Penangkapan

Hannah berlari dan langsung menubruk tubuh kekar pria itu. Kemudian memeluknya dengan sangat erat. Ia membenamkan wajahnya pada dada bidang Horton. Semoga saja sahabatnya itu mau menyelamatkan dirinya. Tangan Horton terangkat, mengusap helaian rambut Hannah. Dikecupnya kening wanita itu, bibirnya mendekati telinga Hannah untuk membisikan sesuatu.

"Tu me manques, Hannah. Kita obati dulu lukamu." Aksen Prancis yang Hannah rindukan, membuatnya tersenyum senang.

Horton menuntun Hannah agar duduk di atas ranjang. Ia mengambil peralatan yang dibutuhkan untuk mengobati luka Hannah. Perlu beberapa jahitan pada jemarinya dan ia menyuntikan sebuah bius pada tangan Hannah. Selama Horton mengobati lukanya, Hannah hanya menatap kosong setiap gerak gerik yang dilakukan sahabatnya itu. Terdapat sesuatu yang mengganjal benaknya melihat Horton yang selalu ada untuknya.

"Horton..." Panggil Hannah lirih setelah Horton menyelesaikan tugasnya, yang memakan waktu 30 menit.

"Aku tahu, tanpa perlu kau katakan." Horton tersenyum hangat sambil mengelus tengkuk Hannah. Kemudian ia membalut luka wanita itu dengan perban putih.

"Bawa aku pergi dari tempat ini, ku mohon.....Bantulah...." Hannah mengenggam tangan Horton, berusaha untuk meyakinkan pria itu bahwa keadaan dirinya benar-benar buruk.

"Dengar.....aku tidak bisa membawamu pergi malam ini juga. Penjagaan sangat ketat, tidak memungkinkan untuk kau kabur." Hannah melepaskan genggamannya pada tangan Horton dan memalingkan wajahnya. Ia merasa kesal mendengar sahabatnya sama sekali tidak membantu.

"Tapi, aku akan datang untukmu besok malam." Horton menarik dagu Hannah untuk menghadap ke arahnya. Hannah mengerutkan keningnya, masih mencerna maksud perkataan Horton. 'Apa bedanya malam ini dan malam esok' batinnya.

"Jadi, Justin belum mengatakannya?" Tanya Horton yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Hannah.

"Besok malam Justin mengadakan pesta di mansion ini, karena memenangkan tender." Horton menghentikan ucapannya saat memikirkan cara untuk membantu Hannah kabur.

"Hmm... Thalia Lavigne, CEO Lavigne. Inc. Ia adalah partner kerjaku yang akan membantu kita. Jadi, besok kau harus mentaati semua arahannya!" perintah Horton dengan sunguh-sungguh.

"Kau yakin cara ini akan berhasil?"

Hannah sedikit ragu dengan rencana Horton. Pasalnya, Justin bisa saja menggagalkan rencana mereka. Pria bengis itu seakan mampu membaca pikirannya dan menebak keinginannya. Kedatangan pria itu seperti malaikat kematian pencabut nyawa. Benar-benar reingkarnasi iblis. Memikirkan pria itu membuatnya kembali teringat dengan peristiwa seharian ini.

"Sejak kapan kau meragukanku." Jawab Horton.

"Tapi, bagaimana bisa kau mengetahui keberadaanku? padahal selama ini kau pergi entah kemana."

"Maaf aku tidak mengabarimu selama ini, kau tak perlu tau kemana aku pergi Hannah."

"Hey, aku ini sahabatmu!" Ujar Hannah tak terima.

"Nanti, aku ceritakan."

Horton memandang seisi kamar Hannah. Pecahan kaca berserakan mengotori lantai dan juga bercak-bercak darah. 'Keributan apa yang telah terjadi hingga membuat kamar Hannah sekotor ini?' batinnya. Ia tersadar akan suatu hal, tidak ada satu pun barang Justin di kamar ini. Apakah mereka sedang mengalami masalah? Tapi bagaiman bisa? Bukannya pertunangan mereka saja baru berlangsung kemarin. Justin Russell sungguh tak terduga.

"Kenapa kalian tidak tidur sekamar?"

"Aku tidak tahu." Hannah tersenyum miris menanggapi pertanyaan Horton.

"Justin tidak mencintaiku." Air mata menggenang di pelupuk matanya.

Horton merengkuh tubuh wanita itu dan membawa kedalam pelukannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma bunga mawar yang menguar dari tubuh Hannah. Ia merasakan Hannah terisak dalam pelukannya. Wanita itu pasti menahan segala amarah dan kekesalannya sedari tadi. Usapan pada punggung Hannah, membutnya sedikit lebih tenang.

"Kau berubah menjadi selemah ini, Hannah." Guman Horton kemudian menghela napas.

Setahu Horton, Hannah adalah wanita yang kuat, keras kepala dan terbilang dingin. Sangat berbanding terbalik dengan sifat Hannah yang satu ini. Tiba-tiba perasaannya berubah gelisah saat mendengar sirene mobil polisi di depan mansion Justin.

🍃🌿🍃

Hari semakin malam, hujan di luar sana turun dengan begitu deras membasahi kota Los Angeles. Beberapa mobil polisi, orang-orang dan juga wartawan mendatangi salah satu mansion mewah di Baverly Hills milik seorang pembisnis dan putri mantan preisdent AS.

"Tolong buka pintunya, kami mendapat panggilan dari kediaman Mr. Russell!" Polisi itu meminta agar membuka pintu gerbang mansion.

"Maaf kami tidak bisa melakukannya sebelum mendapat konfirmasi dari pihak dalam." Jawab salah satu bodyguard di mansion Justin dari balik pintu gerbang.

"Kalian tidak bisa melarang pihak kepolisian!" Tegas polisi yang berusia sekisar 25 tahun.

Tak lama kemudian, datanglah dua orang pria yang memerintahkan para bodyguard untuk mempersilahkan pihak kepolisian masuk. Mereka adalah Jack, si kepala maid dan Carter, ketua keamanan di mansion itu.

"Biarkan pihak kepolisian masuk dan hadang paparazi!" Perintah Carter.

Mereka berjalan memasuki kediaman Justin Russell. Saat mereka tiba di dalam, suasana di mansion itu terlihat baik-baik saja. Tidak ada tanda keributan atau pun jejak yang membuat pihak kepolisian curiga. Sang pemilik mansion menuruni satu-persatu anak tangga dengan penuh wibawa, kemudian berjalan mendekati polisi itu.

"Good evening, Mr. Russell. Maaf mengganggu malam anda. Kami mendapat panggilan dari kediaman anda. Apa anda baik-baik saja? Harap kau bekerja sama dengan kami." Ucap polisi itu. Justin melirik sebuah nametag yang tertempel di kantong seragam sebelah kiri polisi itu, 'Robin Bakker'.

"Seperti yang kau lihat. Tidak ada yang terjadi dan aku tidak menelpon ke kantor kalian!" Justin berucap dengan sangat datar dan wajahnya terlihat tenang, tidak menyiratkan apapun.

"Well, Jika begitu kami akan mengecek tempat ini hanya memastikan penghuninya baik-baik saja dan saya ingin bertemu Hannah De Luca, tunangan anda."

"Dimana beliau?"

"Hannah RUSSELL kau maksud?" Sedikit penekanan saat Justin mengucapkan kata Russell, agar polisi itu sadar akan kesalahannya.

"Tidak bisa!" Lanjutnya. 'Semoga saja wanita jalang itu mau menutup mulutnya' batin Justin.

"Bisa beri alasan atas laranganmu?" Tawar polisi itu.

"Hannah sedang keluar kota, ia tidak ada disini! Tolong keluarlah-...." Ucapan Justin terpotong karena perintah Robin.

"PERIKSA SELURUH RUANGAN!"

Robin dan anak buahnya menyelidiki mansion Justin. Mereka berpencar dari kamar satu ke kamar lainnya. Beberapa dari mereka menaikan senjata untuk mencegat para bodyguard termasuk Justin di ruang tengah. Mereka menemukan sebuah kamar di lantai dua yang letaknya sedikit menjorok ke luar dari sisi bangunan mansion itu. Robin segera menarik gagang pintu dan pintu kamar itu terbuka.

"Hannah De Luca!" Panggilnya.

Tidak ada sahutan. Gelap dan sunyi, tak ada siapapun disana. Kamar itu hanya di terangi oleh cahaya dari luar yang masuk melalui jendela kamar. Robin menghidupkan penerangan yang ada di kamar itu. Terlihat beling-beling kaca di atas lantai, ponsel yang tergeletak di dekat jendela dengan keadaan rusak parah, darah kental yang mengotori lantai dan...

Robin mendekati kaca jendela di depannya. Ia mengamati dengan teliti lubang pada kaca itu.

"Peluru proyektil." Gumannya.

"Sir, Mrs. De Luca tidak ada di kamar ini." Lapor salah satu anak buah Robin yang telah memeriksa kamar Hannah.

"Kita harus selidiki khasus ini secepatnya dan cari keberadaan Hannah!" Perintahnya. Robin menyentuh darah itu dengan jari telunjuknya. Ia menyimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sekisar beberapa menit yang lalu. Kemudian garis polisi segera tertempel di depan kamar Hannah.

Justin melihat kedatangan Robin dari lantai atas. Rahangnya mengeras, ingin rasanya untuk menghajar polisi keparat itu. Sayangnya ia tak mampu melakukan apapun karena anak buah Robin sedang mencegatnya. 'Damn it, bodyguard sama sekali tak berguna' desisnya. Justin sedikit panik, keringat dingin menetes di keningnya. Telapak kaki dan tangannya terasa basah.

Ia berharap agar polisi tidak mengetahui masalah yang terjadi di mansionnya. Seharusnya ia mendengarkan nasehat pamannya untuk sedikit bersabar. Justin sangat bodoh dan ceroboh. Ia sangat menyesal. Apa yang harus ia lakukan agar polisi tidak menangkapnya? Ini semua ulah Hannah, Justin semakin membenci wanita itu.

"Tenang Justin. Kau hanya perlu menyuap mereka semua. Segalanya akan terselesaikan." Sisi jahatnya berkata. Justin menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan dengan perlahan, mencoba untuk tidak terlihat gusar.

"Tangkap mereka semua bawa ke kantor polisi." Perintah Robin kepada bawahannya.

"Atas dasar apa kau menangkapku!"

"Kau berbuat sesuatu kepada Hannah! Nomor tadi adalah nomor ponsel Hannah, polisi bisa melacak indentitas nomor ponsel! Apa anda lupa?" Robin melenggang pergi meninggalkan Justin yang terus membrontak dari kekangan para polisi.

"Shit! Lepas! aku tidak bersalah!" Jeritnya. Justin terus mengelak tak terima, agar polisi itu tidak membawanya.

"Cepat jalan! Kau bisa jelaskan semuanya di kantor polisi!" Bentak seorang polisi yang memasangkan rantai di tangannya.

Justin terus menundukan kepala saat berjalan keluar dari mansionnya munuju mobil polisi. Rintikan air hujan yang turun mengenai tubuhnya, terasa seakan sedang menghujam dirinya. Rasa malu, kesal, dan marah bercampur aduk menjadi satu dalam perasaannya. Wartawan dan paparazi menutupi jalurnya. Para polisi memberi jalan padanya agar lebih mudah menuju mobil polisi. Cahaya blitz dari kamera paparazi, sedikit membuatnya risih ingin membanting kamera itu sekarang juga. Mungkin besok pagi berita ini akan menjadi gempar di media masa, koran maupun majalah bisnis.

🍃🌿🍃

Hannah hanya memandangi jalanan yang licin akibat guyuran hujan melalui kaca jendela mobilnya. Lantunan musik dari radio mobil menemani kensunyian yang melanda mereka. Ia tak penah berencana untuk pergi sebelumnya. Namun, kini ia membiarkan segalanya mengalir seperti begitu saja. Membawanya dalam perjalanan menuju tempat yang tak ingin ia ketahui.

"Bawa aku ke tempat yang jauh. Sangat jauh dari negara ini hingga tak pernah bertemu lagi dengan pria yang aku cintai." Ucap Hannah pada Horton yang sedang fokus mengendarai mobilnya.

"Bullshit! Omong kosong aku masih mencintainya!" Hannah terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Ceritakan segalanya padaku." Horton manautkan jemarinya pada jemari Hannah kemudian mengecupnya singkat.

"Ceritanya sangat panjang." Jawab Hannah cepat. Dia menyandarkan punggungnya pada jok mobil. Kini pandangannya beralih menatap jemari mereka yang saling terpaut.

"Kita masih memiliki perjalanan yang sangat panjang dan aku punya banyak waktu untuk mendengar setiap ceritamu." Sergah Horton.

Ia bukanlah orang asing bagi Hannah, persahabatan ini mulai terjalin saat mereka masih menduduki bangku senior hight school. Namun, setelah kelulusannya Horton pergi entah kemana. Tak ada yang tau keberadaan Horton, bagaikan hilang di telan bumi. Hanya anggota keluarga terdekat yang mengetahui, tetapi semuanya lebih memilih menutup mulut mereka.

Hannah mengingat masa-masa terindah bersama Justin, tepatnya saat pertemuan mereka. Berawal dari hobi mereka yang gemar menunggangi kuda hingga kerap kali bertemu dan berbincang saat menonton race atau pertandingan pacuan kuda di Kentucky States, yang terletak di kota Lexington Kentucky, Amerika Serikat.

Semua yang terdapat pada diri Justin menjadi bagian terfavorit bagi Hannah. Cara Justin memperlakukan Hannah, senyum manis yang terukir di wajah tampannya, gelak tawa, keramahannya hingga timbul rasa yang membuat Hannah ingin mengenal dan terus bersama pemuda asal Kanada itu. Ia merasa terlindungi dan nyaman di pelukan pemuda itu, selain itu Justin tergolong tipenya. Walau faktanya adalah Justin justru mengancam keselamatannya.

Saat itu Hannah dan Justin sedang menunggangi kuda mereka menuju hamparan padang rumput yang sangat luas di dekat stall. Keduanya saling memacu kuda mereka dengan cepat. Senyum bahagia terpancar pada wajah mereka. Hannah terlihat semakin cantik di bawah teriknya sinar matahari musim panas. Rambut blonde bergelombangnya menari-nari saat terkena hembusan angin. Kulit putih pucatnya menjadi memerah, ditambah rona pipinya yang semakin memerah akibat ulah Justin.

"I love you, Hannah De Luca!" Justin berteriak di belakangnya. Hannah langsung memperlambat kudanya dan berbalik menemui Justin yang telah menghentikan kuda hitamnya.

"Jangan bergurau, Mr. Russell." Hannah menganggap itu hanya sebuah lelucon, meski hatinya berdegup seperti gadis remaja. Ia tidak ingin berharap lebih sebelum mendapatkan kepastian dari Justin.

"Arkh...." Pekiknya terkejut saat Justin menarik pinggangnya dan membuat kakinya berpijak di atas tanah.

Tanpa ia duga, Justin langsung melumat bibirnya. Justin membawa dirinya lebih dekat dengan tubuh pemuda itu. Ia merasakan perubahan yang luar biasa pada tubuhnya. Kupu-kupu seolah berterbangan menggelitik perutnya. Hannah melingkarkan kedua tangannya di leher Justin, kakinya terasa lemas. Justin menggigit bibir bawah Hannah, agar ia membuka mulutnya. Lidahnya melesat masuk, mengaksen setiap rongga mulut Hannah, kemudian wanita itu membalas ciumannya. Mereka tersenyum disele-sela ciumannya. Untuk yang pertama kalinya mereka bercumbu panas di dekat kuda dan hamparan padang rumput saat musim panas kota Lexington.

Mereka akhirnya menghentikan kegitan itu saat mulai merasa kehabisan napas, mereka perlu menghirup oksigen. Hannah tersengal-sengal akibat lumatan Justin pada bibirnya yang tiada henti-hentinya. Justin tidak melepaskan pelukan mereka, ia masih menatap manik mata Hannah yang berwarna blue ocean. Justin berusaha mati-matian untuk mengontrol gairahnya, karena ia tak ingin terlibat skandal.

"You're my mine." Bisik Justin pada telinga Hannah.

Perlakuan Justin membuat seluruh pertahanan dan prinsip Hannah runtuh. Ditambah hembusan napas Justin pada telinganya membuat gairahnya bangkit. Justin berhasil menghancurkan benteng pertahanannya. Awalnya ia tak ingin berharap lebih dan terlau manaruh perasaan dengan pemuda itu. Kini ia malah jatuh ke dalam dekapan Justin.

Hannah terlalu larut dalam pesonanya dan ada sesuatu dari dalam diri Justin yang menarik Hannah untuk memasuki kehidupan pemuda itu. Ia sedang tergoda oleh kenikmatan dan kenyamanan yang selalu Justin berikan padanya. Apa yang sudah Justin Russell perbuat hingga berhasil menaklukan hati wanita dingin itu?

Justin mengangkat tubuh Hannah, menjauhkan kakinya dari atas tanah. Wanita itu berteriak girang saat Justin memutar tubuhnya. Pemuda itu telah membuatnya tergila-gila. Justin berhasil menciptakan segalanya terasa begitu nyata. Ia menunjukan sesuatu yang tak bisa Hannah lihat dan membuka mata wanita itu membuatnya agar lebih percaya. Bagai perumpamaan, dahulu Hannah mencoba untuk terbang namun ia tak menemukan sayapnya dimana pun kemudian pemuda itu datang di kehidupannya dan mengubah segalanya.

"You make me crazier."

Hannah tersadar dari lamunannya saat seseorang menepuk pipinya. Ia melirik orang itu dan ternyata Horton sedang menatapnya sekilas, kemudian Horton kembali terfokus ke arah depan. Saat ia memikirkan masa lalunya bersama Justin, seakan jiwa dan raganya sedang berada di tempat itu.

"Apa yang kau pikirkan?" Horton mengelus kepalanya.

"Tidak ada. Aku hanya lelah." Hannah mencoba memejamkan matanya untuk membuatnya tertidur. Ia terlalu malas menceritakan segala masalahnya kepada Horton. Yang terpenting sahabatnya itu mau membantunya.

"Tidurlah, perjalanan kita masih jauh. Aku akan membangunkanmu jika sudah sampai." Balas Horton.

"Hannah kau ingin-....." Horton menghentikan ucapannya saat melihat Hannah telah tertidur pulas dan dengkuran halusnya mulai terdengar.

"Night cheri."

Gemerlapan cahaya malam dan keramaian kota Los Angeles menemani perjalanan mereka. Hujan yang awalnya turun dengan sangat deras, sekarang sudah mereda.