Bertemu Aaron Costel

Soca

Sekembalinya Allera, Altair langsung mendiskusikan ulang bagaimana baiknya menyikapi kondisi Nereid. Menunda perjalanan ke Rohellio sampai kondisi Nereid membaik sepertinya perlu dikaji ulang. Karena setelah dipikirkan matang-matang, mungkin akan lebih baik bila Nereid cepat-cepat sampai di pondok Aaron.

Selain bisa mendapat perawatan yang lebih optimal, di sana Nereid pun bisa diawasi lebih ketat. Jadi, kejadian seperti tadi pagi tidak akan terulang lagi.

"Jika memang menurutmu itu lebih baik, aku setuju." Allera memeras handuk kecil dan kemudian membersihkan wajah Nereid dengan sangat telaten.

Menghela napas, Allera melirik Rallia yang duduk murung sembari tercenung di pojokkan. "Rallia, apa kau yakin ingin ikut bersama kami?"

"Eh! I-iya, jika dibolehkan." Rallia mengangguk.

"Baiklah! Nanti kau duduk di dalam kereta saja, sembari menjaga Nier bersamaku." Allera telah selesai membersihkan wajah Nereid yang tengah terlelap karena diberi obat tidur oleh Altair.

"Baik! Terima kasih banyak." Rallia mengangkat wajah, kedua matanya yang besar memancarkan binar terima kasih yang tak terkira.

Bagaimanapun, Rallia merasa kecewa pada perbuatan Rigel yang memperlakukan Nereid dengan tidak baik, bahkan cenderung semena-mena. Rallia menanggapi sikap Rigel yang melempar tubuh tidak berdaya ke hadapan Altair sebagai suatu tindakan yang angkuh dan tidak manusiawi. Rallia tidak pernah sekali pun menganggap Nereid sebagai Saman. Baginya, Nereid tidak lebih dari manusia biasa yang bernasib tidak beruntung.

Hati Rallia terluka. Dirinya tidak bisa lagi melakukan perjalanan dengan orang yang demikian arogan dan tidak memiliki empati terhadap sesama. Jiwa polos Rallia tidak akan pernah menerima alasan apa pun terhadap suatu tindakan penganiayaan. Pandangannya menganggap kalau Rigel sama dengan Paliv, suka menindas orang yang lemah.

Sekali lagi, bagi Rallia, Nereid bukanlah Saman, melainkan hanya seorang remaja rapuh yang bernasib buruk.

Lewat tengah hari sedikit, Altair pun akhirnya bertolak ke Rohellio.

Kereta yang dikendarai Altair melaju melewati jalan setapak. Hutan rimbun menghias di sepanjang jalan. Rumput-rumput hijau tumbuh subur berjebai. Daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan, acak-acakan.

Sepanjang mata memandang hanya ada pohon-pohon berdaun rindang berbagai warna; hijau, kekuningan, jingga, dan kemerahan.

Lewat beberapa lama, di kaki gunung yang tinggi menjulang, menghampar rumah-rumah sederhana. Banyak kebun sayur-sayuran terpetak, banyak juga kandang-kandang terbuka berisi hewan ternak. Suasana hijau khas pegunungan sangat memikat mata.

Kereta terus melaju melewati pedesaan dan memasuki hutan. Di tengah hutan, terdapat sebuah lahan datar yang luas. Di lahan itu berdiri rumah kokoh serta besar meski kesemuanya terbuat dari kayu, dikelilingi pondok-pondok kecil.

Di lahan yang luas itu juga terdapat beberapa alat pelatihan seperti: boneka jerami, boneka putar sebagai target pukulan, objek panahan, karung berisi pasir yang tergantung, balok kayu tinggi untuk menjaga keseimbangan, jaring panjatan, dan lain-lain.

Selain itu, ada pula tombak-tombak berjejer rapi, berderet pedang kayu dan pedang sungguhan, haladie, nunchaku, golok, busur dengan anak-anak panahnya, dan beragam senjata tajam lainnya.

Altair menghentikan laju kereta di samping pagar kayu yang ditumbuhi tanaman merambat. Saat itu, hari sudah sore. Mega di dirgantara berwarna kejinggaan dan cahaya teduh sang surya memayungi seluruh area.

Di dalam kereta, Nereid masih terlelap di pangkuan Allera, efek obat tidurnya belum hilang. Wajah pucatnya tampak damai dan tenang.

Altair turun dari kuda menuju kereta, Allera membatu menempatkan Nereid ke punggung Altair.

"Ayo!" ajak Allera pada Rallia.

Altair berjalan lebih dulu, diikuti Allera dan Rallia. Namun, belum sampai di muka, pintu sudah lebih dulu dibuka dari dalam. Menampilkan sesosok kakek tua yang keriput. Seluruh rambutnya telah memutih, begitu pula alis dan janggut panjangnya. Jubah putih lusuhnya berkibar-kibar tertiup angin.

"Guru."

"Kakek."

"Altair, Allera," si kakek tua yang tak lain Aaron berjalan menghampiri. Tatapannya membeku menatap kepala yang terantuk di pundak Altair. Meski wajah Nereid tidak kelihatan, tetapi tampaknya Aaron tetap mengenalinya. Bergetar, tangan Aaron mengusap pelan puncak kepala murid yang sudah lama dirindukannya. Gumamnya lirih, "Nier ...."

Aaron merapatkan tubuhnya pada Altair, lengannya memeluk punggung Nereid. Matanya yang dipenuhi kerinduan tampak berkaca-kaca. Wajah tuanya diliputi keharuan, kasih sayang yang tulus dan besar memancar dari air mukanya.

"Nier, kau benar-benar telah membuat gurumu yang tua renta ini kelabakan mencarimu ke mana-mana." Aaron melepaskan rangkulannya dan menyibakkan poni yang menutupi wajah Nereid.

"Guru, Nier ... sebenarnya dia tengah terluka."

"Terluka?" Aaron mengangkat wajahnya, menatap Altair.

Altair mengangguk pelan.

"Baiklah! Kalau begitu cepat bawa masuk!" Aaron membawa tubuh tuanya memasuki rumah.

Altair lekas mengikuti, disusul Allera dan Rallia.

________

Nereid dibaringkan di ranjang dan masih dalam keadaan terlelap. Aaron duduk di sisi ranjang sembari mengusapi kepala Nereid dengan penuh kasih sayang. Cahaya pelita dari lampu minyak menyinari ruangan. Sebab, petang sudah akan datang menjelang.

Altair duduk di kursi di dekat Aaron, menceritakan segala hal yang diketahui maupun yang dialaminya. Termasuk pertemuannya dengan Rigel serta bagaimana si pemuda pirang itu memperlakukan Nereid. Kekesalan dalam intonasi bicaranya tampak kentara saat menyinggung perihal Rigel.

"Jadi, maksudmu Deildra memiliki seorang murid?" Aaron menghentikan gerakan tangannya, kepalanya menoleh pada Altair. Seakan masih belum dapat mempercayai ucapan muridnya itu.

Altair menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan. "Bahkan, dia bilang ingin menemui, Guru. Namun, lantaran perangainya tidak aku sukai, maka kami meninggalkannya waktu di Lilia."

"Hmmm," Aaron menggumam tidak jelas. Mata tuanya seperti tengah mengawang entah ke mana. Aaron sangat mengenal bagaimana pria yang bernama Deildra, bayangannya akan betapa hancurnya Hungost terbaik itu masih sangat jelas dan nyata.

'Deil, apakah luka di hatimu masih berdarah hingga hari ini?' Aaron berbisik di dalam hatinya sendiri.

Di ruangan lain, Allera baru saja mengantar Rallia menuju kamar yang akan ditempatinya. Usai melakukan perjalanan singkat bersama, keduanya menjadi lebih cepat akrab. Meskipun Rallia lebih menjadi pendiam dan pendengar yang baik.

"Beristirahatlah dengan nyaman, Rallia. Bila membutuhkan apa-apa panggil saja aku." Allera menyalakan lampu-lampu minyak yang tergantung di tiang setinggi satu setengah kaki.

"Terima kasih banyak."

"Istirahatlah." Allera menutup pintu dari luar.

Rallia menghela napas panjang, rasa lelah membuatnya sedikit mengantuk. Ada sedikit rasa bersalah mengganjal di hatinya karena sudah meninggalkan Rigel. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, pemuda itulah yang sudah membantunya ke luar dari neraka Paliv.

Menghempaskan tubuhnya ke ranjang, Rallia meringkuk dan membiarkan kedua kakinya menggantung menyentuh lantai. Matanya nanar memandangi tas ransel yang hanya berjarak beberapa hasta di depannya.

Letih, Rallia menutup mata kemudian tertidur.

___________

Satu malam di Rohellio terlewati dengan damai, pagi pun kembali datang menjelang. Angin alobar berembus melewati celah dedaunan. Burung-burung bersiul menyambut keluarnya sang surya dari peraduan.

Aaron masih senantiasa terjaga, duduk di kursi tua sembari tercenung. Pikirannya tidak dapat relaks dari semalam. Berkali-kali napasnya dihela panjang, seakan ada suatu beban pikiran yang mengganduli hati serta pikirannya.

Matanya lalu beralih, menatap Nereid yang masih terlelap di balik hangatnya selimut tebal dari kain beledu. Rambut panjang Nereid bergerak-gerak halus tertiup angin yang masuk melalui celah ventilasi. Tampak begitu damai dan tenang.

Aaron tersenyum, tangannya bergerak mengelus puncak kepala Nereid.

Namun, gerakan halus Aaron tampaknya justru malah membuat lelap Nereid terganggu. Nereid mengeluarkan suara keluhan halus, kepalanya bergerak pelan. Lalu, dengan sekonyong-konyong memekik keras. Kedua matanya terbeliak lebar, kedua tangannya mencengkeram selimut erat-erat, napasnya kian menderu.

"Nier, tenanglah. Tenanglah ...." Aaron bangkit berdiri, memegangi kedua bahu Nereid supaya lebih tenang.

Nereid merasa tidak asing pada suara di sampingnya. Dengan kaku kedua irisnya bergulir, kepalanya menoleh. Tatapannya pun kemudian membeku, begitu pula tubuhnya yang jadi membatu. Nereid terus saja mematung seperti arca. Sampai lewat beberapa lama barulah ia beringsut bangun.

Kelopak mata Nereid menelungkup seiring dengan kepalanya yang menunduk dalam. Tidak berani beradu tatap dengan orang di depannya.

"G-guru ...."

"Murid nakal! Kau sudah membuat gurumu merasa cemas begitu lama." Aaron membawa tubuh lunglai Nereid ke dalam dekapannya, menepuk-nepuk pelan punggungnya.

Nereid tetap membisu sampai beberapa waktu, ia tampak sedikit lebih tenang di dalam dekapan Aaron. Serangkum kerinduan tercetak di bola matanya yang kelam, tetapi sejurus kemudian menghilang, berganti menjadi suatu sesal yang dalam.

"Guru, aku ... aku ... maafkan aku. W-waktu itu ...——"

"Berhentilah mengingatnya, Nier. Kejadian itu sudah sangat lama. Kau lihat, bukankah aku baik-baik saja sekarang?"

Nereid tidak menjawab. Namun, embusan napasnya sudah lebih relaks saat ini, tidak lagi menderu-deru.

Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka, menampilkan sosok Allera dalam balutan busana putih tebal. Rambut hitamnya diikat tunggal. Mengenakan celana katun lembut berwarna hitam, di pinggangnya dilingkarkan sabuk kain dengan gantungan manik-manik mini menjuntai.

Begitu datang, Allera langsung menggelendot manja pada kakeknya. Punggungnya diadukan dengan punggung sang kakek. Berdekap tangan. "Kakek, begitu ada Nier kau langsung tidak sayang lagi padaku."

"Aih, kau ini apa-apaan, Alle? Berat, nanti punggung kakek encok bagaimana?" Aaron menggerak-gerakkan sikutnya ke belakang.

"Tuhkan! Kakek tidak sayang aku lagi. Huhuhu." Allera malah semakin menggodai kakeknya. Ia memutar tubuhnya lalu merunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Nereid hingga begitu dekat. "Eh, Nier, kau sudah sadar! Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik, bukan?"

Bukannya menjawab, Nereid malah termangu-mangu, tak merespons.

"Haish," Aaron memalangkan telapak tangannya yang terbuka secara vertikal di depan wajah Allera yang hanya berjarak beberapa inci saja dari wajah Nereid. "Alle, kakek tidak mengajarimu menjadi wanita yang genit dan suka menggoda."

Allera menegakan lagi tubuhnya, cemberut. "Kakek jangan memelototiku begitu. Aku hanya menyapa Nier saja, tidak menggodanya. Sentimentalmu terlalu berlebihan, Kakek."

"Aih, cucuku setelah besar ternyata malah menjadi wanita jahat dan suka menggoda." Aaron menenggelamkan kepala Nereid di dada kurusnya. Tindakannya seperti tengah melindungi Nereid dari makhluk jahat yang membahayakan.

"Kakek!" Allera memekik nyaring. Bibirnya monyong-monyong.

Suara tawa Aaron pun menguar di seisi ruangan. Mimik wajahnya tampak begitu puas telah mampu mengerjai balik cucu kesayangannya. Mengabaikan Allera yang merengut-rengut sembari cemberut.

Suasana pun menjadi hangat dan riang.

__________

Kehangatan mentari juga menyinari Lilia. Rigel duduk merenung seorang diri di sebuah kedai yang masih sepi. Hanya ada dirinya dan ibu-ibu paruh baya pemilik kedai. Rigel menyesap teh hangat yang digenggamnya menggunakan dua tangan.

Rigel tidak menyesali tindakannya pada Nereid, sama sekali tidak. Namun, ia menyesalkan mengapa semua orang menjadi menganggapnya sebagai manusia yang tidak berperasaan. Jika bukan untuk memburu Saman, lalu untuk apa keberadaan Hungost?

Saman sudah begitu banyak menebarkan teror dan berita kematian. Tidak segan-segan membantai satu desa ataupun satu ras yang tidak disukainya. Kehadirannya menjadi momok menakutkan serta mimpi buruk. Cerita kelam menghiasi setiap kisah Saman di buku-buku sejarah yang tebal. Lalu, kenapa kini mendadak muncul seorang Saman yang begitu banyak mendapat kasih sayang?

Rigel mengembuskan napasnya kasar, menciptakan uap tipis di udara.

Di saat Rigel begitu tenggelam dalam pelbagai pikirannya, seseorang menepuk pelan pundaknya. Orang itu memakai mantel tebal juga panjang, ada bulu-bulu panjang dan halus di bagian leher mantel serta pergelangan tangan. Rambutnya lurus, gondrong sebahu, warnanya gelap. Bola matanya begitu hitam menyerupai batu obsidian. Alisnya tebal dan kulitnya putih. Tatapan matanya tajam selaras dengan wajahnya yang tegas. Meski sudah berumur, tetapi jejak ketampanan orang ini masih begitu jelas dan terang.

"Guru." Rigel menyoja takzim pada orang yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Aku sudah membaca pesanmu ... perihal Saman itu." Deildra menautkan jari-jemarinya, menjadikannya sebagai tumpuan dagu.

Rigel tidak berkata apa-apa, hanya membuat sebuah anggukan kecil. Memang benar, kemarin siang dirinya mengirimi sang guru sebuah surat yang diantarkan seekor elang. Walaupun sebenarnya bisa melalui telepati, tetapi Rigel merasa tak enak hati. Namun, siapa sangka, malah gurunya tiba-tiba datang sendiri.

"Apa ada informasi yang kau ketahui tentang Saman ini?"

Deildra mengangkat tangannya ke udara, memanggil si pemilik kedai, lalu memesan segelas teh hangat. Si pemilik kedai tampak tersipu-sipu, wajahnya merona hebat. Matanya tak henti-henti memandangi wajah Deildra dengan seribu kekaguman memancar dari maniknya.

"Dia sepertinya melarikan diri dari Aaron, lalu entah bagaimana menjadi budak petarung Paliv Kliros. Aku sudah dua kali mencoba membunuhnya, tetapi entah mengapa dia mampu lolos dengan cedera yang sudah demikian parah."

Deildra menerima teh hangatnya dan menunggu si pemilik kedai menjauh. Baru mulai bicara, "Seharusnya kau gorok tenggorokannya! Kenapa, apa nuranimu masih ada, eh?"

"Aku sudah melakukannya."

Deildra menghentikan sesapannya, kelopak matanya terbuka, menampilkan sebuah tatapan yang menusuk. "Apa kau yakin?"

"Ya! Guru, aku tidak akan mengingkari kesanggupanku padamu waktu itu."

Kedua mata Deildra memicing sejenak, saat membuka kembali sorot matanya kian menjadi lebih dan lebih tajam. Desisnya, "Menarik." Deildra menggenggam gelas di tangannya sedemikian kuat, hingga membuat gelas dari tanah liat itu hancur bersepai ke lantai.

"Guru?!" Rigel hampir saja terlonjak, suaranya agak memekik tetapi tertahan.

"Tidak apa-apa. Cepat bayar, sekalian dengan ganti rugi gelasnya. Kita lekas pergi."

"Baik."

Rigel lekas membayar dua teh hangat berikut ganti rugi gelas yang pecah. Si wanita penjaga kedai hanya mampu melongo termangu-mangu menyaksikan kepergian Deildra yang tak lama kemudian disusul oleh Rigel.

Deildra membeli sebuah mafela tebal dan panjang berwarna hitam polos dari pedagang di pinggiran jalan. Mafela itu dililitkannya di leher, menutupi sebagai wajahnya, hidung mancungnya tidak lagi kelihatan.

Rigel yang menyusul dengan setengah berlari-lari kecil sudah berhasil mengejar. Berjalan beriringan. "Guru, kita mau ke mana?"

Deildra mengerling tajam ke kejauhan sembari berkata dingin, "Kediaman guruku."

Rigel tiba-tiba saja merasakan hawa dingin menerpa tubuhnya, hingga membuatnya menggigil kedinginan. Oleh karena itu, buru-buru dieratkan mantel tebalnya. Kedua telapak tangannya dimasukkan ke dalam saku.

Sejak dulu, Rigel selalu bisa melihat dengan jelas kebencian yang bersarang di mata Deildra terhadap Saman. Hal itulah yang memotivasinya setiap hari, menguatkannya dari ajaran serta pelatihan keras Deildra.

Namun, hari ini Rigel mendapati kebencian di mata Deildra telah meningkat, bertambah kuat dan kuat. Ayah yang kehilangan putranya itu bahkan mampu menempuh perjalanan jauh dari Gunung Karai menuju Lilia hanya dalam waktu semalam.

Sungguh, benar-benar sebuah kebencian yang menakutkan.

Luka di hatinya, masih berdarah hingga hari ini.

__________

Bersambung ....