Melarikan Diri

SOCA

Kedua alis Nereid berkedut. Kelopak matanya terangkat pelan, menampilkan netra sehitam bulu gagak. Ia mengejan pelan saat mencoba menyandar pada bantal, tubuhnya lemah tak bertenaga──lenguh lesu.

Mata sayu Nereid menyapu ruangan, kosong, tidak ada siapa-siapa. Niat untuk melarikan diri pun timbul, menyambangi pikiran. Walau kondisinya sangat tidak memungkinkan, memikirkan harus bertemu Aaron emosinya bergejolak. Malu, rendah diri, cendala, sedih, bahkan rindu di saat bersamaan. Semua teraduk, bercampur menjadi sebuah emosi yang menyakitkan.

Menguatkan tekad, Nereid menggertakkan gigi kuat-kuat, menahan semua rasa sakit yang menyergap. Baik yang mengoyak hati, maupun yang mencabik tubuh. Perlahan dan hati-hati, ia turun dari tempat tidur menuju pintu.

Di luar penginapan, Rigel dan Rallia berjalan beriringan sembari mengobrol ringan. Keduanya tampak bersenda gurau.

"Kau yakin, mereka semua ada di sini? Bagaimana cara mengetahuinya?" Rallia bertanya antusias. Sinar keingintahuan memancar dari dua bola matanya yang besar. Sebuah ekspresi imut dan juga menggemaskan.

"Mudah saja. Aku memiliki kemampuan untuk mendeteksi aura Saman, sekalipun samar." Rigel menatap lurus orang-orang yang tengah berlalu lalang di halaman penginapan. Pikirannya seperti tengah pergi entah ke mana.

"S-saman? Namun, Tuan Nereid, dia ...." Rallia menggigit bibir. Batinnya ingin menyangkal semua pernyataan Rigel. Namun, takut akan membuat pria pirang itu marah dan kecewa. Bagaimanapun, Rigel sudah banyak menolongnya. Akan terasa kurang ajar bilamana berani membantah ucapan dari seorang yang sudah memberi banyak bantuan.

"Dia seorang Saman, berdarah iblis." Kedua mata Rigel menyipit tajam. Suaranya mendadak berubah dingin, kehangatan yang biasa memancar di wajahnya seketika mengeras bagai besi.

Rallia sampai ketakutan, menunduk dalam-dalam dan tidak lagi berani melihat ke arah wajah Rigel.

Dari arah belakang, Allera datang menjinjing keranjang berukuran sedang──lebarnya kira-kira sejengkal dan panjangnya sehasta──dari anyaman rotan. Atensinya langsung terfokus pada punggung dua orang di depan, ia mengenali pakaian dua orang itu.

"Rigel, Rallia?" Allera memanggil dengan suara agak keras.

Sontak, Rigel dan Rallia menoleh. Senyuman keduanya merekah menyambut kedatangan si gadis cantik ke arah mereka.

Seraya tersenyum hangat, Allera bertanya, "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?"

"Menemuimu, Nona," canda Rigel.

"Oh, ya? Jadi, untuk apa Tuan menemui saya, huh?" Allera mengimbangi candaan Rigel.

Rigel tidak lagi membalas dan malah tertawa ringan, saking ringannya sampai-sampai nyaris tak terdengar.

"Jadi, apa kalian berdua memutuskan untuk melihat-lihat panorama Lilia dulu sebelum ke Rohellio, eh?" Allera menggoda sembari berjalan memasuki penginapan. "Tempat ini sangat indah, lo. Cocok untuk memupuk kisah-kisah romantis muda-mudi. Hahaha."

"Cih! Omong kosong!" Rigel tertawa geli sembari memalingkan wajah. Godaan Allera membuatnya merasa canggung.

Rallia sendiri memilih tetap membisu, menahan rasa malu yang menyerang batinnya. Meskipun ia tahu Allera hanya bergurau, tetap saja dirinya merasa jengah. Membuat wajahnya merah merona.

"Nier!?" Kedua mata Allera mengerung ketika membuka pintu dan mendapati ruang kamar yang kosong. Kepanikan dengan cepat menyeruak di wajahnya. Panggilnya lagi, "Nier ... Nier ... Nier ...."

Rallia serta Rigel ikut memindai seisi kamar, tetapi tidak ditemukan sosok yang dicari di sudut mana pun.

"Dia, melarikan diri?" Rigel menatap Allera.

Allera tidak menjawab, justru malah menunduk dalam. Langkahnya lebar bergegas menuju pintu. Namun, Rigel menghentikan, lengannya dicekal.

"Aku ingin mencari, Nier! Apa kau ingin menghalangiku?" Allera melayangkan tatapan setajam mata pedang. Suaranya pun tak kalah menyeramkan, mendesis halus, terdengar galak dan menantang.

Dalam satu kali hempasan bertenaga, Allera berhasil melepaskan tangannya dari cekalan Rigel. Sejurus kemudian ia pun berlalu meninggalkan ruangan.

Menghela napas, Rigel menatap Rallia sembari berkata, "Tunggulah di sini! Jangan ke mana-mana!"

"Iya!" Rallia mengangguk patuh. Meskipun Rigel tidak mengatakan hendak pergi ke mana, Rallia memiliki firasat kalau pria itu hendak mencari Nereid. Entah kenapa kecemasan mendadak timbul memenuhi hatinya. "R-rigel, kau tidak akan menyakiti Tuan Nereid, 'kan?"

Rigel yang sudah di ambang pintu menghentikan langkah, tetapi tidak menoleh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman sinis. "Tetaplah di sini, aku lekas kembali!"

"B-baik." Rallia menatap nanar punggung Rigel yang menjauh dan lalu hilang di belokan. Hatinya merisau, bertanya-tanya apa ia sudah salah bicara. Apakah firasatnya keliru atau jangan-jangan ucapannya telah membuat Rigel marah.

Semakin dipikirkan, Rallia semakin merasa gelisah.

____________

Nereid berjalan tertatih-tatih di antara orang-orang yang lalu-lalang di jalan. Sesekali tubuhnya oleng dan seperti hendak ambruk. Jadi, untuk mempertahankan keseimbangan ia harus berpegangan pada sesuatu, apa pun yang ada di dekatnya.

Tempat itu sangat asing bagi Nereid, sebab sudah lama dirinya tidak berada di keramaian. Hari-harinya banyak dihabiskan di dalam sel yang gelap, dingin, dan sepi. Keramaian saat ini membuatnya sangat depresi serta kebingungan.

"Hai, Nak! Apa kau baik-baik saja?" Seorang bapak tua menepuk pelan pundak Nereid sembari menatap penuh perhatian sekaligus heran.

"Eh?"

Nereid terlonjak, hingga mundur sampai beberapa langkah. Hampir saja tubuhnya terjerembap ke tanah bila tidak buru-buru perpegangan pada dinding sebuah ruko. Bola matanya bergetar ketakutan, menatap si bapak tua yang memandang cemas.

Tanpa mengucap apa-apa, Nereid bergegas menjauh dengan terhuyung-huyung. Menyeret kedua kakinya menuju sebuah gang yang sepi. Di sana, ia menjatuhkan tubuh pada dinding, duduk lunglai sembari terengah.

Nereid meremas bagian dadanya yang terasa sakit dan pengap. Beberapa kilasan lewat di benaknya; sebuah bayangan berkabut di mana Nereid kecil menangis histeris di sebuah ruangan. Ada juga bayangan Nereid kecil tengah dipaksa meminum darah segar. Lalu, bayangan berganti lagi pada sebuah peristiwa di mana Nereid remaja menyerang seorang kakek tua.

"Di sini kau rupanya, Saman!"

Debaran jantung Nereid mendadak berhenti sesaat, kemudian berdetak lagi dengan kecepatan tidak normal, berdentum keras seperti ingin melompat keluar. Kedua matanya terbeliak lebar. Perlahan, ia mengangkat kepala untuk menatap orang yang tengah berjalan mendekat ke arahnya.

Nereid mengenali orang itu, Rigel.

Panik, dengan susah payah Nereid bangkit berdiri. Mundur perlahan seiring dengan langkah Rigel yang maju mendekat. Namun, Rigel mendadak menerjang dan melayangkan sebuah tonjokan kasar di perutnya. Nereid tidak memiliki kuasa apa-apa untuk menghindar apalagi menangkis. Seketika itu juga darah menghambur keluar dari mulutnya. Tubuhnya jatuh berguling ke sisi kiri, meringkuk tanpa daya.

Walaupun begitu, Nereid bersikeras bangun. Namun, sekali lagi Rigel menyerang, menendang sisi kiri rahangnya, hingga membuat ia tersungkur untuk yang kedua kalinya. Nereid terbatuk lirih, punggungnya berguncang lemah.

"K-kenapa? K-kenapa kau ...  membenciku? Bukankah ... kita tidak ... saling mengenal?" Nereid masih tidak menyerah untuk bangkit, meski hanya bisa sedikit mengangkat tubuh yang ditopang dengan lengan. Menatap lurus secara langsung, meski terlihat sayu.

"Cih!" Rigel meludahi wajah Nereid.  Ia benar-benar tidak suka ditatap oleh Nereid, menjijikkan. Berjongkok dengan satu kaki, Rigel mencengkeram wajah Nereid dan menariknya. "Kenapa? Kau bertanya kenapa, huh? Orang tuaku, adikku, teman-temanku, mereka semua mati oleh keluargamu! Kau ingatlah itu!"

"Aku ...." Nereid membiarkan ucapannya mengambang. Sekali lagi, bayangan saat dirinya menyerang seorang kakek tua melintas di benaknya. Seketika itu pula kelopak matanya merunduk, roman wajahnya berubah menggelap.

"Kenapa? Kenapa kau diam saja? Apa sudah menyadari kenapa makhluk sepertimu tidak pantas hidup di dunia ini?" Rigel menghempaskan cengkeramannya pada wajah Nereid lalu berdiri. Memandangi makhluk yang meringkuk tanpa daya itu dengan penuh dendam dan kebencian.

Rigel menggertakkan gigi kuat-kuat, menahan dorongan hasrat membunuh yang bergejolak. Ingin rasanya ia mencabik-cabik dan mengeluarkan jantung Nereid untuk kemudian bisa diinjak-injak hingga hancur lebur.

Namun, teringat bagaimana wajah cemas Allera, kemarahan Altair, juga pesan dari Rallia. Memaksa Rigel untuk menahan dorongan hasrat membunuhnya. Meskipun begitu, tetap butuh beberapa saat agar bisa merapikan kembali emosinya. Berpikir waras dan tidak bertindak gegabah.

Mengesah, Rigel menciptakan rantai dari auranya. Rantai itu kemudian menjulur, bergerak melilit tubuh Nereid.

Suara rintihan halus mengalir dari mulut Nereid saat lilitan rantai yang mengikat tubuhnya mengencang. Kedua matanya memejam erat.

Rigel menganggap bahwa ia sama sekali tidak melihat penderitaan yang dialami Nereid atas tindakannya. Menutup mata bahwa makhluk yang kini merintih tanpa daya itu hanyalah seorang remaja yang lebih muda darinya. Ia tak mau peduli.

Dengan kasar, Rigel menggenggam rantai yang melilit tubuh Nereid kemudian melompat pergi.

___________

Di penginapan, Altair baru kembali dari mencari kereta. Namun, roman wajahnya langsung diliputi keterkejutan saat mendapati Rallia-lah yang berada di dalam kamar. Sedangkan Nereid justru tidak ada di sudut mana pun.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Altair menyapu seluruh ruangan dengan matanya, memastikan sekali lagi dan hasilnya tetap sama. Nereid tidak bisa ditemukan di sudut mana pun. "Dan di mana Nier?"

"Itu ...." Rallia tampak gugup dan kesulitan menjelaskan cerita yang sebenarnya pada Altair. "Saat kami kemari, Tuan Nereid sepertinya ... melarikan diri."

"Eh?" kejut Altair. Air mukanya langsung berubah keras, seperti orang yang sedang marah. Entah marah kepada siapa.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Altair langsung bergegas meninggalkan ruangan. Namun, baru sampai di halaman penginapan langkahnya sudah terhenti. Sebab, Rigel datang sembari menjinjing tubuh Nereid layaknya menjinjing seekor anjing.

"Ini, makhluk yang ingin kau cari, bukan?" Dengan enteng Rigel melempar tubuh Nereid ke hadapan Altair.

"Kau!" Altair menatap Rigel dengan berang. Tangannya gatal ingin menghajar si pria pirang itu. Namun, mengecek kondisi Nereid lebih didahulukannya. Altair berjongkok dan membawa Nereid ke pangkuannya. Tangannya menyentuh rantai yang melilit tubuh Nereid dan dalam sekejap rantai itu pun langsung berubah menjadi cahaya dan menghilang.

"Nier ...." Altair mengamati Nereid lekat-lekat. Atensinya tertuju pada darah yang masih segar di sekitaran mulut Nereid. Suara geretak gigi Altair sampai terdengar, rahangnya terkatup, wajahnya pun kian keras membesi.

Menurunkan Nereid dari pangkuannya dengan hati-hati, ia kemudian bangkit berdiri. Sorot matanya nyalang memandang lurus ke depan. Amarahnya terhadap Rigel sudah tidak terbendung lagi.

Altair sudah bersiap-siap akan menerjang, tetapi tertahan karena Nereid memegangi sebelah kakinya. Walaupun pada dasarnya cekalan itu sangatlah lemah dan tidak berarti apa-apa. Altair bisa saja melepaskannya dengan mudah dalam satu kali hempasan. Namun, sifat lembut Altair membuatnya tidak melakukan hal yang demikian.

Nereid tidak mengatakan apa-apa, bahkan kedua matanya hanya membuka sedikit.

Melihat hal itu, emosi Altair pun melunak, meski kemarahannya belum memudar sama sekali. Namun, niatnya membuat urusan dengan Rigel pun menjadi urung. Altair lebih memilih berlalu sembari membawa Nereid.

Rigel mengendurkan kembali kesiapannya, sebab orang yang ingin menyerangnya sudah pergi. Pandangannya kemudian membeku pada seorang gadis yang menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik pilar. Rallia, gadis kurus itu tengah menatapnya. Kekecewaan bercampur kesedihan tampak bercampur di mata si gadis. Membuat perasaan Rigel mendadak menjadi tidak tenang, risau tak menentu.

Saat Rigel hendak menghampiri, Rallia sudah lebih dulu berlari mengikuti Altair. Sontak, langkah Rigel pun terhenti.

Orang-orang yang sempat berkerumun menyaksikan keributan kecil itu pun membubarkan diri masing-masing.

Bersambung ....