Sang roh pertama, dia adalah seseorang yang sangat misterius itulah yang ada di pikiran White. Tetapi untuk membuat dirinya melupakan fakta bahwa dialah sang roh pertama itu merupakan hal yang luar biasa.
Dirinya yang bahkan sama sekali tidak bisa melupakan setiap sejarah yang ada di dunia ini.
Sementara itu di kerajaan roh sudah tiba sesosok wanita yang memakai pakaian gothic hitam dengan topi di kepalanya.
Dialah White yang tanpa ada orang sadari ia sudah berada tepat di atas benteng ibukota kerajaan sambil dirinya memandangi pohon suci yang sangat besar itu.
Tujuan dia bukanlah untuk melakukan kerusakan atau perang dengan kerajaan Roh itu karena eksistensinya yang kuat itu bisa membuat satu ibukota itu lenyap dan dia yakin sebelum tuannya bangkit maka hal seperti itu tidak akan dibiarkan.
Di dalam pikiran White hanyalah ada tuannya seorang, sang Cahaya yang merupakan satu-satunya orang yang sampai sekarang tidak tenggelam dalam jurang kekosongan seperti pendahulunya.
Untuk sekarang ini dia hanya akan berdiam diri di sini dan menunggu sampai semuanya dimulai.
Terutama saat ini tuannya sekarang tengah berusaha mencegah pecahnya perang diantara dua kekaisaran yang sangat besar.
Tetapi tidak ada sama sekali kekhawatiran yang terlihat di wajahnya karena di sisi tuannya sudah ada dirinya yang lain.
White sangat yakin kalau semuanya akan baik-baik saja karena dia juga percaya kepada dirinya sendiri kalau dia bisa melindungi tuannya dan juga disana sudah ada Lilia.
Lilia, seseorang yang merupakan sebuah eksistensi yang tidak ada duanya di dunia ini.
Tidak ada yang salah dengan menyebutnya orang yang paling dekat dengan sang Cahaya karena memang itulah dia.
Tiba-tiba Rose dan Austin yang merasakan sebuah hawa keberadaan yang tidak biasa langsung mendekat ke arah dimana White berada.
Mereka pun melihat sesosok wanita bertopeng dengan pakaian Gothicnya tengah berdiri di atas dinding kota.
Tentu White sudah menyadari itu sejak awal dia tidak menyembunyikan hawa keberadaannya.
Baik Rose dan Austin langsung mendekati White dan menyiapkan senjata mereka masing-masing.
"Siapa kau!", teriak Austin dengan lantang.
Hanya satu yang ia tahu kalau orang yang berada di hadapannya itu bukan orang biasa. Bahkan hawa keberadaannya saja pun sudah cukup untuk membuat Austin merasakan bahaya.
"Jawab!", paksa Austin.
White tetap diam, bahkan dirinya tidak menghiraukan kata-kata yang dikeluarkan Austin. White hanya diam dan memandangi pohon suci yang terlihat cantik itu.
"Sepertinya kau sangat tertarik dengan pohon suci kami, apa yang kau mau perbuat?!"
White tetap diam dan tidak menanggapi sama sekali.
Tentu Austin dan Rose tidak akan membiarkan hal ini.
Pohon suci adalah pohon yang sangat disakralkan oleh para rakyat kerajaan Livia dan dikatakan hanya menggoresnya saja bisa berarti kematian.
"Pohon Suci, pohon yang melambangkan betapa agungnya sang Cahaya
Pohon yang telah menjadi awal dari segalanya."
Rose merasakan perasaan yang tidak enak tentang ini.
"Kakak..."
Austin merasakan kegelisahan adiknya itu.
"Tenanglah Rose, jika ada sesuatu yang buruk aku akan melindungimu!"
White pun berkata:
"Sampai saatnya telah tiba, dunia akan jatuh di dalam keputusasaan
Mereka yang melawan dan mereka yang tidak
Mereka yang lemah dan mereka yang kuat
Mereka sang pembawa kegelapan maupun mereka sang pembawa harapan...
Tiada yang berbeda dari mereka semua."
White melihat ke arah Austin dan Rose.
"Lalu bagaimana dengan kalian berdua?"
Baik Austin maupun Rose sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan wanita yang ada di hadapan mereka itu.
"Hah? Apa yang kau katakan?!"
"Tuanku yang agung mempercayai dia sang pembawa ikatan
Menghubungkan semuanya layaknya pembawa harapan
Sampai saatnya tiba mereka akan mengetahui namanya..."
Mata White bersinar merah menyala.
Austin pun terkejut, dia merasakan bahaya dan langsung melepaskan anak panahnya ke arah wanita itu.
Wanita itu dengan mudahnya menepis anak panah itu hanya dengan tangannya yang dibalut dengan sarung tangan putih layaknya sedang menepis sebuah bulu.
"Di-dia menepisnya?"
Austin memang sudah mengira kalau serangan biasa tidak akan bisa melukainya tetapi dia tidak menyangka kalau wanita itu hanya menepis anak panahnya dengan tangan kosong layaknya menepis sebuah bulu.
"Kau...sebenarnya siapa kau?"
"Diriku adalah sebuah keberadaan yang seharusnya tidak boleh diketahui
Hanya demi dia yang agung diriku berkata
Hanya demi dia yang agung diriku bergerak."
Wanita itu terus mengatakan hal-hal yang Austin sama sekali tidak pahami apa maksudnya.
Rose pun tiba-tiba mengalami sakit kepala yang amat sangat.
Rose tidak ingat kalau dirinya pernah melakukan sesuatu tetapi entah kenapa rasa sakit kepada yang dialaminya saat ini benar-benar menyakitkan.
"Ka...kak..."
"ROSE!"
Austin segera mendatangi Rose.
Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Rose, bahkan wanita yang ada di depannya itu juga dari tadi terlihat diam saja dan sama sekali tidak mengeluarkan serangan apapun.
Rose melihat ke arah wanita itu dan dia melihatnya, melihat sesosok wujud seorang dewi di dalam diri wanita itu.
Rose bahkan sekarang seakan dibawa ke sebuah tempat di atas awan yang sangat cantik dan di depannya sudah berdiri seorang dewi berukuran raksasa yang cantik jelita.
Daripada berdiri, itu lebih cocok kalau dia disebut dengan melayang karena kakinya sama sekali tidak menapak apapun.
Seorang dewi yang sangat cantik jelita yang keanggunannya tidak bisa ia jelaskan dalam kata-kata.
Penampilannya sangat berbeda dengan penampilan wanita itu saat ini. sosok dewi itu benar-benar terlihat cerah layaknya sang matahari sendiri dan dia menyadari satu hal, wanita itu benar-benar mirip seperti White.
Aksesoris yang terbuat dari emas yang menghiasi baik tangan dan kakinya, bahkan kalungnya juga terbuat dari emas yang berkilauan. Dia bahkan memakai Hagoromo yang nampak transparan dan juga tiara.
"Cantik..."
Walau dilihat dari manapun pemandangan ini sangatlah cantik nan indah. Rose bahkan tidak sanggup berkata menjelaskan pemandangan yang telah ia lihat itu.
Seorang dewi yang tengah berdiri di depannya itu pun berkata:
"Benar sekali, kami adalah perwujudan dari betapa agungnya tuan kami
Wahai orang yang diberkati
Orang yang menginjakkan kaki di duniaku
Diriku memperingatkan dikau untuk segera bangun dari dunia dimana engkau terlelap."
"Ba-bangun?", ucap Rose yang sama sekali tidak mengerti maksud perkataan dari White.
"Ketika Fajar menjelang
Ketika sang surya mulai menampakkan dirinya
Disitu engkau akan memenuhi kewajibanmu."
"Tunggu, apa yang kamu maksud? Tidak maksudku, apa kamu White?"
"Diriku adalah sang rembulan
Rembulan yang bersinar menerangi malam
Bersama-sama dengan sang surya mendampingi dunia ini
Hanya itu pengetahuan yang bisa diriku berikan."
"Rembulan..."
"Tugas diriku disini telah berakhir. Wahai sang roh yang bijak, sekarang keputusan akan ada di tanganmu. Diriku sudah mengabulkan permintaanmu dan sekarang diriku akan kembali ke bayang-bayang kembali."
Di dalam benak Rose masih ada beribu-ribu pertanyaan kepada White yang nampak seperti seorang dewi itu.
Dia memang nampak berbeda dengan White karena biasanya White selalu mengepang rambutnya tetapi sang Dewi itu menggerai lepas rambut cantiknya.
Dunia yang cantik itu pun perlahan meredup dan Rose berusaha melawannya. Dia masih mempunyai pertanyaan yang ia ingin tanyakan kepada sang Dewi yang ada di depannya itu, banyak sekali pertanyaan tetapi apa daya dia tidak kuat.
Rose pun kembali ke kesadarannya dan sekarang dia tengah digendong kakaknya yang nampak sangat khawatir dengan keadaannya sampai-sampai keringat dingin mengucur dari kulitnya.
"Ka...kak..."
"Rose, kau sudah bangun?!"
Memang tidak bisa dihindari kalau Austin sampai berkeringat dingin karena dia tiba-tiba melihat adik kecilnya itu kehilangan kesadaran apalagi dia juga sangat takut dengan apa yang akan terjadi jika ayahnya sampai mengetahuinya.
Austin akhirnya bisa bernapas lega karena adiknya tidak apa-apa tetapi tetap saja kejadian hari ini, tentang wanita itu.
Wanita itu memang nampak misterius tetapi dia tidak merasakan kehadiran kejahatan di dalam wanita asing itu.
Tetapi pesan terakhir wanita itu sangatlah mencurigakan. Dia meninggalkan suatu benda yang dia suruh untuk diberikan kepada Rose saat Austin menghendaki.
Benda yang bagaimanapun dia melihatnya itu adalah benda yang mencurigakan.
Sekarang kita kembali lagi ke Edward dan yang lainnya.
Edward sekarang tengah berada di kamar tempat Undine berada.
Setelah membahas rencana kedepannya, Edward yang tidak mempunyai rencana pun memutuskan untuk menghabiskan waktu menjenguk Undine.
Bersama dia sekarang ada Lorelei dan Kon yang bergantian menjaga Mermaid yang belum tersadar itu.
Saat berada di sana Edward terus memandangi Undine.
Tentu Lorelei yang menyadari itu merasakan perasaan seperti cemburu karena saat ini di sebuah kamar Edward sedang bersama dirinya, wanita tercantik di dunia dan Edward malah sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Dia memang mendengar kalau salah satu kekuatan Edward adalah menetralkan sihir dan membalikannya tetapi setidaknya sebagai laki-laki normal maka Lorelei akan terlihat seperti harta yang siapapun ingin mendapatkannya.
"Hei kamu, bukankah tidak sopan jika sudah ada orang yang secantik diriku ini tapi kamu malah memperhatikan wanita lain?"
Dalam keadaan normal, Sihir pemikat Lorelei itu bisa membuat pria bahkan wanita akan tergila-gila dengannya.
Ya, bahkan Kon yang ada di sana juga menjauh setidaknya lima meter dari Lorelei akibat trauma pada saat itu ketika dirinya bisa tergila-gila dengan Lorelei.
Dia tidak mau jika dirinya sampai terkena sihir pemikat itu untuk yang kedua kalinya dan tergila-gila lagi kepada Lorelei.
"Ada apa tiba-tiba bilang seperti itu? Apa kau cemburu dengan adikmu sendiri?"
"Masalah itu adalah itu, ini adalah ini. kamu adalah calonku, tentu aku berhak cemburu!"
"Ca-calon?!"
Setelah sekian lama akhirnya Kon teringat kalau Edward telah menjanjikan sesuatu jika Lorelei menang melawan salah satu dari Lily dan yang lainnya.
Meskipun kemenangan Lorelei itu entah kenapa Kon sendiri tidak bisa menganggapnya kemenangan karena dia hanya menang dalam pertandingan adu suit setelah putus asa melawan Lily dalam adu renang.
Tentu pada awalnya dia merasa sangat percaya diri karena di antara para gadis, Lily lah yang terlihat tidak mempunyai kekuatan yang spesial tetapi...
Sudah sangat terlambat ketika Lorelei menyadari kalau Lily adalah yang terkuat di antara mereka semua terutama kalau masalah fisik danh teringat wajah terkejut Lorelei yang seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Kon pun memikirkan sesuatu, itu adalah apakah dia juga bisa melakukan hal yang sama dengan alasan yang sama juga.
"Menjadi ca-calon..."
Memikirkannya saja sudah membuat wajah Kon memerah.
Edward yang menyadari tingkah Kon merasakan sesuatu. Edward menyadari kalau Kon sekarang tengah memikirkan untuk menjadi calon juga.
"Oi kau, kau tidak memikirkan hal yang aneh-aneh kan?"
"Ti-tidak juga, ini tidak seperti aku memikirkan untuk menjadi calon juga, tidak kaya begitu!", teriak Kon dengan wajahnya yang masih memerah.
"Benarkah? Boleh aku pegang kata-katamu?"
Kon pun terdiam dan memalingkan pandangannya.
"Bodoh.", Kon bergumam.
"Oi aku mendengarmu lho."
Lorelei pun berdiri di depan Edward menghalangi pandangannya terhadap Kon.
"Pokoknya jangan pandangi adikku terus!"
Tiba-tiba terdengar suara gadis yang terdengar asing.
"Kakak...pelit!"
Lorelei terkejut mendengar suara itu, suara yang sudah sangat lama sekali tidak dia dengar.
"U-Undine?!"
"Kalau masalah pria yang ditakdirkan, kita sama kan? bahkan selama ini kakak sama sekali tidak menyadarinya dan melupakan dia."
"I-itu..."
Lorelei mengalihkan pandangannya.
"Ahahahaha..."
Memang apa yang dikatakan Undine itu adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh Lorelei.
"(sigh) Aku padahal sudah berusaha mengingatkan kakak dari sana saat pertama kali bertemu dengan dia. Kakak ini memang benar-benar tidak bisa diharapkan."
Undine memegang tangan Lorelei dan tersenyum.
"Untuk kakak yang tidak bisa diharapkan itu, ada aku yang setia mendampingi kakak."
Lorelei tertegun mendengak ucapan adiknya itu.
Di dalam hidupnya yang banyak cobaan ini dia sadar kalau dia masih mempunyai sesuatu yang berharga yaitu Undine, sang adik yang sangat berharga.
Melihat sepasang saudari yang saling akrab itu Edward juga merasakan kebahagiaan mereka. Dia pun tersenyum dan berjalan keluar kamar.
"Hey kamu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku hanya membiarkan sepasang saudari menikmati waktunya bersama."
"Kamu tidak gabung?", tanya Lorelei.
"Sayangnya aku tidak selembut itu untuk ikut dalam reuni yang mengharukan."
Edward pun meninggalkan kamar.
Kon yang tidak tahu apa yang mau dia lakukan disini pun mengikuti langkah Edward.
"Tu-tunggu aku juga ikut!"
Kon meninggalkan kamar itu dan menyisakan Lorelei dan Undine disana.
Tanpa ragu-ragu lagi Lorelei memeluk Undine dengan sangat erat. Air mata kebahagiaannya sampai menetes memikirkan dirinya ternyata masih mempunyai sesuatu yang sangat berharga selain teman-temannya.
"Undine...syukurlah...syukurlah..."
"Maafkan aku kakak, karena selama ini telah meninggalkan kakak dalam kesedihan itu..."
Undine membalas pelukan Lorelei.
Pada saat itu Undine sama sekali tidak bisa melakukan sesuatu. Di balik penjara kristal dia melihat kakaknya yang kesakitan menangis dalam keputusasaan.
Sebuah pemandangan yang menyedihkan bagi Undine sendiri.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain melihat dan melihat.
Tangannya bahkan tidak bisa menggapai kakak tercintanya hanya sekedar untuk memeluk dan menghiburnya dalam lara.
Tetapi dia sangat bersyukur karena kakaknya mempunyai teman yang sangat baik yang bisa menemaninya setiap saat.
Teman yang bisa dia andalkan.
Teman yang telah membuat Lorelei bisa melupakan segala kesedihannya.
Meskipun di dalam hati Undine sendiri terdapat kecemburuan ketika melihat Lorelei terlihat sangat dekat dengan mereka, tetapi dia juga merasa bahagia melihat kakaknya itu bisa tersenyum kembali.
"Aku mencintaimu, kakak..."
Mereka berdua pun menghabiskan waktu mereka bersama sementara Edward yang tadi hanya bisa ikut bahagia melihat kedua saudari itu bisa berkumpul kembali.
Bersama dengan Kon dia sekarang tengah duduk-duduk di kursi, memikirkan apapun yang terjadi kemarin.
Ya, hari ini adalah waktunya untuk merebut kembali tubuh Kon yang asli dari mereka semua dan membuat semua kegilaan ini berhenti.
Dulu Edward sama sekali tidak berpikir kalau mewujudkan perdamaian itu akan sesulit ini, tetapi memang dasar di dunia ini sangat banyak orang-orang brengsek yang memang suka membuat pertumpahan darah demi nafsu mereka sendiri.
"(sigh) Sampai kapan peristiwa ini akan terus terulang?"
Sebagai korban, tentu Kon juga mengerti apa yang tengah dirasakan Edward sekarang.
Dia sendiri selama ini sudah berjuang dengan keras menyatukan rasnya.
Mungkin ini terdengar mudah tetapi sangat tidak mudah menghadapi perbedaan di antara sesama ras manusia hewan sendiri, apalagi mimpi pria yang ada di sampingnya itu adalah menyatukan semua ras.
"Perbedaan akan selalu ada, bagaimanapun mereka juga mempunyai pikiran mereka sendiri."
"Ya, aku mengerti itu. karena itulah aku berusaha menyingkirkan orang-orang itu tetapi..."
"Walau hilang satu sekalipun, akan muncul yang baru..ya?"
"(sigh)"
"Lalu kenapa tuan Edward mau melakukan ini? aku yakin walau kita menghentikan perang sekalipun akan ada banyak orang yang muncul dan berusaha menyebabkan perpecahan?"
Edward terdiam sejenak.
"Setidaknya kita bisa menghindari jatuhnya banyak korban jiwa."
Mimpi itu bagaikan kemustahilan itu sendiri karena begitu besarnya dunia ini dan juga populasinya. Bahkan di antara manusia sekalipun akan ada banyak orang yang menentang dan berbuat kerusakan.
Meskipun Kon tahu kalau itu mustahil, entah kenapa Kon sendiri merasa aneh karena seolah-olah dia mempercayai kalau pria itu, Edward mungkin akan berhasil menggapai mimpinya.
"Tuan, aku bertanya kepadamu sekali lagi, kenapa sampai kamu rela banting tulang demi mewujudkan mimpi yang mungkin mustahil itu."
Ini semua memang tidak serta merta Edward orang yang baik jadi dia menginginkan perdamaian di dunia ini, ini adalah karena suatu hal yang sangat membekas di hatinya.
"Kau tahu kalau baik ibu dan ayahku sudah meninggal kan?"
"Ya, aku tahu itu. kalau tidak salah itu saat perang besar kedua."
Sebuah kejadian yang tidak akan pernah Edward lupakan seumur hidupnya. Kejadian penyerangan di desa tempat ia tinggal yang seharusnya aman dari garis depan tetapi...
"Sejujurnya aku melakukan semua ini karena sebuah janji kepada mereka. Janji yang mereka percayai bahkan saat sebelum mereka meninggal sekalipun mereka masih sangat mempercayai kalau suatu hari aku akan menyatukan semua ras di dunia ini."
Janji itu terasa sangat berat, apalagi sekarang mereka berdua sudah tiada dan melihat saat-saat terakhir mereka, raut wajah mereka yang sangat mempercayai Edward itu membuatnya jauh lebih berat.
"Jadi, walau aku harus mengorbankan diriku sendiri, walau aku akan menghadapi kematianku sendiri, aku tidak akan mundur karena bagiku...hidup akan menjadi lebih memalukan dan hanya akan membuatku tersiksa."
Sejujurnya Edward masih berpikir kalau dirinya saat itu yang menginginkan kematian sama sekali tidak salah. Tetapi memang takdir masih belum membiarkannya mati sehingga sekarang dia akan terus berusaha sampai waktunya sudah habis.
"Hal seperti itu...", Kon bergumam.
Kon pun langsung berdiri dan menatap Edward.
"JANGAN MENGATAKAN HAL SEPERTI ITU!", Teriak Kon dengan lantang.
Kon pun tersadar dan dia segera meminta maaf.
"Ma-maafkan aku karena sudah berteriak seperti itu!"
Kon tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya tetapi mendengar Edward mengatakan hal itu, dan juga membayangkannya saja sudah membuat hatinya terasa sangat sakit.
Tentu Edward adalah orang yang tidak ada hubungan darah dengan dirinya. Edward hanyalah seorang calon kaisar di negeri sebelah Kon dan hanya itu tetapi...
Kon memang tahu kalau Manusia itu merupakan ras yang tidak berumur panjang, bahkan jangka umur manusia merupakan yang terpendek dari ras-ras yang lain. Tetapi membayangkan kalau suatu saat Edward akan tiada membuatnya merasakan rasa sakit yang entah kenapa rasanya seperti ada pedang yang menusuk dadanya.
Di dalam dirinya terasa rasa takut jika suatu hari pria yang ada di sampingnya itu menghilang.
"Maaf sudah membuatmu khawatir, tetapi jangan khawatir karena itu mungkin masih ada di masa depan yang masih panjang."
"Te-tetapi...aku mau bertanya bagaimana dengan wanitamu?"
Edward merasa kalau Kon sudah salah paham dengan hubungan dia dengan yang lainnya.
"Mereka bukanlah wanitaku kau tahu? Aku mengakui kalau mungkin aku menyukai Lily tetapi...di dunia ini ada sesuatu yang tidak bisa dirubah, dicegah, ataupun diselamatkan."
Ini mungkin adalah keegoisan Edward semata tetapi memang dirinya yang bukan merupakan makhluk hidup dan makhluk mati ini merasakan kalau dirinya sebaiknya tidak melakukan sesuatu seperti itu.
"Kalau tidak salah kau juga salah satu anggota Zodiak kan? karena itu aku memperingatkan kepadamu untuk jangan berharap kepadaku atau kau akan makin tersakiti."
Edward pun berdiri dan pergi dari sana meninggalkan Kon.
"Berharap..."
Tujuan akhir Edward masihlah jauh, tetapi dia akan menggapai itu.
Walau dirinya harus berdarah-darah sekalipun dia pasti akan sampai.
Dia sadar kalau mungkin dia menyukai Lily, tetapi...
Edward tidak percaya dengan itu semua. Hatinya sudah dipenuhi oleh hal yang lain sehingga dirinya menjadi tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat romantis. Lebih tepatnya dia tidak bisa melakukannya dikarenakan keadaannya.
Itu bukan lelucon ketika dia berkata jika Lorelei menciumnya maka Lorelei akan mati.
Mencium Edward sendiri sudah seperti menenggak racun yang tidak ada obatnya. Seperti itulah seberapa mengerikannya keadaannya saat ini.
Bahkan ketika Lily menyentuhnya saat itu, segala nafsu apapun yang ada di dalam diri Lily langsung lenyap dengan seketika.
Dia berbohong kalau itu sihir buatannya. Itu adalah sifat sihir cahaya yang asli.
Melenyapkan sesuatu...
Kekuatan Cahaya di dalam dirinya yang terus tumbuh dan tumbuh seiring berjalannya hari, bahkan dia ragu tubuh manusianya mampu mengikuti itu.
Skenario terburuknya, dia akan kehilangan dirinya dan akan membunuh siapa pun yang ada di sampingnya.
"Wadah...ya? setelah aku mendapatkan itu, aku yakin kalau aku sudah tidak bisa menjadi orang biasa lagi dan pada saat itu tiba..."
Dan pada saat itu tiba, dia sudah mempunyai rencana besar tersendiri tentang bagaimana dia akan terus maju, maju, dan maju.
Sekarang yang perlu ia lakukan hanya satu, yaitu mengakhiri semua kegilaan ini sebelum dia benar-benar melakukan rencana besarnya.