Jika aku bisa terbang, barang tentu aku sudah melesat dan tidak terpaku pada gang buntu di hadapanku ini. Mungkin ada sepuluh orang yang mengejar diriku sekarang, tak ada satu pun yang kukenal, namun kutahu jika nyawaku berada dalam bahaya.
Satu jam yang lalu, aku masih mengisap rokok terakhir di sudut kamar, dan hendak keluar rumah untuk mencari tambahan nikotin yang bagai candu di hidupku.
Sebetulnya, merokok saja sudah haram untukku. Bagaimana tidak, aku yang pengangguran ini hanya bisa hidup jika ibuku memberikan sebagian upah mengangkat sawitnya untukku. Dan aku bukannya tidak mau bekerja, hanya saja, menemukan pekerjaan yang sesuai selera tidaklah mudah. Bos yang pemarahlah, rekan kerja tak kompetenlah, atau gaji yang kurang, ada saja alasanku untuk bisa berleha-leha saja di atas dipan.
Hal terpintar yang bisa kulakukan sebagai pengangguran adalah, menukar jenis rokokku menjadi kretek. Apa saja, yang penting bisa merokok.
Saat aku melangkah kurang dari seratus meter dari rumah, kudengar suara berdebam keras layaknya nangka yang jatuh dati ketinggian. Aku takut bila suara itu berasal dari hantu yang sedang santer beredar di desaku. Tapi dasar otakku yang sudah kurang ajar, bukannya lari, kaki ini malah melangkah mendekati sumber suara.
Aku tidak bisa bersyukur karena bukan hantu yang nampak di sana, tapi ada seonggok tubuh yang mengerang dengan luka lebam dan darah yang mengalir dari luka di perutnya.
Ada orang lain di samping tubuh itu, namun bukannya menolong, sosok sehat itu justru meninggalkan sikorban sekarat.
Napasku terasa tak mengisi paru-paru, tak ada kekuatan di kakiku, dan tatapan menusuk dari manusia sekarat itu semakin membuatku lemas.
"Tolong!" Ia berbisik dengan terputus. Aku masih enggan mendekatinya, namun moral menuntunku untuk melakukan pertolongan pertama, walau pertolongan itu terasa terlambat. Sang korban mati setelah sesaat memberikan selembar foto di tanganku. Aku tak mampu bergerak, dingin di tengkuk bercampur gemetar hebat di kedua tanganku.
Tiga orang duduk manis seperti sebuah keluarga di dalam foto itu. Seorang gadis kecil, seorang wanita paruh baya, dan seorang pria yang kuyakin adalah mayat di sebelahku.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Kira-kira itu yang ada di pikiranku. Belum juga kutemukan jawabannya, sekelompok orang datang dan meneriakiku. Mereka menuduh, berteriak, dan mengacungkan telunjuknya padaku, karena menganggapku sebagai pembunuh. Aku mencoba berargumen. Tak ada sedikitpun kesalahan, malah seharusnya dirikulah yang dilindungi sebagai saksi. Namun, kelompok itu justru semakin gencar mendesakku.
Bingung, panik, dan kuyakin, yang bisa kulakukan sekarang adalah kabur, melarikan diri sejauh mungkin dari kejaran kelompok yang menganggapku penjahat.
Sudah kuusahakan agar kaki ini bisa semakin cepat. Namun, gerombolan itu juga tak kalah cepat, dan seperti stamina yang kurang yang dimiliki seorang perokok, akhirnya pelarianku berhenti dengan kelompok yang mencekalku.
Intimidasi membuatku takut, dan bayangan bahwa aku akan dihakimi membuat celanaku basah oleh air kencing. Saat aku tersadar dari tidur, bau pesing di sekitar tempat tidur membuatku malu setengah mati.
Andai cerita bisa selesai dengan malu karena mengompol, andai saja selembar foto di tanganku sekarang tak membuat bulu kudukku meremang.
Bersambung.