Pelantikan Pin (7)

Setibanya Rian dan Ditya di salah satu ruangan kelas, tempat berkumpulnya klub musik, Ade pun memberikan beberapa pengarahan tentang jadwal berikutnya, yaitu ishoma. Istirahat, shalat dan makan selama 1 jam.

Setelah melaksanakan Ishoma, mereka berkumpul lagi di ruangan tadi. Putra memimpin perkumpulan dengan menyampaikan hal-hal penting yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan setelah mereka resmi menjadi anggota klub. Dia juga menyampaikan ucapan selamat bagi para anggota yang sudah melalui segala tantangan guna mendapatkan pin tersebut.

Evaluasi berlangsung selama 1 jam. Setelah itu mereka dipersilahkan bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Sementara anak tingkat satu bubar, sebagian senior pergi menuju ruang kesekretariatan. Mereka adalah Ade, Putra, Rian, Desta dan Rama. Di sana mereka berbincang-bincang mengenai kegiatan tadi.

"Akhirnya beres juga ya. Aku sampe ngerasa capek banget deh, padahal cuma pelantikan pin." kata Rama.

"Loh, kenapa kamu yang capek. Emangnya kamu yang dilantik?" tanya Desta sambil tertawa.

"Lah gimana aku nggak capek. Aku itu dapet junior yang otaknya pada lemot banget. Disuruh ini nggak bisa, itu nggak bisa. Semua tantangan yang aku kasih mereka gagal paham. Sampai bikin aku stres dan gregetan sendiri. Akhirnya aku lulusin aja mereka semua." keluh Rama.

"Untung tadi aku kebagian temen-temennya Ditya yang pintar. Jadi nggak bikin emosi jiwa." ucap Desta.

"Ngomong-ngomong, tadi si Ditya ambil pin sama siapa?" tanya Rama penasaran.

"Sama Kak Rian." jawab Desta.

"Oh ya, tadi kenapa kamu sama Ditya lama banget balik ke kelas, Ian?" tanya Ade.

"Kami keasikan ngobrol tadi, jadi lupa waktu." jawab Rian samar.

"Hah? Keasikan ngobrol? Nggak salah tuh, Kak?" tanya Rama terkejut.

"Memangnya kenapa?" Rian bertanya kembali pada Rama.

"Sejak kapan Ditya asik diajak ngobrol? Emangnya dia nggak bersikap menyebalkan sama kakak?" tanya Rama.

"Menurut aku dia perempuan yang cerdas dan asik diajak ngobrol. Dia bahkan sama sekali nggak menyebalkan. Kenapa kamu berpikir seperti itu, Ram?" Rian mengungkapkan pendapatnya mengenai Ditya. Dia heran kenapa Rama bisa berpikiran bahwa Ditya adalah orang yang menyebalkan sementara yang dia rasakan justru sebaliknya.

"Karena kami pernah beberapa kali melihat dia bicara dengan seseorang dan selalu bersikap menyebalkan kepadanya." Ade menjelaskan sambil tertawa dan melirik ke arah Putra.

Rama dan Desta pun ikut tertawa. Bahkan Rama menambahkan, "Sepertinya Ditya memang hanya bersikap seperti itu dihadapan Putra."

"Apa kalian nggak berpikiran sama denganku kalau dia memang menyebalkan?" tanya Putra kesal, "Dia bahkan mengerjai aku habis-habisan tadi."

"Sama aku sih, nggak. Bahkan dia pernah memberikan nasi goreng saat di Bandung kemarin. Iya nggak, Des?" Rama meminta dukungan dari Desta.

Desta pun mengangguk setuju. "Dia juga selalu bersikap baik sama aku."

"Memangnya apa yang terjadi tadi saat pelantikan pin?" tanya Rian penasaran. Hal inilah yang sejak tadi mengganggu pikirannya dan sempat dia tanyakan pada Ditya. Tapi Ditya terlihat enggan menceritakannya.

"Tadi waktu Ditya minta tanda tangan Putra, Putra berniat mengerjainya dulu dengan menyuruhnya menghitung jumlah daun yang ada di pohon tempat kami berdiam tadi," jelas Desta, "Awalnya Ditya menolak karena menurut dia tantangan Putra sangat nggak berfaedah. Tapi akhirnya dia menyebutkan sejumlah angka."

"Terus?" tanya Ade ikut penasaran.

"Putra masih bersikeras ingin mengerjai dia. Dia bilang jawaban Ditya salah dan menyuruhnya menghitung jumlah daun itu satu per satu. Tapi siapa sangka Ditya malah memberikan serangan balik." Desta tertawa saat mengingat penggalan peristiwa tadi.

"Serangan balik bagaimana?" tanya Rama.

"Alih-alih menghitung jumlah daunnya, Ditya justru menyuruh Putra menghitung daunnya sendiri. Dia bilang, karena Putra yang mengatakan bahwa jawabannya salah, maka Putra yang harus membuktikan perkataannya dengan menghitung jumlah daun itu sendiri. Dengan demikian Ditya akan mengakui kesalahannya."

Semua orang yang ada disana tertawa mendengar cerita Desta. Mereka membayangkan betapa jengkelnya Putra saat itu.

"Bukan hanya itu aja. Dia bahkan nggak ngasih aku ruang sama sekali untuk berkelit. Dia bilang seperti ini 'Ketika seorang pengacara menyatakan bahwa seorang terdakwa salah, maka pengacara itu akan mendukung pernyataannya dengan bukti-bukti yang konkret. Tapi, kalau pengacara itu tidak dapat memberikan bukti konkret maka tuduhannya cacat di mata hukum.'" Putra mencoba memperagakan setiap perkataan yang diucapkan Ditya di hadapan semua orang, "Coba kalian pikir, bagaimana menyebalkannya dia? Menganalogikan insiden itu sebagai sebuah persidangan. Sebenarnya dia itu anak sastra atau anak hukum?" tanya Putra kesal.

"Kan Ditya udah jawab kalau dia anak ibu-bapaknya." jawab Desta sambil menahan tawa.

"Sumpah dia jawab begitu?" tanya Ade.

"Iya. Nyebelin kan?" Putra meminta dukungan.

"Tapi jawaban Ditya bener juga, sih. Nggak ada yang salah." kata Rama sambil menertawakan Putra. "Sepertinya cuma dia yang berani bersikap seperti itu pada Putra."

"Ditya lucu juga, ya. Dia itu kelihatannya jarang ngomong. Tapi sekalinya ngomong kayak begitu." Rian tersenyum mendengar cerita-cerita tentang Ditya. "Ditya itu sebenarnya memiliki imajinasi yang luar biasa."

"Tapi imajinasinya terlalu liar sampai dia berani memperlakukan seniornya seperti itu." timpal Putra. "Sepertinya kak Rian cepat akrab dengan Ditya."

"Kami nggak seakrab itu kok." jawab Rian. "Aku hanya mengagumi cara berpikirnya."

"Eh, ada yang mau beli minum nggak? Seret, nih." kata Rama.

"Yuk, kita beli minum dulu, Ram. Aku juga seret." ajak Desta.

"Aku ikut, deh." kata Ade.

"Kak Rian sama Putra mau nitip atau ikut juga?" tanya Rama.

"Aku nitip aja, deh. Minuman ion yang botol ya." kata Putra.

"Kalau aku air mineral aja." kata Rian.

"Ok."

Mereka bertiga pun akhirnya pergi menuju salah satu kantin yang letaknya tidak jauh dari sana.

Putra mengamati Rian yang mulai kembali membaca buku yang dia bawa tadi. Rian membaca sambil tersenyum. Putra bertanya-tanya dalam hati, apakah Rian tersenyum karena isi bukunya ataukah karena hal lain.

"Kak, menurut kakak Ditya itu seperti apa?" Putra mencoba memulai pembicaraan lagi. Sebenarnya dia sangat penasaran kenapa tadi Rian sampai bela-belain mencari Ditya setiap kali Ditya lama mengerjakan tugasnya.

"Baik." jawab Rian samar. "Memangnya kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Kalau aku perhatikan sepertinya kamu dan Ditya cukup dekat. Walaupun kamu bilang sering bertengkar sama dia, tapi itu justru menunjukkan kedekatan kalian berdua." kata Rian. Pandangannya tertuju pada bukunya. "Apa kamu menyukai dia?"

"Nggak lah, Kak. Masa aku suka sama perempuan tomboy dan menyebalkan seperti Ditya." bantah Putra.

"Siapa tahu? Nggak ada yang nggak mungkin. Kamu laki-laki dan dia perempuan. Kalian juga sering berinteraksi. Dan cara kamu memperlakukan dia berbeda dengan cara kamu memperlakukan wanita lain. Kamu biasanya lembut sama perempuan, memperlakukan mereka dengan baik. Tapi dengan Ditya, kamu bersikap sebaliknya, kamu selalu mencari celah agar bisa dekat dengan dia. Seolah-olah Ditya memang sosok yang spesial bagi kamu." jelas Rian.

"Bagaimana kakak bisa berpikiran seperti itu? Aku nggak punya perasaan apapun sama dia, kok." Putra berlagak polos sambil tertawa kecil.