Soca
•
•
Hujan deras terus mengguyur dan baru mereda saat menjelang petang. Sisa-sisa rintikannya masih terdengar, menetes dari atas genteng. Dirgantara kelam tanpa bintang ataupun bulan malam ini. Gelap dan dingin.
Rigel datang membawa dua gelas minuman di nampan kayu. Asap mengepul dari atas gelas, menguarkan aroma harum juga hangat. Deildra yang tengah tercenung pun langsung merasa tertarik dengan aroma harum itu.
"Dari mana kau mendapatkan semua ini?" Deildra mengambil gelas dan menggenggamnya dengan kedua tangan, mencuri kehangatan dari gelas keramik tersebut. Pandangannya tertuju pada Rigel, sementara hidungnya mengendus-endus aroma wejha──minuman hangat dengan bahan baku rempah jahe merah dan gula aren, biasa dicampur dengan kayu manis atau serai.
"Dari sana," Rigel melirik ke arah dapur. "Sepertinya pondok ini belum lama kosong. Di dapur masih banyak bahan-bahan makanan dan lainnya."
"Hmmm," Deildra menggumam rendah. Menyesap wejha sembari menikmati aromanya yang harum. Di saat dingin seperti ini, menikmati minuman hangat memang sangat cocok.
"Guru." Rigel meletakkan gelas yang isinya tinggal separuh ke meja. Roman wajahnya berubah serius.
Deildra melirik Rigel dengan ekor matanya, acuh tak acuh. "Ada apa?"
"Emm, apa tidak apa-apa kita tetap di sini?"
"Memangnya kenapa?" Deildra menyeruput lagi wejha di tangannya.
Ragu-ragu Rigel berkata, "Apa tidak khawatir Aaron akan murka jika kita tetap di sini? Guru sudah melukai muridnya sedemikian rupa."
"Lalu?" Deildra mendengus sinis, "kau lupa kalau aku juga muridnya."
"Itu ...." Rigel tidak lagi mampu berkata-kata. Menunduk dalam, merasa menyesal telah lancang mempertanyakan keputusan sang guru untuk tetap tinggal di sana.
Deildra menarik kursi ke belakang dengan dorongan kaki kanannya, kemudian menumpangkan kedua kakinya pada sisi atas meja. Sembari memainkan gelas di tangan kanannya, Deildra memandangi pelita yang memendar dari lampu minyak.
"Orang tua itu, kau tidak usah mengkhawatirkannya. Dia tidak akan mungkin berani memprotes tindakanku. Di antara semua orang yang mengenalku, maka orang tua itulah yang paling mengerti akan penderitaan yang kualami. Jika ada orang yang paling berduka atas nasib nestapa yang menimpaku, maka orang tua itu pulalah orangnya." Ada banyak emosi dalam sorot mata Deildra saat melontarkan kata-katanya. Mulai dari kepedihan, rasa hormat, kehilangan, dan juga kebencian nan pekat.
Sorot mata Deildra yang dingin tertuju pada punggung tangan kanannya. Walau darah Nereid sudah tidak menempel lagi di kulitnya. Namun, indra penciuman Deildra masih mampu mencium bau darah Saman di sana. Mungkin, lantaran masih ada darah Nereid yang menempel di bulu-bulu kain pergelangan tangannya.
"Maaf atas kelancanganku, Guru." Rigel menunduk penuh sesal.
"Haha. Tidak apa-apa, lupakan saja! Aku mengerti kecemasan yang kau pikirkan." Deildra tersenyum tulus kali ini. Menenangkan muridnya dari sesal dan rasa bersalah. Namun, sejurus kemudian roman wajahnya kembali berubah dingin. Tangan kanannya mengepal erat dan rahangnya terkatup keras. "Saman cilik itu, aku tidak mengerti kenapa Aaron bisa sangat peduli terhadapnya?"
Rigel tidak mengatakan apa-apa, hanya menampilkan senyuman lega karena sang guru tidak mengambil hati kelancangannya. Sedangkan atas pertanyaan Deildra, Rigel tidak memiliki jawabannya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa Aaron bisa sangat peduli terhadap Nereid──seorang Saman.
Sesaat, kedua orang itu pun terjebak dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran dan asumsi masing-masing. Meratap nasib buruk yang menimpa mereka, juga coba memikirkan situasi saat ini. Barangkali, ada suatu informasi terlewat yang bisa menuntun mereka pada sebuah jawaban pasti.
Di saat keheningan meraja, suara ketukan di pintu tiba-tiba terdengar. Sontak mendapat atensi kedua pria di dalam pondok. Rigel sudah akan beranjak pergi membuka pintu, tetapi Deildra menahan dengan isyarat tangannya.
"Biar aku saja." Deildra bangkit kemudian berjalan menuju pintu, menarik selotnya.
"Paman!" pekik orang di luar pintu.
Begitu pintu dibuka, Allera langsung memekau riang. Melompat memeluk erat tubuh tegap Deildra. Tentu saja sikap Allera yang seperti itu mengejutkan Deildra. Saking terkejutnya, hampir saja Deildra limbung.
"Aih, Alle. Kau membuat Paman jantungan saja."
"Paman, apa kau tidak merindukanku?" Allera mengangkat wajah, tetapi tidak melepaskan pelukannya.
"Tentu saja Paman merindukanmu. Sudah lama sekali, sekarang kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik." Deildra mengusap puncak kepala gadis remaja yang masih memeluknya itu.
"Benarkah?" Allera melepaskan pelukannya.
"Benar." Deildra menutup pintu. "Ayo, masuk! Angin di luar sangat dingin."
Allera mengikuti langkah Deildra menuju ruang tengah sembari melepas mantelnya yang sedikit basah terkena gerimis. Setiap pondok memang terdiri dari tiga bagian, ruang depan, tengah, dan dapur. Tanpa kamar. Ruang depan biasanya digunakan untuk belajar, sedang ruang tengah untuk tidur. Satu pondok bisa di huni sepuluh sampai lima belas orang.
"Dari mana kau tahu Paman ada di sini?"
"Kakek memberitahuku, dia memintaku mengantarkan makanan untuk Paman. Aku memasak sendiri makanan ini, Loh." Allera berlari kecil sehingga bisa menyusul langkah lebar Deildra. Mengangkat sesuatu, dibungkus dengan kain merah gelap.
"Aromanya harum." Deildra mengambil bingkisan itu sembari tersenyum.
Rigel yang mendapati kehadiran Allera tampak terkejut. Sebenarnya, bukanlah sesuatu yang aneh bila Allera ada di sini. Sebab, toh ini kediaman Aaron sedangkan Allera adalah cucunya. Namun, hal yang membuat Rigel kaget adalah tingkah gadis itu yang terlihat begitu manja pada Deildra. Sedikit membuat geli orang yang melihatnya.
"Heh, kenapa wajahmu jelek begitu? Tidak suka ada aku di sini, huh?" Allera menatap Rigel, sepet. Suaranya menantang pongah.
"Hih!" Rigel menarik bahunya ke atas kemudian menurunkannya kembali, tak acuh.
Merasa diabaikan, Allera malah semakin merasa kesal hati. Sejak Altair menceritakan tingkah semena-mena Rigel pada Nereid. Rasa tidak sukanya pada si pemuda pirang itu pun timbul, meski pada dasarnya Allera bukan tipe orang yang suka memelihara kebencian di dalam hatinya.
"Jadi kalian berdua sudah saling mengenal?" Deildra duduk membuka bingkisan berbungkus kain berwarna gelap yang tadi diberikan Allera. Isinya adalah semangkuk paella──makanan berbahan dasar nasi putih dengan campuran kacang hijau. Di atasnya ditaburi ayam atau bebek cincang yang sudah dibumbui. Memakai bumbu rempah-rempah safron dan rosemary.
Deildra menatap bingung makanan yang hanya seporsi itu, sedangkan di sana jelas-jelas ada dua orang yang belum makan. Pandangannya lalu beralih pada Allera yang juga tengah menatapnya.
"Kami tidak sengaja berjumpa beberapa hari lalu." Allera memandangi paella di depan Deildra. "Ada apa, Paman? Kenapa tidak dimakan?"
"Kau hanya membuat satu?" Deildra meringis kecil.
"Iya. Aku buatkan itu khusus untuk Paman." Allera menampilkan senyumannya yang manis. Mendekat pada Deildra. "Cobalah, Paman! Kau tahu, selama ini aku belajar memasak dengan keras supaya bisa menjadi istri yang baik untukmu."
"Uhuk!" Rigel yang tengah meminum wejha tersedak mendengar ucapan Allera.
Berbeda dengan Rigel, Deildra jauh lebih kalem. Deildra jadi ingat pada masa kira-kira sepuluh tahun silam. Kala itu, usia Allera mungkin baru menginjak tujuh tahunan. Gadis kecil itu berusaha menghiburnya dari kedukaan. Berjanji akan menggantikan Ayira dan membuat Aludra terlahir kembali.
'Paman, jangan menangis lagi. Bagaimana kalau aku menjadi istri Paman menggantikan Bibi Ayira. Aku akan melahirkan seorang putra yang mirip dengan Aludra.'
Deildra jadi tersenyum geli mengingatnya. Saat itu, ia hanya mengangguk mengiyakan. Membiarkan si gadis kecil memeluk tubuhnya. Namun, tentu saja kala itu Deildra tidak bersungguh-sungguh menyetujui ide gila tersebut. Ia hanya menganggap ucapan Allera sebagai angin lalu, perkataan bocah yang ngelantur.
"Apa-apaan kau ini! Kenapa melihatku dengan tatapan geli begitu!" Allera memelototi Rigel, padahal Deildra juga menampilkan tampang wajah yang sama. Geli bercampur gemas.
"Bukan apa-apa! Siapa yang melihatmu, aku tidak sedang melihatmu." Rigel menatap langit-langit seolah tengah memandang sesuatu. Sementara bibirnya bekedut-kedut menahan tawa yang ingin meledak. Bagaimanapun, Rigel merasa geli terhadap pernyataan Allera yang ingin menjadi istri Deildra. Ingin rasanya ia terbahak-bahak.
Deildra sendiri tidak bisa mencegah dan tak memiliki niat menghentikan Rigel mengejek Allera dalam canda. Alih-alih menengahi kedua remaja yang mulai terlibat cekcok mulut. Deildra malah menyantap paella di hadapannya.
Namun, baru juga habis setengah porsi. Deildra menghentikan kunyahannya secara mendadak. Matanya mengerling tajam ke arah jendela. Pun dengan Rigel, mendadak menghentikan pertengkarannya. Kedua pria itu saling memandang kemudian mengangguk bersamaan.
"Ada apa?" Allera yang memang peka menyadari adanya suatu hal yang janggal.
___________
Sementara di rumah, Aaron serta Altair tengah duduk bersisian di sisi ranjang. Keduanya tampak membisu dan tidak saling berbicara satu sama lain. Mungkin, sibuk dengan pikiran juga perasaan masing-masing atau giat mendamaikan hati dari berbagai macam emosi. Sedangkan di depan mereka, Nereid masih dalam kondisi terlelap——tak sadarkan diri. Namun, baik Aaron maupun Altair mendadak saling menatap dengan roman serius.
"Biar aku yang menemui mereka, Guru tetaplah di sini menjaga Nier." Altair bangkit berdiri, sorot matanya nyalang menatap ke arah luar beranda.
"Berhati-hatilah! Jumlah mereka tidak sedikit," Aaron mengingatkan.
"Mohon restu Guru." Altair membungkuk takzim.
"Pergilah." Aaron mengusap kepala Altair sekali.
Begitu restu sang guru sudah diterima, Altair lekas bertolak. Di tangan kanannya muncul guratan cahaya menyerupai sebuah busur. Lewat beberapa lama, garis-garis cahaya itu pun berubah menjadi busur sungguhan.
Altair melangkah menuju sisi rumah, kemudian melompat naik ke atas genteng. Matanya awas memandangi hamparan hutan yang gelap. Sebab, malam ini dirgantara polos tanpa bulan maupun bintang.
Dari arah hutan yang gulita, muncul segerombolan orang. Jumlah mereka lumayan banyak, kurang lebih lima puluh orang. Dipimpin oleh seorang pemuda berambut gelap dan pria berambut gimbal bertubuh besar. Pemuda berambut gelap serta pria berambut gimbal berkuda beriringan di depan, sedangkan di belakang mereka berderet pria-pria berseragam hitam masing-masing dua orang menunggangi satu ekor kuda.
Altair sudah menciptakan anak panah pada busurnya. Namun, saat hampir dilesatkan, matanya mendapati dua orang keluar dari pondok. Altair mengenali satu dari dua orang itu, yaitu Rigel. Sedangkan satunya lagi Altair menduga bahwa itu sang Hungost terbaik murid kebanggaan Aaron, yakni Deildra Gallera. Merenung sejenak, Altair pun urung melesatkan serangannya.
Rigel dan Deildra berdiri menyambut, roman keduanya tampak tenang. Tak sedikit pun kelihatan gentar, meski jumlah orang di depan jelas-jelas banyak. Rigel mengenali si pemuda berambut gelap yang memimpin di depan, Pillax Kliros──putra Paliv Kliros.
"Ai, Pirang? Kita bertemu lagi." Pillax menghentikan laju kuda, kemudian turun.
Orang-orang berseragam hitam di belakang Pillax ikut berhenti dan turun dari kuda mereka. Begitu juga dengan pria berambut gimbal yang memimpin bersama Pillax. Pria berambut gimbal ini adalah orang yang sebelumnya mendapat tugas menangkap Rigel. Namun, berhenti di tengah jalan untuk melaporkan suatu berita penting yang ditemukannya saat pengejaran.
Berita yang ingin disampaikan si pria berambut gimbal kala itu adalah bahwa dirinya menemukan darah Nereid. Paliv langsung merespons berita tersebut dengan antusias dan langsung mengirim orang untuk membawa Nereid kembali. Namun, yang kembali justru kekalahan memalukan. Paliv menjadi murka karena mendapat dua kekecewaan di waktu berdekatan. Pertama karena orang-orangnya gagal menangkap Rigel. Kedua, orang-orangnya juga gagal membawa kembali Nereid.
"Lihatlah, Bagad." Pillax melirik pria berambut gimbal di sebelahnya, lalu beralih lagi pada Rigel. "Betapa sempitnya dunia ini."
Rigel masih membisu, tak merespons perkataan Pillax. Sikapnya penuh kewaspadaan, sorot matanya tajam lurus ke depan.
"Kau mengenal mereka?" Deildra melirik Rigel.
"Hmm, pemuda itu putra Paliv Kliros. Aku pernah bertemu dengannya sekali, saat hendak melawan Nereid di arena Pattidie X-ros."
"Nereid?"
"Ya, seperti yang kuceritakan kemarin. Aku bertemu Saman itu di arena milik Paliv," jelas Rigel dengan suara rendah pula. Jadi, Pillax serta yang lainnya tidak akan mampu mendengar apa yang diucapkannya.
"Hmm," Deildra hanya menggumam sebagai respons. Tatapannya terfokus pada Pillax, nanar dan juga gelap. Deildra telah lama mendengar selentingan bahwa Pillax sebenarnya bukan putra kandung Paliv, melainkan hanya putra angkat.
Dulu, Deildra bahkan sempat menyelidiki dan berharap besar kalau Pillax adalah putranya yang hilang, Aludra. Namun, usia Pillax tidak cocok dengan usia Aludra, selisih kurang lebih setengah dasawarsa (lima tahuan) lebih tua. Walau sudah mendapat kebenarannya, tetapi saat menatap rupa Pillax yang cenderung serupa dengan Aludra──memiliki mata serta rambut gelap──hati Deildra mencelus juga.
"Hai! Hai! Kenapa kalian berdua malah berbisik-bisik, huh?" Pillax menyeringai angkuh, tingkahnya pongah.
"Jadi, urusan apa kiranya yang membawa kalian semua sampai ke sini?" Deildra bertanya kalem.
"Hmm, sebenarnya aku datang ke sini untuk membawa kembali peliharaan Ayahku," Pillax menjeda sebentar, "namun, siapa sangka jika dunia ini begini sempit. Niat hati ingin membawa pulang peliharaan, tetapi malah juga bertemu hewan buruan."
"Cih!" Rigel mendengus dingin. Dirinya paham benar siapa yang dimaksud dengan "hewan buruan" itu.
"Jadi begitu." Deildra mangut-mangut, sikapnya masih santai seolah-olah tengah berbicara dengan anak kecil saja. "Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali kau membawa pulang kembali peliharaan ayahmu. Namun, aku keberatan bila kau ingin menangkap hewan buruanmu itu. Bagaimana?"
Sebelumnya, Deildra sudah mendengar cerita Rigel perihal pengalamannya yang sempat diburu oleh orang-orang Paliv. Jadi, Deildra paham dengan kiasan yang dipakai Pillax. Hewan peliharaan merajuk pada Nereid yang merupakan budak Paliv sebelumnya. Sedangkan hewan buruan merajuk pada Rigel yang sedang menjadi buruan Paliv untuk alasan tertentu.
Altair yang mendengar perkataan Deildra menjadi gusar. Ditariknya tali busur, sebuah anak panah pun tercipta. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Altair lesatkan anak panah, mengarah tepat ke leher Pillax. Desau angin bersiuran mengiri anak panah yang melesat.
Bersambung ....