Aku, Evie, Justin, dan Darren berkumpul di rumahku. Tentunya, orang tua kami juga ikut berkumpul.
Ya... kami membicarakan tentang berita itu. Bukan diskusi. Pemaksaan.
"Kamu harus pergi, Grace!" bentak ibu.
"Tidak mau!" bantahku. "Sekolah penuh putri kerajaan dan pangeran? Menjijikan sekali, Bu!"
"Aku tau itu menjijikan, Nak," ucap ibu. "Tapi, jika kamu berhasil mencuri kekuatan sihir si nenek tua itu..."
"Kita dapat menguasai dunia bla... bla... bla..." Aku memutar bola mata.
"Ya! Betapa hebatnya!" lengking ibu.
"Hebat!" seru ayah Darren. "Tapi, Darren tidak akan ikut. Aku butuh bantuannya di toko."
"Mencuri!" bentak ibu Evie. "Evie juga tidak akan pergi sebelum membuatku secantik dia."
"Justin..." Ibunya memandang Justin. "Ingat... di sana banyak sekalu anjing, kucing, dan lainnya."
Aku memutar bola mata. Seperti biasa...
"Ok! Aku tidak akan ikut!" Justin menggeleng cepat-cepat.
Ibu menggebrak meja dan memandang orang tua temanku satu persatu.
"Oh! Gunakan otak kalian!" seru ibu. "Ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk membalaskan dendam!"
Aku menghela nafas dan duduk di kisi jendela sambil menguap bosan.
Bertengkar lagi...
Adu mulut lagi...
Membosankan...
"Kepada putri tolol yang beruntung itu!" Ibu menunjuk ibu Evie.
Ibu Evie terlihat jengkel dan membanting sisir yang ia pegang.
"Kepada pangeran kecil beserta jin anehnya," Kali ini, Ibu menunjuk ayah Darren.
"Pasti akan kubalaskan dendamku!" gerung ayah Darren.
"Ayah..." Darren menahan ayahnya.
"Kepada si pangeran menyebalkan dengan hewan peliharaannya yang jorok!" Ibu menunjuk Ibunya Justin.
Ibu Justin hanya mencibir kesal dan menghentakkan kakinya ke tanah dengan wajah masam.
"Dan aku..." Ibu berjalan mendekati teman-temannya, alias orang tua sahabatku.
"Membalaskan dendam kepada putri kurang ajar dan mengutuk seluruh negeri," sambung dengan nada bosan.
"Tepat, Nak!" Ibu tersenyum licik.
"Ini adalah satu-satunya kesempatan bagi kita untuk membalaskan dendam yang sudah kita pendam selama ini," ucap ibu. "Agar kita bisa bebas!"
Bunyi klakson menggema di ruangan itu.
Ok... jemputan telah datang.
Sahabat-sahabatku keluar setelah mengambil tasnya, diikuti orang tua mereka.
Ibu mencengkram bahuku, "Harapan semua orang di permukaan ada di pundakmu, Nak. Jangan sampai gagal atau kamu akan mendapat hukuman berat, juga teman-temanmu."
Aku mendecih dan memakai ranselku sebelum menyusul ke tempat mobil itu diparkir.
Justin sempat kejar-kejaran dengan ibunya, Darren sempat mencuri sebentar, dan Evie memilih untuk memperbaiki riasannya di mobil.
Aku masuk mobil setelah memandang ibu yang menatapku tajam dari balkon.
Bola mata kami berubah menjadi warna ungu gelap, saling pandang tanpa mengedip sekalipun.
Aku mendecih dan mengalihkan pandangan, lalu masuk ke mobil.
"Aku kalah lagi," batinku ketika melihat ibu menyeringai.
Di dalam terdapat makanan manis, kesukaan Justin dan Darren.
Tepat sebelum mobil melaju, kedua cowok itu melompat masuk.
"Kemana saja kalian?" Aku memandang mereka.
"Mencuri," desis Darren.
"Kabur dari anjing," Justin cemberut.
"Berhenti menggerutu, Darren, Justin," ucap Evie sambil menyisir rambutnya.
"Sudah terlambat jika kalian tidak mau pergi," sambungku.
"Aku tau itu!" desah Justin.
Sedetik kemudian, mereka berebut coklat.
Mereka makan dengan... menjijikan. Belepotan dan rakus.
Mobil terus melaju hingga ke dermaga kecil.
"Kita mau kemana?" Justin mengambil sepotong coklat lagi.
Mobil menderu dan terlihat jembatan emas yang menghubungkan dermaga dengan pulau kecil di seberang.
"Pulau itu... bukannya penjara?" Darren berhenti makan. "INI JEBAKAN! PENIPUAN!"
"Oh! Shut up!" Evie membenarkan bedaknya.
Mobil melaju terus hingga sampai di pulau penjara itu.
Kami turun ketika supirnya membukakan pintu. Di depan kami ada pintu emas.
"Silahkan masuk," ucap supir itu tegas.
Aku masuk duluan. Disusul Evie yang tampak ragu. Darren dan Justin masuk sambil saling sikut.
Pintu menutup dengan bunyi 'ting'.
Kami seolah diangkat. Pelan... pelan... cepat... Saking cepatnya, pandanganku mengabur seolah sedang menaiki lift tercepat.
Dan telingaku berdenyut karena ketiga sahabatku ini menjerit ketakutan dan saling berpelukan.
Aku keluar duluan ketika pintu terbuka. Dan sayangnya teman-temanku telat, hingga mereka terpaksa mengulangi sensasi itu lagi.
Aku berdiri di depan air mancur emas berbentuk logo kerajaan. Ada marching band (setauku), pangeran, seorang putri, dan kepala sekolah alias ibu peri.
"Ah! Kamu... Grace Crowley, dimana temanmu yang lain?" tanya ibu peri.
"Terjebak di lift, atau apapun itu namanya," ucapku datar.
Beberapa saat kemudian, temanku terhuyung keluar. Evie menabrakku. Justin dan Darren saling tindih.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau ingin keluar, sih?" gerutu Justin.
Aku mengangkat bahu, "Emangnya harus?"
"Kepalaku..." desah Evie.
"Aku akan muntah," gumam Darren.
"Tolong jangan kotori tempat ini," Suara melengking tinggi terdengar dari mulut putri yang berdiri di samping pangeran.
"Maaf," ucapku datar tanpa penyesalan. "Orang buangan seperti kami memang hanya seperti debu di jalanan."
Evie memandang putri itu sengit. Jelas ia tersinggung dengan perkataan putri kerajaan itu.
"Syukurlah kamu sadar, kalau kamu itu hanya orang buangan," sindir gadis itu. "Orang jahat!"
Justin dan Darren tampak marah. Mereka tidak peduli dikatai orang buangan, tapi mereka marah jika dikatai orang jahat. Bukannya mereka tidak sadar kalau mereka jahat, mereka hanya mau dikatai begitu oleh orang yang sudah kenal dengan mereka bukan oleh orang yang baru ketemu.
"Maaf jika aku menyinggungmu," ucapku penuh nada kesal. "Kenapa kamu bilang kami jahat?"
"Tentu saja karena kalian orang buangan dan orang tua kalian adalah kriminal!" jawab gadis itu. "Benarkan, Avery?"
Pangeran itu hanya diam.
"KALAU BEGITU, KENAPA KALIAN MEMBAWA KAMI KEMARI?!" sembur Evie. "KAMI TIDAK BUTUH RASA KASIHAN KALIAN!!!"
Justin bergegas menarik Evie mundur, sebelum Evie menjambak rambut putri itu.
"Ok, tenang!" seru ibu peri. "Maaf atas sambutan yang tidak mengenakan hati seperti ini."
"Ibu peri, lain kali tolong jaga mulut para putri kerajaan yang terhormat di sini," ucapku dingin. "Asal kalian tau, kami dari permukaan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin hanya karena ucapan."
"Perlu kalian tau," Justin ikut berkata. "Kami semua sensitif."
"Tolong maklumi kami," gumam Darren.
"Tak apa, sayang," Ibu peri mengangguk.
"Namaku Avery," ucap pangeran itu.
"Pangeran Avery," potong si putri. "Dan aku Putri Audrey."
Avery hanya mengangkat bahu dan berjalan untuk menyalami kami.
Evie hanya menyentuhkan jarinya dan segera menariknya kembali.
Justin menyalaminya dengan canggung.
Darren meninju bahunya, layaknya anak geng.
Saat Avery hendak menyalamiku, aku segera mundur dan tersenyum kecil untuk beberapa detik.
Avery melongo sebentar dan segera tersenyum kembali.
"Mari kita masuk," ucap Avery.
Audrey segera mengaitkan lengannya dengan Avery dan berjalan masuk.
Kami melintasi taman menuju gedung asrama.
Suara gongongan terdengar, membuat Justin langsung ngacir.
Audrey terbahak-bahak.
"Justin?!" Avery tampak kaget.
Aku berlari melewatinya tanpa takut memanjat pohon, melompat dari dahan ke dahan sambil berlari.
Evie dan Darren hanya bersorak-sorak. Sahabat yang menyebalkan.
Aku meraih kerah jaket Justin dan langsung menariknya ke atas. Justin meronta-ronta.
Aku membiarkan anjing itu pergi sebelum menghempaskan Justin, sehingga dia jatuh telentang.
Aku melompat turun, tanpa sengaja menginjak perut Justin.
"Ouch!" lengkingnya. "Jauhkan kakimu dari perutku!"
Aku menginjak perut Justin lagi sebelum berjalan pergi.
Justin bangkit sambil mengusap perutnya dan meringis.
Avery bertepuk tangan, membuat Audrey cemberut.
Evie dan Darren bergegas menghampiriku dan Justin.
"Kerja bagus, Curse," kekeh Evie sambil menepuk bahuku.
"Ok... Greed..." ucapku. "Biasa saja."
"Malangnya nasibmu, Gluttony..." ledek Darren.
"Shut up, Steal!" bentak Justin.
Aku meninju baju Justin, "Jadilah pemberani."
Justin mencibir.
"Aksi yang hebat, Grace," puji Avery sambil tersenyum.
"Oh... biasa saja..." Aku memutar bola mata.
Sepertinya... sekolah tidak buruk juga...