Soca
•
•
Hari mulai menjelang siang, di rumah Aaron, semua orang berkumpul di meja makan, termasuk Nereid. Rallia juga ada di sana, dalam balutan gaun hijau muda yang kalem. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya kelihatan lebih bersih dan segar.
Cahaya sang surya mengintip dari celah-celah ventilasi, membentuk corong-corong keemasan di dalam ruangan. Kehangatannya pun menyebar ke setiap sudut, menerangi seisi rumah. Desau angin sesekali mengibarkan tirai di sisi beranda.
"Emm, Kakek." Rallia menusuk-nusuk daging di piringnya dengan garpu. "Sebenarnya tenggorokan Nier masih terluka. Jadi, kemungkinan Nier belum bisa makan."
Menghela napas, Aaron memandangi Nereid yang menundukkan kepalanya. "Aku tahu, aku tahu. Semalam sudah kuperiksa, lukanya memang benar-benar parah. Namun, aku tahu Nier akan segera sembuh dalam waktu cepat. Hahaha."
"Kalau kau sudah tahu kenapa masih membawa Nier ke meja makan, huh?" Allera seperti tengah mencemooh, tetapi juga bercanda di saat bersamaan.
Aaron mengusap puncak kepala Nier beberapa kali sembari menampilkan senyumannya yang hangat. "Aku hanya ingin Nier ingat, bahwa di sini, dia memiliki keluarga yang selalu mencemaskan dan menunggu kepulangannya bila pergi."
Nereid semakin menundukkan kepalanya saat mendengar ucapan Aaron. Ada serangkum perasaan sesal lewat di hatinya, diikuti perasaan bersalah yang kian dalam, seperti jurang gelap dan tak berdasar. Pekat dan dingin.
"Benar! Lagi pula, terus-terusan berada di kamar itu tidak sehat. Nier harus keluar dan menghirup udara segar, supaya lekas sehat lagi." Altair tersenyum lebar, seakan merasa senang ikut-ikutan memojokkan Allera.
Aaron tertawa penuh kemenangan karena Altair membelanya, sedangkan Allera hanya mampu mendelik tajam. Memakan daging di piringnya dengan rakus dan mengunyahnya kasar, wajahnya kelihatan sepet.
Meskipun begitu, semua orang di ruangan pun tahu kalau Allera tidak benar-benar ngambek atau mengambil hati gurauan barusan. Oleh karena itu, mereka semua mengakhirinya dengan tawa ringan atau hanya sekadar tersenyum simpul, terkecuali Nereid yang masih setia dengan mimik kelamnya.
"Oh, ya, Guru. Omong-omong di mana para siswa? Aku tidak melihatnya sejak kemarin," tanya Altair.
"Aku memulangkan mereka semua."
"Dipulangkan? Kenapa?"
Menghela napas, mata tua Aaron kembali memandangi Nereid. "Saat kau mengirim pesan bahwa Nier sudah ditemukan dan akan segera dibawa pulang. Aku memutuskan untuk memulangkan semua siswa. Nier tidak suka keramaian, aku takut nanti kehadiran siswa-siswa itu mengganggu ketenangannya."
"Hahaha. Betul juga," Altair menimpali, "lagian, dulu Guru menerima siswa-siswa itu juga karena tidak ingin terus memikirkan Nier yang minggat."
"Kau benar. Meskipun demikian, pengetahuan yang mereka terima sudah cukup. Aku memang tidak bermaksud memberikan pengajaran lebih terhadap mereka."
"Ya, pun dari awal Guru sudah membeberkan kalau hanya akan mengajari pengetahuan dasar-dasar saja. Jadi, bukanlah hal kejam memulangkan mereka semua bila sudah saatnya."
"Yap! Itu benar!" Allera mengangguk kuat, sembari mengacungkan sepotong daging di garpunya pada Altair. "Setelah Paman Deildra, kau-lah orang satu-satunya yang menerima semua pengajaran dan pengetahuan Kakek."
"Hahaha, kalian teruskanlah makannya. Aku akan mengajak Nier jalan-jalan ke luar. Udara pagi menjelang agak siang bagus untuk proses pemulihannya." Aaron bangkit dari kursi, memapah bangun Nereid, kemudian menuntunnya melangkah menuju halaman rumah.
Nereid menurut tanpa memprotes, berjalan senada tuntunan Aaron. Emosinya sudah lebih stabil, berada di dalam rengkuhan Aaron membuatnya merasa lebih tenang dan aman. Ada suatu kehangatan tersendiri yang menyinari hatinya nan beku.
Halaman hijau kekuningan membentang. Di sekeliling pondok, pohon-pohon besar bertengger gagah dan kokoh. Sepanjang mata memandang, hanya ada pancarona daun-daun rindang. Sebagian banyak daun berwarna kuning kemerahan, baik yang masih menempel pada dahan maupun yang menghampar di tanah bak permadani.
Hawa pegunungan selalu sejuk, tetapi karena sebentar lagi memasuki musim dingin. Jadi, udara agak sedikit menusuk, meski cahaya sang surya bersinar terang benderang, menyusup masuk melewati celah daun.
Sejak pertama kali menemukan Nereid dalam kondisi memprihatinkan, Aaron sudah memutuskan untuk memeliharanya sebagai cucu. Mengasihi serta menyayangi selayaknya cucu kandung. Kasih sayang itu pun kemudian terpupuk dengan baik dan tumbuh subur, menjelma menjadi sebuah cinta──cinta seorang kakek pada cucunya.
Meskipun demikian, Allera tidak memperkenankan Aaron memiliki cucu lain selain dirinya. Jadi, dalam keseharian Nereid tetap berstatus sebagai murid.
Aaron membenarkan mafela yang melilit leher Nereid, membawanya ke kursi kayu di bawah pohon besar berdaun rindang, di tengah padang rumput. Hanya sedikit cahaya matahari yang mampu menembus lebatnya daun, sehingga di sana cukup teduh. "Kita duduk di sini saja."
Namun, dilihatnya napas Nereid agak sedikit tersengal. Jadi, buru-buru Aaron menarik tubuh Nereid agar tidur di pangkuannya. "Sini, sini, tiduran, kau pasti lelah. Hahaha. Kau masih terluka, tapi aku malah membawamu jalan-jalan."
Menghirup udara dalam-dalam, Aaron memendarkan pandangannya. Sejuk dan damai, hutan membuat emosinya menjadi tenang.
"Nier ...," Aaron memanggil pelan.
Menjawab panggilan gurunya, Nereid hanya menggumam lirih.
Aaron merenung sebentar, sebenarnya ia ingin menanyakan hal apa saja yang sudah dialami Nereid. Kenapa bisa sampai menjadi budak petarung Paliv atau bagaimana kehidupannya selama ini. Namun, Aaron takut hal itu justru akan membuat Nereid tertekan.
"Oh, tidak, tidak! Bukan apa-apa. Aku hanya ingin bertanya, bagaimana menurutmu pagi ini? Cerah, bukan?" Aaron tertawa ringan.
"Iya."
"Kau akan segera pulih, Nier!" Aaron menghirup udara jernih di sekitarnya. Mengusap-usap rambut Nereid yang bergerak-gerak tertiup angin.
Nereid tidak mengatakan apa-apa lagi. Meski sebenarnya baru bangun tidur, tetapi udara begitu sejuk. Ditambah, ketenangan yang sudah lama sekali tidak diperolehnya kini bisa dinikmati. Hal itu membuat Nereid kembali merasakan kantuk, kelopak matanya seolah memberat, kemudian menutup perlahan.
Senyuman di wajah Aaron terpeta, ia tidak mencegah Nereid tertidur kembali. Maklum jika muridnya itu masih dalam kondisi lelah dan membutuhkan istirahat yang banyak. Saat seseorang dalam kondisi sakit, bawaannya memang selalu ingin tertidur. Hal ini terjadi karena dorongan tubuh yang meminta rehat lebih untuk proses pemulihan.
__________
Sementara itu, di ruang makan, obrolan-obrolan remeh masih mengalir ringan dan riang. Tawa-tawa kecil mengalun rendah. Bahasan-bahasan para anak muda yang saling menggoda satu sama lain. Mengejek berbalut canda yang kemudian tak diambil hati sama sekali.
"Oh, ya, Rallia. Menurutku si pirang itu sebenarnya lumayan juga, loh. Apa kau yakin ingin mencampakkannya begitu saja?" Allera menaik-naikkan kedua alisnya sembari menatapi Rallia dengan tatapan kenes.
"Apa maksudmu?" Rallia menunduk rendah, malu-malu. "Kami tidak memiliki hubungan seperti itu."
"Tidak memiliki hubungan? Benarkah? Ah! Kau bahkan tidak mau mengakuinya sekarang. Kalian berdua pasti benar-benar sedang bertengkar hebat." Allera pura-pura memasang mimik terkejut, mulutnya yang dibuka lebar ditutupi telapak tangan.
"Alle!" Rallia menjadi semakin jengah, rona merah di wajahnya sudah menyebar. Walaupun tahu kalau Allera hanya menggodanya, tetap saja Rallia merasa malu.
"Jangan dengarkan Mak Lambe ini, Ra. Dia memang begitu orangnya, senang kalau melihat orang lain menderita." Altair ikut menimbrungi sembari mengelap sisa-sisa makanan di bibirnya dengan tisu. Makannya sudah selesai. "Lagian, keputusan mencampakkan si pirang itu sangat tepat. Kau tidak akan mungkin bahagia hidup bersama pria angkuh serta tidak memiliki empati seperti itu."
"Eh! Kalian berdua sudah salah paham. Sudah kukatakan, kami tidak memiliki hubungan semacam itu." Rallia kembali menegaskan sekali lagi. Kedua tangannya dikibas-kibaskan di depan, senyuman frustrasi menghiasi sudut bibirnya.
"Halah! Pria sepertimu juga tidak cocok dijadikan pasangan, terlalu datar dan tidak romantis. Mana ada perempuan bisa bahagia bila hidup bersama pria yang lebih mencintai buku-buku tua ketimbang perempuan." Rallia mencibirkan bibirnya.
"Ai! Jadi, selama ini kau diam-diam menginginkan perhatianku, eh?" Altair menelengkan kepalanya, bola matanya yang sebiru segara menatap nakal Allera.
Namun, siapa sangka kalau sekonyong-konyong Allera malah menjambak rambut Altair dengan kedua tangan sekuat-kuatnya. Sontak Altair langsung mengeluarkan suara keluhan nyaring, memegangi kedua lengan Allera agar jambakannya tidak terlalu kuat.
"Aduh! Aduh! Hei, sakit!" Altair berusaha menarik kepalanya, tetapi tidak bisa sembarangan. Sebab, salah-salah rambutnya bisa rontok semua. "Alle, hayo lepaskan!"
"Tidak mau! Lagian, suruh siapa bicara omong kosong seperti tadi, huh!"
"Baik-baik! Aku salah, aku minta maaf. Lepaskan, ya, Alle. Nanti kepalaku botak, gimana?"
"Biar saja botak, supaya kau tidak bertingkah sok ganteng lagi."
"Baiklah, aku tidak akan kegantengan lagi. Lepaskan, ya," Altair terus membujuk. Di dalam hati tentu saja merutuk, meski tidak benar-benar diambil hati. Kapan pula dirinya bertingkah sok kegantengan? Namun, mengalah adalah cara tercepat untuk segera lepas dari masalah. Jadi, Altair memilih berpasrah ria saja menerima kesalahan yang sejatinya tidak diperbuatnya.
"Baiklah!" Allera melepaskan jambakannya kemudian tersenyum riang tanpa dosa.
Altair menghela napasnya, plong. Membenarkan kembali tatanan rambutnya yang menjadi acak-acakan dengan jari-jemarinya. Walau sempat menampilkan roman masam, tetapi saat Allera mencolek-colek pipinya dengan ujung jari tetap saja Altair merasa geli dan tersenyum.
Rallia yang sedari memperhatikan pun hanya mampu meringis ngilu, kemudian ikut tersenyum lega.
Begitulah ketiga muda-mudi itu menjalani kegiatan mereka. Dipenuhi pertengkaran-pertengkaran remeh, perseteruan konyol, juga keributan kecil yang berujung pada tawa riuh rendah. Suasana rumah yang hangat juga riang.
_________
Lewat tengah hari sedikit, cahaya menyengat sang surya mulai meneduh. Ditambah, cuaca menuju sore hari ini sedikit mendung. Langit tampak menampilkan wajahnya yang bermuram durja, awan-awan kelam berarak menuju ke selatan.
Desau angin menjadi lebih kencang, merontokkan daun-daun yang sudah lunglai dan tua. Hawa dingin pun meningkat tajam. Mungkin, sebentar lagi dirgantara akan menaburkan air matanya, menyirami sang bentala raya.
Sejak pagi tadi, Aaron masih tak beranjak dari kursi di halaman. Altair sempat datang untuk menawarkan diri membawa Nereid ke kamarnya. Namun, Aaron menolak dengan alasan udara di luar lebih baik daripada di ruangan.
Jadi, Aaron membiarkan saja Nereid terlelap di pangkuannya dengan nyaman. Akan tetapi, lantaran sekarang hawa berubah menjadi sangat dingin dan kemungkinan hujan akan segera turun. Mau tidak mau Aaron harus memindahkan Nereid.
Aaron mengangkat tubuh Nereid dengan sangat pelan dan hati-hati. Namun, tetap saja Nereid terjaga karena gerakan yang demikian halus itu. Kali ini, Nereid bangun dengan lebih tenang dan tidak lagi dibarengi pekikan histeris. Hanya kelihatan sedikit linglung khas orang bangun tidur.
"Eh, Nier. Kau sudah bangun." Aaron menyibakkan anak-anak rambut yang menutupi wajah Nereid. Katanya lagi lembut, "Aku takut hujan akan lekas turun, kau lanjutkan istirahatmu di kamar saja, ya."
Nereid mengangguk kecil, setuju.
Aaron memegangi kedua bahu Nereid untuk membantu remaja itu berdiri dan menjaganya agar tidak terjatuh. Bagaimanapun, sampai saat ini kondisi Nereid masih belum bisa dikatakan baik. Cenderung masih lemah, lenguh lesu.
Namun, saat Aaron sudah hendak melangkah, matanya menangkap dua sosok tengah berjalan ke arahnya, masing-masing menuntun kuda. Lamat-lamat, tampang kedua orang itu pun semakin jelas. Aaron bahkan cukup kenal dengan salah satunya, Deildra Gallera, murid terbaik yang pernah dimilikinya.
"Deil?" Aaron menggumam. Memandangi orang yang berdiri beberapa langkah di depannya dengan sorot setengah tidak percaya. Seakan apa yang dilihatnya ada ilusi dan tidak nyata.
"Salam," Deildra memberi jeda, "Guru."
Meskipun Deildra menyapa Aaron, tetapi tatapannya justru tertuju pada Nereid. Sekalipun tersenyum ramah sembari menyoja. Namun, kilatan dalam sorot mata Deildra jelas-jelas tidak ramah serta mengandung suatu kebencian yang kuat.
Nereid merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Namun, di saat ia menurunkan pandangannya untuk menghindari tatapan Delidra. Tiba-tiba ada serangkum angin menerpa wajahnya, diikuti hantaman ringan di dadanya. Seketika itu juga hawa dingin di tubuhnya berganti menjadi hawa panas.
Dengan tiba-tiba Deildra menghantamkan telapak tangannya yang dibuka lebar-lebar pada dada Nereid. Daya pukulnya memang tidak terlalu keras, tetapi tenaga serta aura yang diselipkan dalam hantaman itu tidaklah sederhana, tidak pula ringan.
Seketika, seluruh badan Nereid menjadi tegang. Dadanya serasa dibakar, seolah ada banyak bara api menyala di dalam sana. Panas, benar-benar sensasi terbakar yang luar biasa. Nereid terbatuk rendah, memuntahkan darah kehitaman. Sebagian dari darah kental itu jatuh ke punggung tangan serta pergelangan tangan Deildra yang dilapisi kain berbulu, sebagian lagi menggantung di mulutnya.
Aaron hanya mampu tergemap menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan singkat. Terlebih, tidak diduga-duga sama sekali.
Tubuh Nereid merosot jatuh. Berlutut sampai beberapa saat, sebelum akhirnya benar-benar tumbang, tersungkur ke sisi kiri. Satu tangannya mengepal erat, sedang satu tangan lainnya mencengkeram daun-daun dan rerumputan. Suara keluhan mengalun rendah dari mulutnya yang kadang terbuka, kadang terkatup tegang.
"Nier ...." Aaron masih terkesima dengan apa yang baru saja terjadi, hingga beberapa waktu barulah tersadar sepenuhnya. Aaron cepat-cepat merunduk, membawa Nereid ke pangkuannya. Ditatapnya remaja itu dengan nanar dan sedih.
Nereid tak merespons panggilan Aaron, tubuhnya masih menegang, kedua matanya terbeliak tak mengedip. Keluhan dari mulutnya masih mengalir lirih. Setelah beberapa saat, barulah tubuhnya melemas perlahan-lahan, seiring dengan matanya yang mulai menutup.
"Nier ...," Aaron memanggil sekali lagi dan tetap tidak mendapat respons. Tangannya meraba-raba sisi wajah Nereid.
"Guru! Sudahlah! Kau tidak perlu senestapa itu, makhluk di pangkuanmu hanyalah setan kecil. Jangan tertipu dengan wajah lugunya." Deildra berjalan ke belakang Aaron dan menepuk bahu pria tua itu.
"Pergilah ... Deil. Pergilah ...," suara lirih Aaron diembus angin kemudian hilang.
"Guru."
"Pergilah."
Deildra mengembuskan napasnya kasar. Dengan langkah lebar, tanpa mengucap sepatah kata lagi pun dirinya melangkah pergi. Menuju salah satu pondok kayu yang mengelilingi rumah Aaron. Rigel cepat-cepat mengikuti langkah gurunya.
Aaron memangku tubuh Nereid dan lekas membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, tetes-tetes air pun mulai berjatuhan dari langit. Hari menggelap meski sebenarnya baru menjelang sore hari. Angin pun berembus kencang menerbangkan daun-daun.
Altair baru selesai membantu dua gadis di rumah, memotongkan kayu untuk mereka. Alisnya sedikit mengernyit saat dilihatnya Aaron berjalan tergesa-gesa sembari memangku Nereid. Penasaran, Altair lekas mengikuti.
Aaron menidurkan Nereid, sekaligus mengendurkan lilitan mafela di leher muridnya itu. Telapak tangannya diletakkan di dada Nereid, mencoba mengalirkan hawa dingin ke dalam sana. Samar, cahaya kebiruan memendar dari jari-jemarinya.
Tak lama, Aaron mengangkat kembali tangannya. Napasnya sedikit berderu dan berat. Keringat mengembun di keningnya yang keriput. Aaron menjatuhkan tubuhnya pada kursi, wajahnya kelihatan lelah.
"Apa yang terjadi?" setelah dirasa sudah cukup tenang, Altair memberanikan diri untuk bertanya.
Mengesah, Aaron menggeser kursi agar lebih dekat ke ranjang. "Dia, orang itu, datang kemari dan melukai Nier."
"Dia? Siapa?"
"Deildra Gallera."
"Eh?" Altair terkejut sampai membeku. Deildra, orang yang selalu ditangisi gurunya. Sudah lama sekali Altair ingin bertemu dengan Hungost terbaik itu. Namun, siapa sangka, saat orang itu benar-benar dekat dengannya, justru kemarahanlah yang membuncah di hatinya.
Altair sudah akan beranjak, tetapi suara Aaron menghentikannya.
"Jangan membuat urusan dengannya, Alta," cegah Aaron.
Mulanya, Altair ingin membantah. Namun, ketika dilihatnya air muka Aaron yang muram, tak ayal niatnya pun urung. Bagaimanapun, Altair sangat tahu bahwa kasih yang dimiliki Aaron kepada Deildra tidak lebih sedikit ketimbang kasihnya pada Nereid atau pada dirinya.
Menghela napas lirih, Altair berjalan menghampiri Aaron kemudian duduk berlutut di sisi sang guru. Altair menjatuhkan kepalanya di paha Aaron, sedangkan matanya memandang nanar Nereid yang bergeming.
"Maafkan aku, Guru. Kemarahan hampir membuatku mengambil langkah yang salah."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kau hanya peduli pada Nier, rekanmu." Aaron mengelus pelan kepala Altair. Napasnya dihela panjang, seakan ada suatu beban berat yang mengganduli jiwanya. "Hanya saja, orang itu, dia pun telah sangat menderita selama ini. Aku sama sekali tidak bisa menyalahkan tindakannya. Tidak bisa."
Mata tua Aaron menyebrang melewati tirai hujan di sisi beranda, pikirannya melayang terbang ke masa silam. Masa di mana dirinya belum setua saat ini. Di ruang yang gelap, dirinya yang sepuluh tahun lebih muda tengah memeluk seorang ayah yang tengah menangis tersedu karena kehilangan istri dan putranya.
Hujan turun dengan derasnya, seolah langit begitu sedih sehingga terus-terusan menumpahkan air matanya ke jagat raya. Suara ratap pilunya bergemericik sedu. Sesekali teriakannya menggelegar diiringi cahaya kuning berkelebatan.
Bersambung ....