Kemunculan Leopold

Hannah terduduk di atas ranjang dengan peluh keringat yang membasahi tubuhnya. Sebuah suara familiar telah mengusik tidurnya hingga ia terbangun. Hannah menyibak selimut sutra yang menutupi setengah tubuhnya kemudian kakinya turun menyentuh dinginnya lantai kamar.

"Hannah!!" Suara jeritan kembali terdengar.

Perasaannya berubah menjadi cemas, ia mengenali suara itu. Hannah beranjak pergi keluar kamar untuk mencari sumber suara yang terus menyeruak ke indra pendengarannya. Ia tak tahu dimana dirinya berada saat ini, sebuah gedung dengan lorong dan kamar yang banyak membuatnya bingung. Namun, hal itu tak menghentikan langkahnya. Ia terus menyusuri setiap lorong yang ada dengan minimnya pencahayaan di malam hari. Tangannya meraba dinding sekitar agar tubuhnya tidak membentur benda-benda di depannya.

"Agathaaaa...!!" Teriaknya saat mendengar jeritan kesakitan. Ia menangis kerena kepanikan semakin melingkupinya. Tangannya terasa sedingin es dan bergetar, menerka-nerka kejadian buruk yang sedang menimpa adik kesayangannya.

"Atha....Kau dimana sayang...." Lirihnya.

"Arkh....Hannah!! Tolong aku...." Suara teriakan Atha menggema hingga ke suluruh bangunan ini. Hannah memohon kepada Tuhan agar tidak menyakiti adiknya yang masih remaja. Ia ingin berteriak sekeras mungkin karena frustasi tak menemukan keberadaan Atha dimanapun.

Hingga matanya menangkap sebuah cahaya terang di kejauhan dari tempatnya berdiri saat ini. Jantungnya berdetak lebih kencang tidak seperti biasanya. Sontak ia berlari mendekati cahaya tersebut dan rintihan Atha semakin terdengar jelas di telinganya. Sebuah ruangan dengan pintu troli besi terpampang jelas di hadapannya.

Hannah membelakan matanya dan tubuhnya tak mampu bergerak. Sangat mengerikan melihat Atha terikat pada sebuah kursi kayu dengan rantai besi di lehernya. Baju Atha telah terlepas dari tubuhnya dan hanya menyisakan pakaian dalamnya. Terdapat luka sayat dan tusukan silet yang memenuhi tubuh bagian atas Atha. Luka-luka tersebut memicu banyaknya darah segar yang menetes hingga menimbulkan aroma amis.

"No..." Hannah berteriak histeris saat melihat seorang pria berjubah hitam membawa sebuah linggis di tangan kanannya. Ia tak mampu mengenali sosok misterius di balik topeng itu. Hannah ingin segera membuka pintu, namun, sayangnya troli besi itu terkunci.

"Arkh....!! Atha...Please....No.....!!" Teriaknya kesal. Hannah memukul-mukul troli itu, karena tak mampu membukanya. Tubuhnya luruh kebawah, ia bersimpuh sambil menggenggam erat troli besi itu. Ia menangis terisak di bawah sana, bibirnya pun bergetar.

"Jangan sakiti dia bajingan! Bunuh aku saja!" Hannah membenci dirinya sendiri yang tak bisa menolong nyawa Atha.

Tak lama kemudian, muncul kobaran api yang mengelilingi tubuh Hannah. Ia tak bisa berbuat apa, raganya terasa seperti telah tak bernyawa. Rasa perih dan panas mulai menjalar di kulitnya. Mungkin ia akan terpanggang habis sebelum kematiannya tiba. Hannah menjulurkan tangannya ke arah Atha, berharap agar adiknya mampu meraih tangannya.

Tak disangka, tiba-tiba pria misterius itu mengangkat linggisnya. Tanpa hitungan detik ia langsung menusukannya pada kepala gadis itu. Hannah menutup kedua telinganya ketika Atha berteriak sangat kencang merasakan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya. Darah terciprat mengenai wajah Hannah dan dinding di sekitarnya. Wanita itu memejamkan matanya sambil menangis ketakutan, tak mau melihat peristiwa di depannya.

🍃🌿🍃

Horton mendekati Hannah yang terlihat gelisah dalam tidurnya. Wanita itu tertidur cukup lama, Horton tak kuasa membangunkan Hannah yang terlihat sangat letih. Saat Horton sadang bersantai di balkon kamarnya, ia mendengar teriakan Hannah. Horton pun mendekati Hannah yang menangis dengan mata terpejam. Ia berupaya menyadarkan Hannah dari mimpi buruknya.

"Hannah..." Horton menepuk pipi Hannah. Namun, itu malah membuat Hannah semakin berteriak histeris dan menyerukan sebuah nama sesorang.

'Atha.' Tentu ia mengenali orang itu, Agatha De Luca.

"Hannah...." Kali ini Horton mengguncang tubuh wanita itu.

Akhirnya Hannah membuka matanya dan terbangun dengan napas terengah-engah. Dirinya terlihat sangat berantakan, lingkaran hitam terlihat di kedua kantung matanya. Ia diam tak berkutik, pandangannya menatap kosong langit-langit kamar. Dari pancaran matanya, wanita itu terlihat sedang menanggung beban berat sendiri. Mulai dari masalah perusahaan hingga masalah pribadinya. Tubuhnya pun terlihat semakin kurus.

Ia memperhatikan seluruh tubuhnya kemudian mendengus lega, menyadari bahwa semuanya hanya sebuah mimpi buruk. Tetapi, mimpi itu seolah nyata. Rasa panas api yang membakar kulit masih membekas sejak ia terbangun. Perasaanya menjadi gundah, mengingat Atha yang sedang dalam perawatan di UCLA Medical Center. Apa kaitan mimpi itu dengan dirinya? Apakah menjadi sebuah pertanda buruk? 'Semoga saja Tuhan selalu melindungi Atha.' Hannah menyentuh kalung salip pada lehernya.

"Hannah, apa yang terjadi padamu?" Karena terlelap dalam pemikirannya sendiri, ia sampai tak menyadari keberadaan Horton di sebelahnya.

"Hanya mimpi buruk." Jawab Hannah tak acuh.

Hannah mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar yang terlihat asing di matanya. Dimana dirinya berada? batinya bertanya-tanya. Sebuah kaca besar yang memenuhi dinding di depan ranjang berukuran king size, memperlihatkan pemandangan pantai dengan pesisir cokelatnya yang indah. Sepertinya ia mengenali pantai itu.

Pantai Malibu.

"Ini salah satu villa milikku di Malibu." Pria itu menjawab pemikirannya sedari tadi. Dugaan Hannah benar.

Hati Horton seakan teriris melihat kondisi Hannah yang terlihat kacau. Jauh di dalam lubuk hatinya, rasa itu masih ada malah tumbuh semakin kuat. Ia bertekad untuk melindungi dan merebut Hannah dari Justin. Hanya ia yang akan membuat Hannah tersenyum seperti sedia kala. Horton sangat yakin, suatu saat nanti Hannah akan mencintainya sama seperti ia mencintai wanita itu.

"Hannah, ada yang harus aku katakan." Raut wajah Horton menjadi serius.

"Katakan saja."

Dalam benaknya, ia harus segera melancarkan aksinya sebelum Hannah menolaknya kembali. Itu terjadi ketika mereka berusia 17 tahun, Hannah sempat menolak lamaran pertunangannya. Namun kali ini Horton akan membuat wanita itu menjadi miliknya. Hanya miliknya. Jika Hannah kembali menolaknya, terbesit pemikiran licik di kepalanya. Ia akan membuat Hannah De Luca mengandung darah dagingnya.

"Aku masih mencintaimu." Setelah Horton mengucapkan kaliamat tersebut, mereka saling terdiam. Hannah memasang wajah datarnya.

"Hentikan omong kosong itu lagi. Kau akan tetap kuanggap sebagai sahabatku, tidak lebih dan tidak kurang. Selamanya!" Hannah memutar bola matanya, jengah mendengarkan kata cinta dari setiap pria di muka bumi ini.

Horton tak terima kali ini Hannah telah mencampahkannya. Ia pergi meninggalkan wanita itu sendirian di kamarnya. Karena ucapan wanita itu membuat dirinya termakan emosi. Ia memilih menikmati keindahan pantai Malibu untuk menenangkan diri. Mungkin sedikit melakukan gerakan yoga adalah pilihan yang tepat.

'Kau akan merasakan akibatnya!' kutuk batinya.

🍃🌿🍃

Hannah terkejut saat Horton langsung meninggalkannya dan membating keras pintu kamar itu. Raut wajah Horton terlihat sangat kesal dan marah. Ia tak mengambil pusing akan kemarahan Horton karena Hannah telah mengetahui dan terbiasa menghadapi perubahan sikap pria itu. Lebih baik memberikan waktu untuk Horton menyendiri ketika suasana hatinya sedang buruk.

Hannah beranjak menuju balkon kamar untuk menikmati pemandangan Malibu di pagi hari. Dress putihnya terhembus buaian angin laut. Burung camar mengepakan sayapnya yang indah dan terbang bebas di atas sana. Ingin rasanya segera menapakan kaki di atas pasir cokelat itu.

Pantai Malibu memiliki ombak yang sangat bagus untuk berselancar atau hanya sekedar menikmati pantai dengan berjalan kaki. Mineral mika memberikan efek kemilau perak pada pasir di pantai itu. Tanaman subtropis yang lengkap dan iklim mediterania berhasil menjadi daya tarik berlibur.

Tiba-tiba suara deringan telepon yang nyaring menganggu ketenangannya. Lalu ia berjalan mendekati sebuah telepon yang terletak di atas nakas tempat tidur, kemudian meraih gagang telepon itu.

"Who am I talking to?" Sapanya.

"Kematianmu telah tiba!" Ancam sesorang di seberang sana, lantas mematikan sambungan telepon itu.

Jleb!

Suara itu... Suara berat tersebut terdengar sangat familiar, ia mengenali sang gerangan. Hannah menutup keras gagang telepon, tubuhnya menegang seketika.

Hannah berlari keluar dan menuruni tangga untuk memberitahukan hal ini kepada Horton. Ia menelusuri seluruh ruangan villa yang tak Hannah hafal seluk beluk bangunan itu. Hannah tak kunjung menemukan sosok yang dicarinya. Ia bertanya kepada seorang pelayan yang sedang membersihkan lantai. Pelayan tersebut memberitahukan jika Horton berada di luar villa. Tangannya menunjuk arah jalan untuk menuju pantai.

Jantungnya berdetak kencang akibat kegusaran yang tengah melandanya. Kata-kata sang penelpon membuat dirinya cemas dan takut. Ia mengira jika kaki tangan Justin tak akan menemukannya di kota ini, tetapi anggapan itu salah. Hannah tak ingin kembali terkurung dalam neraka milik Justin Russell. Dahulu mansion itu merupakan surga baginya tetapi kini berubah menjadi neraka, lantaran kekejaman dari sang pemilik rumah. Hannah mempercepat langkahnya ketika melihat punggung pria itu yang duduk di atas bebatuan.

"Horton!" Panggil Hannah sehingga pria itu menolehkan kepalanya ke sumber suara.

"Horton, Leopold menemukanku dan berkata jika kematianku telah tiba!" Hannah menggoyangkan lengan Horton utuk menyadarkan pria itu bahwa keadaan menjadi genting.

"Apa? Dad ternyata ikut campur dalam masalah ini!" Mendengar aduan wanita itu, ia mengatupkan bibirnya kesal dan rahangnya mengeras. Emosi seakan membakar tubuhnya ketika mengetahui persengkokolan Leopold dengan Justin.

Para bajingan yang haus akan harta kini mulai menggila. Ia dapat melihat ketakutan dan kekhawatiran yang terpancar dari wajah wanita di depannya ini. Hannah harus segera pergi sejauh mungkin dari dunia mereka atau membunuh keduanya. Horton tak memperdulikan jika Leopold adalah Ayah kandungnya. Karena lelaki itu telah berubah menjadi monster. Ia mengangkat tangannya untuk mengelus rambut pirang Hannah.

Dari balik punggung wanita itu, Horton melihat sekumpulan bodyguard yang berlari ke arah mereka. Mereka bukan bodyguard Ayahnya dan sudah pasti sasaran mereka saat ini adalah dirinya dan Hannah.

"Hannah cepat lari!" Bentak Horton secara tiba-tiba, hingga membuat wanita itu tersentak.

"Tapi kena-..." Perkataanya terhenti karena Horton mendorong tubuh Hannah untuk segera menyingkir.

"Lari sejauh mungkin! Aku akan mengurusinya!" Teriak Horton yang sudah tertahan oleh salah satu anak buah Justin.

Hannah membelakan matanya terkejut ketika melihat para pria berseragam serba hitam yang nyaris akan meraih tubuhnya. Ia segera berlari seperti perintah Horton. Hannah mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari sekencang mungkin agar terhindar dari kejaran para pengawal Justin, mungkin. Sialan, pasir di sepanjang pantai menyulitkan langkahnya untuk berlari cepat hingga mereka berhasil menangkap Hannah.

Hannah berteriak meminta tolong dan memberontak dalam kekangan salah satu dari mereka.

"HORTONNN!" Berharap pria itu mampu menyelamatkannya. Tak disangka beberapa anak buah Justin memukuli Horton dan langsung membekap mulutnya ketika ia lengah.

Hannah terus mengayunkan kaki ketika mereka hendak mengikat kakinya. Sudah jelas kekuatannya tak sebanding dengan para pengawal atau bodyguard Justin. Tak ada yang mampu menolongnya karena areal pantai tersebut tergolong daerah private milik villa Horton sehingga tak banyak yang dapat mendengar teriakannya.

Mereka berhasil mengikat tangan dan kaki Hannah, mengunci mulutnya dengan duct tape serta menutupi kepalanya dengan kain hitam. Dirinya benar-benar di perlakukan seperti seorang tawanan yang dibopong kemudian ditempatkan pada bagian bagasi mobil.

"Aku belum pernah melihat putri bangsawan diperlakukan sehina ini." Mereka mengejek dan mentertawakan nasib Hannah yang malang. Wanita itu menggeram marah ketika mendengar percakapan dari mulut para pengawal.

🍃🌿🍃

Mata hitam pekat itu menatap lurus pemandangan halam belakang mansion melalui ruang kerja Justin. Ia tengah menunggu kedatangan para pengawal Justin yang membawa Hannah. Seringaian licik terbit di wajahnya ketika merasa puas mampu membalaskan dendam di masa lalunya.

Suara deruan mobil akhirnya terdengar memasuki perkarangan mansion. Leopold sudah mengetahui kedatangan para pengawal Justin. Ia duduk pada kursi kebesaran milik keponakannya, menanti wanita jalang itu untuk berlutut di hadapannya.

Tak lama kemudian pintu ruang kerja terbuka dan mereka langsung menghempaskan tubuh Hannah hingga tersungkur di lantai. Wanita itu merintih kesakitan dan hanya mampu menggeliat akibat tali yang mengekang tubuhnya.

"Buka penutup kepalanya dan duct tape itu!" Perintah Leopold.

"Arkh....." Ringis Hannah karena mereka membuka kasar dan asal duct tape di mulutnya. Kemudian membangunkan tubuhnya agar bersimpuh di hadapan pria laknat itu.

Ketika penutup kepalanya terbuka, Hannah menatap sengit ke arah tubuh tegap yang berdiri angkuh dari tempat duduk. Apa maksud pria paruh baya itu yang ikut campur tangan dalam hubungannya dengan Justin? Leopold hanya menyunggingkan bibirnya menyambut kedatangan Hannah.

"Cih, apa maumu?" Hannah berdecih kesal.

"Mauku?" Leopold mengernyitkan dahinya dan menunjuk dirinya sendiri seolah-olah tak mengerti maksud Hannah.

"Bodoh! Tentu saja kau!" Hannah semakin muak dengan seringaian Leopold.

"Karena perbutanmu nama baik keponakanku menjadi tercemar dan ulahmu membuatnya tertangkap polisi!" Leopold menatap tajam mata biru itu kemudian mendekati Hannah.

"Nama keponakanmu sudah jelek sebelum dia tertangkap polisi!" Balas Hannah.

Leopold membungkukkan tubuhnya dan berujar kepada Hannah. "Malam ini Justin akan pulang dan kau harus menutup mulutmu kepada polisi!"

"Tidak akan!" Hannah berteriak melawan perintah Leopold.

Pria di depannya lantas mencengkram rahangnya dan mendongakkan kepala Hannah menghadap ke atas. Tindakan Leopold dan Justin sama-sama tidak bisa menghargai para wanita. Entah berapa banyak wanita yang telah mereka kasari atau hanya Hannah seorang.

"Lancang sekali kau! Bukankah Justin telah mengajarimu bagaimana bersikap yang benar!" Leopold dibuat geram oleh penolakan wanita itu.

"Tidak ada yang bisa memerintahku disini!" Hannah kembali berteriak hingga suaranya mampu didengar oleh seluruh penghuni mansion.

"Wah! ternyata Lady seperti dirumu tak tahu sopan santun!" Desis Leopold yang membuat amarah Hannah semakin melonjak.

"Kau dan Justin adalah pria terlemah yang pernah kutemui karena hanya berani mengasari wanita!" Bentaknya membuat Leopold hanya terkekeh menanggapi omong kosong Hannah. Wanita itu tak mengetahui seberapa kejam perlakuannya jika seseorang berani meremehkan kemampuannya. Leopold masih cukup bersabar dan belum bergerak untuk menghukum Hannah.

"Bukan aku yang akan mati tetapi kalianlah yang akan mati!" Leopold merasa wanita di bawahnya terlalu banyak berbicara. Ia lantas menarik rambut Hannah.

"Akan kuajarkan bagaiman cara berbicara yang benar!" Kini Hannah adalah budaknya. Ia menurunkan kepala Hannah, memaksa wanita itu untuk mencium sepatunya.

Hannah hanya memberontak dalam ikatan tali, tak mampu melawan iblis kedua di hadapannya. Selain itu Leopold terus menekan kepalanya sambil mencengkram lehernya. Hannah memejamkan matanya dan menahan tubuhnya agar tak mencium sepatu Leopold. Ia berharap keajaiban akan datang menghampirinya.

Seekor anjing jenis English labrador retriever tiba-tiba memasuki ruangan itu. Ia menerobos di bawah kaki para pengewal Justin yang tak menyadari kedatangannya, sehingga mereka berjatuhan. Anjing itu menyalak galak kemudian melompat dan menubruk tubuh Leopold. Perbuatan anjing itu memicu aksi pria bejat yang menyakiti majikannya terhenti.

"Oddy!" Pekik Hannah tertetegun melihat peristiwa di depannya.

Oddy menggigit lengan Leopold membuat kemejanya robek dengan gigi tajamnya dan mencakar wajah pria itu. Peperangan dimulai ketika Leopold berusaha melawan seekor anjing berukuran besar yang menindih tubuhnya. Anjing itu semakin ganas menghabisi Leopold. Leopold berhasil menahan moncongnya untuk mencegah Oddy menggigit wajahnya.

"Kalian bodoh atau apa! Singkirkan anjing kampung ini!" Gertak Leopold kepada pengawal Justin dengan berteriak histeris.

Mereka semua kewalahan menangkap anjing itu yang semakin mengamuk. Oddy terus menyalak, menggonggong, dan menggeram memperlihatkan deretan gigi tajamnya yang dikotori akan darah dari Leopold. Hingga akhirnya salah satu dari mereka menembakkan bius kepada Oddy.

"Oddy!" Jerit Hannah. Anjing itu terjatuh tak sadarkan diri tepat di sebelah Hannah. Matanya perlahan-lahan terpejam.

"Apa yang kalian lakukan!" Hannah menuntut tak terima dengan perlakuan dari pengawal Justin terhadap anjing peliharaannya.

"Harusnya kau bertanya apa yang dilakukan anjing gila itu kepadaku!" Kaki Leopold menendang kepala Oddy untuk melampiaskan emosinya.

"Hey! Bahkan kau tak mengasihi binatang!" Teriakan Hannah semakin nyaring akibat ledakan emosinya yang tak mampu ditampung lagi.

Leopold menjadi bosan mendengar perlawanan terus-menerus dari wanita itu. Ia melenggang pergi dari ruangan kerja Justin untuk mengobati lukanya.

"Kurung wanita gila bersama anjingnya di kamar dan matikan seluruh pendingin ruangan di kamar itu! Jangan beri mereka makan dan minum. Aku akan kembali menemuinya!" Perintah Horton kepada pengawal Justin.

Tbc-

Note - You can read this novel on the Wattpad version with additional visual and video images! Find me @bintangparamita on Wattpad!