atas telinga.

Altair menangkap anak panah tersebut, seinci sebelum menancap di atas telinga. Menggenggamnya, kemudian anak panah itu pun patah menjadi dua bagian. Kedua bola mata biru cerah bergulir tajam ke sisi kiri.

Mendengus dingin.

Dengan menggunakan ranting, Altair melempar satu bara sembarangan. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan menggema. Membangunkan Allera, Nereid, serta binatang-binatang malam yang tengah terlelap.

Nereid memegangi dadanya yang sesak, mungkin karena terkejut. Meski sudah sedikit membaik, tubuhnya masih sangat lunglai. Walaupun begitu, Nereid tetap memaksa berdiri, berpegangan pada dahan pohon.

Allera menghampiri Nereid, memapahnya. Kedua matanya awas memandangi segerombolan orang berseragam hitam. Salah satu dari orang itu ada yang berjalan terhuyung-huyung memegangi pelipis yang melepuh.

"Oi, Bocah! Kita bertemu lagi," sapa seorang pria bertubuh kekar yang di lehernya terdapat sebuah lilitan rantai.

Tersenyum sinis, Altair menatap pria berkalung rantai itu. "Ternyata masih tersisa sedikit otak di kepalamu yang besar, eh."

"Kau!" Si pria berkalung rantai menggeram berang. Namun, sesaat kemudian ia malah tertawa terbahak-bahak bagai kesetanan. "Hahahaha, galak juga bacot moncongmu, Bocah!"

Tidak menjawab, Altair menciptakan sebuah tombak bermata tajam dengan auranya. Memasang kuda-kuda dan bersikap waspada. Percuma saja banyak bicara, toh hakikatnya ia memang sudah tahu tujuan si pria berkalung rantai.

Tidak. Sudah merupakan jawaban mutlak Altair atas apa yang diinginkan oleh pria berkalung rantai itu. Jangan berpikir konyol bahwa persoalan masih bisa diselesaikan dengan jalan diskusi atau bicara baik-baik. Omong kosong. Buang-buang waktu.

Si pria berkalung hitam mencabut golok yang tersoren di punggungnya. Kali ini, romannya menjadi lebih serius. "Ai, Bocah! Rupanya kau seorang Arura."

*Arura: sebutan untuk orang-orang yang memiliki aura dalam jumlah besar; mampu mengendalikannya; mampu menciptakan pelbagai senjata dengan auranya; melakukan hal-hal luar biasa; sihir; kekuatan supernatural.

Bunga api memercik saat ujung tombak Altair beradu dengan mata golok si pria berkalung rantai.

Tampak wajah si pria berkalung rantai agak sedikit kaget, pasalnya Altair menyerang secara tiba-tiba tanpa banyak basa-basi. Terlebih, kekuatan yang dihantamkan sangat besar, sampai-sampai si pria berkalung rantai terdorong mundur beberapa langkah.

Melihat hal itu, orang-orang berseragam hitam berbondong-bondong menyerang Altair.

Umumnya, saat satu orang dikeroyok ramai-ramai sudah pasti akan kewalahan. Namun, Altair justru menciptakan hal yang sebaliknya. Membuat si pria berkalung rantai berserta anak buahnya keteteran. Tubuh Altair bergerak lincah dan luwes, pandai berkelit-kelit dan mengelik, sedang serangan-serangannya galak juga bertenaga. Dalam sekejapan, orang-orang berseragam hitam yang mengeroyoknya dibuat tumbang semua.

Si pria berkalung rantai mundur lima sampai enam langkah. Terengah-engah dan bercucuran keringat. Roman wajahnya sudah tidak segarang tadi. Nyalinya menciut mendapati kemampuan Altair yang jauh di luar takaran.

Altair menyeringai kecil. Bersama embusan angin tubuhnya melesat, tombaknya terhunus ke depan.

Si pria berkalung rantai coba melawan, tetapi rasa percaya dirinya sudah memudar banyak. Jadi, perlawanannya menjadi tidak berarti sama sekali. Pada akhirnya, tubuhnya pun bergedebug jatuh ke tanah, bersimbah darah.

Altair menarik tombaknya dari perut si pria berkalung rantai, darah menetas dari ujung tombak. Mengesah, mata biru bergulir memindai orang-orang berseragam hitam yang tidak dibunuhnya. Membuat mereka semua berlarian tunggang langgang.

Tombak di tangan Altair berubah menjadi cahaya dan menghilang secara perlahan-lahan.

"Apa perjalanan ini sebaiknya kita lanjutkan saja?" Allera menatap Altair yang datang menghampiri.

"Kurasa juga begitu. Semakin cepat kita sampai ke Rohellio, semakin baik." Altair mengalihkan pandangannya pada Nereid. "Namun, bagaimana dengan Nier? Kondisinya masih sangat lemah. Dia butuh beristirahat."

Allera menatap Nereid, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sorot matanya tampak nanar. Mungkin, merasa sedih atau prihatin melihat kondisi rekannya.

"Tinggalkan saja ... aku di sini." Nereid mengangkat wajah, menatap Altair dengan pandangan setengah memelas.

"Tidak, Nier! Berhentilah merengek atau bicara omong kosong." Altair lekas menempatkan Nereid di punggungnya. "Asal kau tahu, aku dan Alle, khusus datang untuk membawamu pulang. Dan, karena kau sudah bisa merengek, kuanggap kondisimu sudah sedikit membaik."

Kelopak mata Nereid menurun. Tidak memprotes maupun berkata-kata lagi. Bagaimanapun, dirinya pernah mengenal Altair. Tidak akan mudah, bahkan cenderung mustahil membujuk mantan rekan seperguruannya itu.

Allera memakai kembali mantelnya, membereskan beberapa barang pada ransel. Kesemuanya dilakukan dengan cepat. Jadi, sekejap saja sudah selesai. "Kita berangkat sekarang?"

"Ya." Altair langsung melompat ke dahan pohon.

Mengikuti, Allera mensejajarkan tubuhnya dengan Altair.

Namun, baru juga beberapa lompatan Altair malah berhenti dengan tiba-tiba. Pandangannya memendar ke sekitar, seperti tengah mencari-cari sesuatu. Akan tetapi, lantaran malam sudah larut, kondisi hutan sangatlah gelap gulita.

"Keluarlah! Aku tahu kau ada di sana." Altair berucap dingin, setengah berteriak.

Cahaya-cahaya kecil menyerupai kunang-kunang mendadak bermunculan. Menjadikan area sekitar terang teduh seperti tengah muncul fajar di pagi hari. Dari balik rindang, muncul seorang pemuda yang tak lain adalah Rigel bersama Rallia di punggungnya.

Rallia turun dari gendongan, berdiri di samping Rigel.

"Tadinya, aku merasa penasaran dengan cahaya api yang kulihat di tengah belantara. Jadi, menghampiri untuk memastikan. Namun, ternyata cahaya itu berasal dari api unggunmu." Rigel menerangkan dengan santai.

Nereid menjadi membeku beberapa saat mendapati kehadiran Rigel. Membelalak sekejap. Kedua tangannya bergerak secara refleks, menegang. Mulutnya mengeluarkan suara gumaman lirih tidak jelas. Tertegun.

Walaupun pada dasarnya gerakan Nereid sangatlah halus, kepekaan Altair tetap mampu menyadarinya. Alih-alih mendengarkan kejelasan Rigel, ia justru bertanya pada makhluk dipunggungnya. "Ada apa, Nier? Apa kau mengenalnya?"

Butuh beberapa saat sampai Nereid menjawab, "Tidak," dengan lirih. Nereid memang mengatakan yang sebenarnya. Sebab, meskipun pernah bertemu Rigel, tetapi dirinya tidak mengenal siapa pria itu. Pria yang mencoba menghabisinya dua kali.

Nereid menurunkan pandangannya, berpaling. Menghindari tatapan menusuk setengah mengintimidasi dari Rigel.

Prasangka Altair masih mengatakan bahwa ada hal janggal pada Nereid terhadap Rigel. Namun, karena pemikiran tanpa bukti akan sama artinya dengan fitnah. Jadi, Altair tidak bertanya lebih jauh atau bersikeras mencari pembuktian atas prasangkanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Altair bertanya dengan nada sumbang.

Walau masih memiliki kaitan satu sama lain bila menilik dari silsilah guru masing-masing. Namun, Altair jelas menampilkan ketidakramahannya terhadap Rigel. Hal ini terjadi lantaran Altair memiliki kecurigaan bahwa Rigel masih berniat menyakiti Nereid, rekannya.

Menghela napas, Rigel memindahkan tatapannya dari Nereid ke Altair. "Sebenarnya, aku memiliki niat untuk bertemu gurumu, Aaron. Namun, tampaknya kita memiliki masalah yang serupa. Orang-orang berseragam hitam yang tadi menyerangmu, mereka juga mengincar nyawaku. Jadi, kuputuskan untuk mengambil jalur hutan."

"Bertemu guruku untuk apa?" Nada Altair masih terdengar pales. "Dan kenapa orang-orang Paliv Kliros bisa mengincar nyawamu?"

Rigel tidak buru-buru menjawab. Dari cara menganalisa Altair, sudah bisa disimpulkan bahwa pemuda bermata biru itu memiliki cara pikir serta kecerdasan yang tidak biasa. Bila salah dalam menjawab, khawatirnya malah akan menjadi masalah.

"Apa salahnya aku menemui guru dari guruku untuk bersilaturahmi? Bukankah tidak ada yang janggal dengan itu, huh? Lalu, mengenai orang-orang Paliv, aku memiliki sedikit masalah dengan putranya. Jadi, mereka mencariku untuk menuntut balas."

"Oh, klise sekali. Haruskah aku mempercayai celotehan orang yang tidak kukenal?" Altair tertawa rendah yang dingin.

"Apa kau sedang meragukan ajaran gurumu sendiri, huh? Apa menurutmu guruku tidak mengajari budi baik, tata krama, serta bagaimana sikap untuk menghormati sesama? Liar sekali pemikiranmu terhadap gurumu sendiri." Rigel mendengus kasar.

"Ai, sudahlah! Kenapa kalian berdua malah bersitegang, bukankah kita semua ini masih memiliki ikatan persaudaraan?" Allera menengahi, "kita juga memiliki tujuan yang sama bahkan mendapat ancaman serupa. Jadi, kenapa tidak melakukan perjalanan bersama-sama?"

Meskipun Altair terus bersikap dingin, tetapi Rigel tidak terlalu memikirnya. Toh, apa yang dikatakan Allera benar bahwa mereka masih memiliki hubungan saudara seperguruan. Pun, Rigel tidak pernah memiliki kebencian apa-apa pada Altair.

Jadi, Rigel memilih untuk mengalah dan bersikap lebih santun. "Aku minta maaf bila kehadiranku telah mengusikmu."

"Bila tidak ada hal yang perlu dibicarakan lagi, lebih baik bergegas melanjutkan perjalanan saja." Altair melirik pada Allera, memberi isyarat agar lekas melanjutkan kembali perjalanan yang tertunda. Kemudian melompat pergi.

Meskipun begitu, sikap apatis Altair secara tak langsung telah menunjukkan bahwa dirinya tidak menolak usul perjalanan bersama.

"Ayo!" Allera menyeru pada Rigel serta Rallia.

Mengangguk, Rigel lekas berjongkok agar Rallia naik ke punggungnya, kemudian melompat mengikuti jejak Allera dan Altair.

Bersambung ....