Aku Butuh Obat

"Kamu yakin itu hanya mimpi?" Seorang psikiater duduk di hadapanku. Ia siap mendengarkan segala keluhanku yang berakhir dengan obat. "Secara singkat, ada bagian dari otakmu yang menolak memberi gambaran jelas tentang realita dan mimpi."

"Apa saya gila, dok?" aku lemas, tapi mencoba tetap tenang dengan semua omong kosong kesehatan mental ini. Awalnya aku menolak penilaian dan treatmen apapun yang merujuk kepada kondisiku sekarang, tapi kejadian mimpi, dan foto membuatku gusar.

"Anggap saja jika ini kondisi dimana anda sedang lemah secara psikis." dia mencoba menulis diagnosa dalam catatan rekam medisku. "Ada lagi yang mau ditanyakan?"

Aku menggaruk kepala, rasanya seperti seseorang membelaiku sekarang, "tidak, Dok." dan sesi pemeriksaan itu menghantarkanku ke farmasi, lalu pulang.

Tubuh ini pun tersedot lembabnya kasur. Aku lemas, dan malas, kombinasi yang membuatku enggan bergerak. Hingga ingatanku terpacu pada foto keluarga asing di dompetku.

Foto itu masih lekat di sana. Aku tak yakin bila aku pernah secara langsung mengenal mereka, bahkan pria gagah di foto itupun terasa amat asing.

"Siapa kalian?" aku berbisik.

Ada suara ibuku menyanyikan tembang jawa dengan suara tuanya yang terdengar jernih dan manis, dan seperti nina bobo, nada yang mengalun membuatku terpejam, dan jatuh pada mimpi.

Di dalam mimpi, aku bisa melihat seorang anak perempuan dengan sepeda merah jambu melambaikan tangan pada orang tuanya. Salah satu dari mereka adalah pria yang memberikanku foto keluarganya. Dan aku hanya bisa menatap tanpa mengerti apa yang ku lihat.

Pelan, tiba-tiba aura bahagia itu memudar. Sang ayah tak lagi tersenyum, si ibu tak lagi memeluk suaminya, dan sang anak mulai berhenti bermain, dan yang lebih menakutkan, mereka menatapku dengan mata dingin.

Lalu aku terbangun.

Dadaku seperti dimasuki es. Ototku kaku, dan ku rasa nafasku keluar dan masuk seperti dipenuhi serabut kayu.

Mimpi apa lagi ini? Aku sungguh gusar. Saat perasaan ini bercampur, ku buka seplastik obat yang ku bawa dari rumah sakit, membuka bungkusnya, dan menenggaknya dengan bantuan segelas air.

Efeknya tidak langsung terasa, aku bahkan masih merasa cemas hingga tiga jam atau lebih sejak aku meminum obat itu, dan selama itu pikiranku mulai membisikkan hal yang tak jelas, seperi ada suara lain yang mengajakku bebincang.

Aku sudah pasti gila.

Pasti.

Rasanya tubuh ini melemah. Bayangan foto itu menghantui tanpa mau berhenti. Dan bodohnya aku, bukannya menenangkan diri, aku malah keluar rumah dan berjalan linglung entah kemana.

"Apa yang ku lakukan?" batinku bicara, "Hey kaki, berhenti berjalan!" otakku seperti konslet, tak ada respon pada kaki, mereka malah berjalan seperti tak tahu arah.

Di sudut perempatan, entah mengapa aku ingin berlari, menjerit, berteriak. Semua orang memandangku, dan di saat kaki ini mengambil langkah di jalanan yang padat, sebuah mobil menyerempetku.

Aku terpental dan tak sadarkan diri.