"Ingin pergi? Kabur?" Justin menarik lengan Hannah dan membawanya menuju kamar wanita itu.
"Justin...lepas....hiks....hiks...."
"Jangan Justin.....lepasin....." Hannah menangis sesenggukan, seraya manarik-narik tangan Justin agar cengkraman di lengannya terlepas. Tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat Justin dengan wajah mengeras penuh amarah.
"Blam! "
Justin menutup kencang pintu kamar. Ia mendorong Hannah hingga terjatuh di atas lantai dalam posisi terlungkup.
"Kau tidak bisa pergi kamana pun! Penjagaan di mansion ini akan semakin ketat jika kau berusaha kabur!" Peringatnya.
Hannah mengepalkan kedua tangannya, matanya terpejam kuat. Ia meredam tangisnya dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Tiba-tiba dalam diri Hannah timbul rasa ingin membalas perlakuan pria itu. Seakan sisi lain dalam tubuhnya telah bangkit kembali untuk mengambil alih, mengendalikannya. Rasa takut dan tunduk yang selalu ia rasakan perlahan menjadi sirna. Ia tak mengerti pada dirinya sendiri, kemana sosok pemberani Hannah De Luca yang dulu? Awalnya ia terlalu menyayangi dan mempercayai pria itu, hingga mengubahnya menjadi pribadi yang lemah nan penakut saat pria iblis itu meluncurkan aksinya.
Ia sudah muak dengan tidakan Justin. Tidak hanya muak, ia juga harus merasaka sakit dari siksaan pria itu. Masa bodoh dengan perasaanya yang masih mencintai bahkan menginginkan Justin, ia akan bertindak untuk menyingkirkan pria itu. Jika tujuannya tidak berhasil, mungkin ia bisa mencari cara lain untuk terlepas dari kekangan Justin Russell. Bayangkan saja mereka belum menikah, namun, perlakuan Justin terhadap Hannah sudah sangat keterlaluan. Hidup bersama Justin Russell bagaikan hidup di balik jeruji besi. Lebih baik ia merasakan hidup di balik jeruji besi karena di tempat itu tidak akan ada yang bisa menyiksanya. Entah apa yang terjadi jika Hannah tidak segera mengakhiri hubungan ini. Kemungkinan besar pria itu akan membunuh Hannah secara perlahan.
"Apa kau selamah itu? Tentu saja wanita sepertimu hanya mampu bergaya, berfoya-foya dan bergabung bersama para sosialita!" Ucap Justin melihat Hannah yang hanya terdiam tanpa mengubah posisinya. Ia tak mampu melihat kemurkaan wanita itu akibat Hannah yang membelakanginya dengan posisi telungkup.
"Shut up your mouth, bastard!"
"You don't know about me!" Teriak Hannah.
Mata yang awalnya terpejam kuat terbuka seketika, memperlihatkan safir biru cerah dengan penuh kilatan kebencian dan kobaran api. Emosi yang tersulut membuat otaknya memerintahkan mulutnya agar segera menyahut, ketika mendengar lontaran kalimat yang keluar dari bibir pria itu. Justin hanyalah pria bodoh yang tidak mengatahui apapun tentang Hannah. Namun, ia berlagak seperti orang yang sudah mengenal lama dirinya.
Hannah bangkit dari tempat ia terjatuh dan berhadapan dengan pria itu. Justin yang melihat perubahan Hannah hanya menaikan sebelah alisnya dan menyeringai. Belum pernah ia melihat Hannah dengan wajah semarah ini.
"Seberapa jauh kau sudah mengenalku? Ternyata aku salah menilai perlakuanmu yang terasa seakan-akan mencintai dan menyayangiku!"
"Kau PENDUSTA!!! Kau...dan acting-mu selama ini berhasil!! Selamat Russell!!"
"Wah....wah.....jadi sekarang kau berani menantangku, manis?" Justin tertawa sumbang.
"Aku bisa melakukan apa saja jika kau berani bermain denganku! Aku bisa melaporkan tindakanmu ini ke pihak berwajib! Dan aku bisa menyeretmu ke meja hijau, sekarang juga!" Hannah mendekat sambil mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Justin.
"Silahkan saja!" Justin merentangkan kedua tangannya.
"Lakukan apa yang kau inginkan! Jika kau berani mewujudkan rencanamu itu, maka aku juga tidak akan segan-segan membunuhmu! Kau dengar itu Lady De Luca?" Seringaian bengis pada wajah Justin menghilang kemudian tergantikan oleh rahangnya yang kembali mengeras. Sepertinya pria itu terpancing dengan perkataan Hannah.
"Bunuh saja! Kau yang akan menjadi sasarannya jika publik tahu Hannah De Luca tewas terbunuh!"
Hannah mengancam Justin, walau ia tahu pria itu bisa saja membayar pihak tertentu agar namanya tidak terlibat dalam khasus kematian Hannah. Siapa yang tak mengatahui kepandaian dan kekuasaan Justin Russell di dunia bisnis, tentu para pengusaha mengenalnya. Tetapi, tetap saja pria itu masih kalah banding dengan keluarga De Luca yang menguasai dunia bisnis dan perpolitikan di Amerika Serikat.
"Aku baru ingat jika pengaruhmu sangat besar di negara ini bahkan di dunia. Coba aku ingat pengaruhmu apa saja di zaman ini..." Jedanya sambil memasukan kedua tangannya ke kantong celana dan terlihat sedang mengingat sesuatu.
"Saham yang bergerak di bidang otomotif, pertambangan dan hotel, bahkan Ayahmu pernah menjabat sebagai presiden AS namun kini hilang entah kemana dan juga......"
"Oh ya, Ibumu juga seorang model terkenal di masa mudanya. Aku mengetahui segalanya! Apa yang tidak aku ketahui?"
Justin berjalan ke arah sofa berwarna putih yang terletak di sudut kamar itu. Ia mendaratkan bokongnya ke atas sofa kemudian menyenderkan punggungnya dan mengangkat salah satu kaki kirinya ke atas paha sebalah kanan. Justin terduduk sambil menatap Hannah dari kejauhan. Terlihat dari gerak-gerik tubuhnya, lelaki itu seperti ingin menantang Hannah.
"Benarkah?" Tanya Hannah.
Batinnya ingin tertawa mendengar ucapan pria itu. Ia mengakui bahwa dirinya memang sangat bodoh, mencintai pria dengan penuh tipu musilat. Justin memiliki paras tampan, jika menatap mata hijau miliknya mampu membuat siapapun terpikat, pria busuk yang berhasil merayunya hanya dengan sikap manis dan perawakan yang sangat ramah. Hannah mengira bahwa Justin adalah pria yang baik, bahkan ia mengira pria itu mencintai dirinya. Ternyata tidak, itu semua hanya akal liciknya saja. Hannah baru menyadari jika Justin ingin mengambil keuntungan dari hubungan mereka dan memiliki tujuan tertentu. Ia harus segera mencari tahu segala rahasia Justin.
"Kau memang bodoh, jerk!"
Hannah membuka tas selempangnya dan segera mengambil posel untuk menghubungi polisi. Setelah menekan nomor darurat, ia tidak mendekatkan ponsel itu pada telinganya, melainkan hanya menggoyang-goyangkan ponselnya di udara. Nada sambung mulai terdengar keras saat ia mengaktifkan loud speaker. Kini giliran Hannah bersorak kemenangan dalam hatinya.
"Sekarang apa yang akan kau perbuat Justin?"
Terjadi keheningan sesaat di antara keduanya, sebelum akhirnya terdengar suara yang memekakan telinga. Pada waktu nada sambung kelima, dengan sigap Justin mengeluarkan sebuah benda dari balik tubuhnya dan membidik benda itu tepat ke arah Hannah.
"Dor..."
Sebuah peluru melesat cepat mengenai ponsel Hannah hingga menembus kaca jendela kamar di belakangnya. Ponsel itu terpental mengenai dinding dan mengalami keretakan pada layarnya, nada sambung itu akhirnya terputus. Cairan kental berwarna merah keluar bercucuran akibat peluru yang berhasil menggores jemari tangan Hannah, hingga kulitnya robek.
Tak ada satu pun ucapan yang mampu keluar dari mulutnya, lidahnya terasa kelu. Ia juga tidak mampu berteriak bahkan merintih sekalipun. Hannah hanya terdiam menahan rasa sakit dan perih, wajahnya memucat. Jantungnya berdetak lebih kencang, kejadian beberapa detik yang lalu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Ia tak menyangka jika pria itu berani berbuat senekat itu. Luka tembakan ini memang terlihat sangat parah. Namun, bagi Hannah tidak separah dengan luka-luka yang sering ia rasakan di tubuhnya.
Dengan langkah cepat Justin mendekati Hannah. Ia menarik kerah baju wanita itu. Tangannya bergerak ke atas hendak memberikan pukulan pada wajah Hannah. Tetapi diurungkannya saat melihat kondisi Hannah. Ia ingin segera membunuh wanita itu, jika saja sebuah perjanjian tidak harus membuatnya bersabar menunggu waktu yang ditentukan.
"Katakan padaku siapa dirimu sebenarnya! Siapa Kau? Kenapa kau hanya diam saja! Kau berbeda, bukan wanita biasa! Katakan! Jika kau tak mau mengakuinya aku akan membunuhmu sekarang juga!"
Bentak Justin, mencengkram rahang Hannah dan menodongkan pistol di kepalanya. Jusin mulai merasa resah, karena Hannah tidak merintih atau berteriak akibat luka itu. Justin diam-diam menutupi keheranannya.
"Sudah kubilang kau tak mengenalku!" Hannah mendonggakkan kepalanya menatap Justin yang lebih tinggi darinya. Keduanya saling menatap, dengan pandangan saling bermusuhan. Suasana menegangkan tercipta di antara mereka.
Terlintas pada benak Justin untuk melakukan sesuatu yang lebih menyakitkan terhadap Hannah. Penyiksaannya belum selesai. Ia menjauhkan pistolnya, berlanjut dengan jemarinya yang mengusap lembut pipi Hannah. Tiba-Tiba ia mengunci pergerakan wanita itu dengan tatapan matanya yang teduh, kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar. Namun, sebuah suara membuatnya terhenti diambang pintu. Sontak seluruh tubuhnya menegang.
"Bagaimana dengan perasaanmu terhadapku Justin? Apakah cinta masih berlaku?"
Justin memandang lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Selama ini timbul rasa aneh pada dirinya saat ia menyakiti Hannah. Justin tak dapat mengartikan perasaan yang terus menerus menghalangi langkahnya. Ia juga tak mampu membedakan antara rasa sayang, cinta, obsesi, kagum, nyaman atau pun hanya sebatas suka. Semuanya membuat ia bimbang. Sekarang sisi iblisnya lebih mendominasi Justin, sehingga ia mengenyahkan hal itu dan mengembalikan masalahnya ke arah reality.
"Obati lukamu dan berterimakasih karena kau tidak jadi mati." Katanya datar.
Justin melanjutkan langkahnya, meninggalkan Hannah. Ia akan menjalankan aksinya kembali, sebagai awal dari peperangan mereka.
Justin mengarah menuju kamar mandinya. Kemudian ia memutar keran hingga terdengar suara gemericikan air yang akan memenuhi bathub. Siapa pun tidak akan bisa menebak apa rencana Justin kali ini. Ia terduduk di pinggir bathub sambil menerawang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat berat bagi dirinya. Kenangan itu telah mengubahnya menjadi pria dewasa berduplikat iblis.
🍃🌿🍃
Elusan jemari Justin pada pipi Hannah, membuat ia berpikir keras tentang maksud perubahan prilaku Justin yang mendadak. Tanpa ia inginkan kata-kata itu terucap, meskipun bertentangan dengan jalan pikirnya.
"Bagaimana dengan perasaanmu terhadapku Justin? Apakah cinta masih berlaku?"
Hatinya mengeras dan akal sehatnya menyerukan agar tidak terlena kembali dengan perlakuan Justin Russell. Hannah berjalan mendekati jendela kamarnya dan mengedarkan pandangannya keluar sana. Beberapa pria bertubuh besar dan berpakaian serba hitam mengawasi halaman mansion Justin yang begitu luas. 'Jadi pria itu sudah merencanakannya' batinya mendengus kesal. Ia menarik rambutnya kebelakang, mengurangi kegugupannya.
"Huff..." Desahnya.
Jika seperti ini, usaha untuk kabur sangat kecil. Hannah tidak bisa menghubungi siapapun sekarang. Jalan satu-satunya adalah meminjam ponsel dari Kate atau diam-diam menggunakan laptop Justin. Sebagian besar barang-barangnya masih tertinggal di apartmen lamanya.
Tidak memungkinkan baginya melawan Justin dalam keadaan lemah dan tanpa menggunakan senjata. Ia harus berpikir mancari cara lain untuk kabur atau pun menyerang Justin. Saat ia tengah berpikir hingga melupakan rasa sakitnya, suara ketukan pintu kamarnya terdengar dari luar.
"Masuk!" Sahutnya.
Seorang pria mengenakan jas berwarna putih dan menjingjing sebuah tas, menghampirinya. Pria itu adalah seorang dokter yang nampak sebaya dengannya. Hannah merasa familiar dengan wajah dokter itu. Perawakannya mengingatkan Hannah dengan seseorang di masa lalu. Benar, ia tak salah mengenali dokter itu, mata cokelat dan rambut hitam ikal milik pria itu. Hingga suara berat yang ia rindukan terdengar.
"Hannah kau baik-baik saja?"
Hannah tak percaya dengan semua ini, Tuhan mempertemukan mereka di tempat yang tak pernah sekali pun terpikirkan olehnya. Kini pria di hadapannya sedang menatap dengan penuh kecemasan, bagaikan malaikat penyelamat yang akan melancarkan usahanya. Napasnya tertahan sebelum ia mampu mengatakan nama pria itu.
"Horton.....!"