Revano❤
5:30
Malam baby 😚
Lagi apa, beb?
Beb???
Revan 😭
Anna mendesah kesal, pasalnya Revan tak kunjung membalas pesannya.
Kemana sih dia? Dari tadi pesanku gak di bales. Boro-boro di bales. Di baca juga kaga!
"Kenapa lu?"
Anna hanya menggeleng menjawab Manda.
Malam minggu ini ia menghabiskan waktu bersama kedua sahabatnya -Manda dan Karin, di flat Karin. Seperti biasa mereka menghabiskan malam minggu bersama, itu pun jika Karin tidak malam mingguan dengan Erik.
"Oh ya Rin, Man. Jadi bener ya kemaren Revan ke kelas nyari gue?"
Anna sekali lagi bertanya memastikan seraya memeluk boneka, berbaring berbarengan dengan kedua sahabatnya itu.
"Iya, kita berdua juga kaget, An. Bahkan anak-anak yang saat itu di kelas juga pada bengong. Iya gak, Rin?"
"Yups! Tumben-tumbenan tuh anak nyamperin lo, pake acara dateng langsung ke kelas. Emang ada apa sih, An?"
Karin dan Manda memasang tampang penasaran. Sementara Anna tersenyum-senyum melihat tampang keduanya. Akhirnya Anna pun bangkit dari tidurnya.
"Gue, JADIAN DONG SAMA REVAN"
Anna berkata dengan girang, membuat Manda dan Karin bangkit seketika.
"What? Serius lo, An?!"
Karin teperagah mendengar penuturan Anna. Dia takut telinganya yang salah dengar.
"Tadinya gue mau cerita kemaren, tapi keburu bel masuk, dan gue malah jadi lupa. Abis gue juga masih belum percaya sih"
"Ah pasti bo'ong kan? Paling doi abis nyeramahin lo, secara kan lo kemaren buat heboh satu sekolah lagi"
"Ah lo mah, Man. Gak percayaan mulu sama gue. Serius gue!"
"Jadi beneran?"
"Ya"
"Oh God, akhirnya sahabat gue yang satu ini taken juga"
Karin berkata seraya merangkul Anna. Begitu pun juga Manda, ia tak kalah seneng, walau tidak lama alisnya saling bertautan.
"Tapi kok aneh sih, tiba-tiba kalian bisa pacaran. Secara dari dulu kan si Revan cuekin lo mulu"
Manda merasa bingung sendiri. Hal itu tentu juga terpikirkan Karin.
'Mungkin dia mulai eneg sama gue. Karena gue bawa masalah mulu buat dia..
"An, lo kok malah diem sih"
Karin berdenyit, membuat Anna tersenyum akhirnya.
"Udah jangan kalian pikirin, yang penting akhirnya gue bisa dapetin Revan baik raga dan hatinya...-"
'Mungkin, suatu saat nanti..
Ya, Anna bukan gadis bodoh yang percaya gitu saja, jika lelaki itu tiba-tiba saja menerima permintaannya. Apalagi coba selain yang namanya terpaksa.
Anna percaya suatu saat Revan bisa melihat dirinya, dan merasakan apa yang ia rasakan selama bertahun-tahun itu. Well, ia hanya perlu sedikit bersabar.
Jika Anna tengah berkumpul dengan kedua sahabatnya, pun dengan Revan.
Ia besama Dimas, Marchel dan Billy saat ini juga menghabiskan waktu bersama di rumah Revan. Berbeda dengan Dimas dan Marchel yang lebih memilih bermain playstation, Revan lebih memilih memetik gitar, sementara Billy sibuk dengan ponselnya.
"Oh ya, Van. Jadi gimana soal itu?"
Dimas bertanya tanpa menghentikan kegiatannya. Revan yang saat ini sedang fokus dengan gitarnya pun melirik Dimas sekilas.
"Ikuti seperti kata lo saja"
Dimas yang mendengar itu seketika mem-pause game yang ia mainkan. Hal itu tentu mendapat protesan dari Marchel.
"Anjir! Lo serius? Lo beneran ngikutin saran gua?"
"Ya"
Marchel dan Billy hanya melihat keduanya itu bingung.
"Ngomong apa si lo berdua? Saran apa coba?
Tanya Marchel penasaran. Dimas akhirnya membisikan sesuatu kepada Marchel yang duduk di sebelahnya. Terlihat mata Marchel melotot kemudian.
"ANJRIT!"
"Apaan sih kalian, kasih tahu gue juga kali!"
Protes Billy yang semakin penasaran. Revan yang melihat sahabat-sahabatnya itu hanya menggelengkan kepala. Dimas pun bangkit dan menghampiri Billy.
"Gini bro, sobat lo yang satu itu udah gak jomblo lagi"
Kata Dimas seraya menunjuk Revan dengan dagunya.
Billy berdenyit.
"Maksud lo, si Revan udah jadian sama cewek? Sama siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan donatur terbesar di sekolah kita.."
"Cius lo?!"
Billy melotot tak percaya, ia pun menghadapkan tubuhnya ke arah Revan.
"Van, lo serius jadian sama si Anna? Bukannya lo gak minat kan? Kok tiba-tiba... lo gak ada apa-ap....-"
"Udahlah bro, yang penting mereka udah taken. Lo gak usah mikir jauh-jauh..."
Potong Dimas dengan cepat.
"Ya gak apa-apa sih, kalau Revan gak mau kan bisa buat gue.."
"Yeee... si Rena mau lo kemanain?"
Dimas menonjor kepala Billy. Billy meringis, mengusap-ngusap kepalanya.
"Biasa saja kali, orang bercanda juga.."
"Tapi gue juga rada gak percaya sih. Seorang Revan akhirnya punya cewek. Gue kira lo..."
"Homo?"
Tanya Revan cepat, memotong perkataan Marchel. Membuat Dimas dan Billy tertawa terbahak setelahnya.
"Si kampret, Ya kali Revan homo. Kalau iya lo udah dipacarin kali.."
Billy berkata seraya melemparkan kulit kacang pada Marchel, tapi berhasil di tepas olehnya.
"Walo gue homo juga belum tentu mau sama lo pada!"
"Mit, amit. Gue masih normal, Van. By the way, selamat ya bro! Jangan lupa makan-makannya"
"Iya nih, Van. PJ dong!"
"Makan mulu yang ada di otak lo berdua!"
Cibir Dimas mendengar penuturan Marchel dan Billy.
"Gausah muna deh, lo juga pasti mau"
Dimas hanya memutar kedua bola matanya malas, akhirnya ia menghiraukan perkataan Marchel. Karna ada hal yang lebih menarik yang kali ini untuk dia perhatikan. Dia adalah Revan, seraya melamun, memikirkan sesuatu. Membuat laki-laki itu diam-diam menyeringai. Ya! Karna baginya, ia telah berhasil membawa Revan masuk ke dalam perangkapnya.
***
Revan berdenyit, tatkala di pagi hari ia mengecek ponselnya, seperti biasa ada pesan-pesan asing yang selalu ia abaikan. Tapi kali ini matanya tertuju pada beberapa pesan dan miscall dari Anna malam tadi. Laki-laki itu lupa bahwa dirinya sudah memiliki pacar yang pasti ingin di perhatikan.
Anastasya
Malam baby 😚 18:45
Lagi apa, beb? 19.00
Beb??? 19.09
Revan 😭 19.25
Ya
Jawab Revan akhirnya setelah berkutat lama dengan pikirannya.
Ia melihat Dimas, Billy serta Marchel yang masih tertidur. Mengingat malam tadi mereka begadang.
Revan pun keluar dari kamarnya, melangkahkan kakinya menuju dapur. Di lihatnya sang mommy tengah memasak bersama asisten rumah tangga mereka.
"Pagi mom.."
Sapa Revan seraya mengambil gelas di nakas dan mengisinya dengan air. Mendengar itu Laura menghentikan masaknya, dan menyerahkannya kepada sang asisten.
"Pagi sayang, temanmu masih pada tidur?"
Laura menghampiri Revan yang saat ini duduk di kursi pantry.
"Masih mom.."
Laura mengangguk.
"Van, hari ini mommy sama daddy mau pergi ke acara temen daddy di Bandung. Mommy mau kamu jagain Gwen ya. Soalnya acaranya itu khusus orang dewasa gitu. Kamu ngerti kan maksud mommy?"
"Iya, mom. Masalah Gwen serahin saja sama Revan. Mommy gak usah khawatir"
Revan tersenyum menenangkan.
.
"Syukurlah mom jadi tenang sekarang, mom beresin dulu masak ya, sebelum daddy sama teman-temanmu bangun"
"Oke mom"
Revan pun memutuskan kembali ke kamar dan mengambil handuk untuk membersihkan dirinya. Tapi sebelum itu, ia melihat kembali ponselnya. Belum ada tanda pesan masuk.
Ngapain sih gue?
Revan mendengus, ia meletakan ponselnya dan memasuki kamar mandi.
Sedangkan Anna menggeliat dari tidurnya tatkala jam waker di samping tempat tidurnya terus berbunyi.
"Elah... berisik banget sih. Matiin kali Rin!"
Anna menggeram dengan mata yang masih terpejam. Ia masih mengantuk sadari malam tadi begadang bersama kedua sahabatnya. Di samping itu dia tidak bisa tidur karna menunggu balasan pesan dari Revan, yang nyatanya tidak kunjung di balas.
"Hmmm..."
Karin pun bangkit dari kasurnya pelan dengan mata yang memincing, ia mematikan alarm tersebut.
"An, ponsel lo kedap-kedip tuh"
Ucap Karin sesaat ia membuka mata dengan jelas.
Mendengar itu Anna seketika membuka mata, dan ia pun bangkit dari tidurnya. Anna tersenyum senang saat tahu ada pesan dari Revan. Tapi itu tidak berlangsung lama, setelah melihat isi pesannya.
'Apa sih Revan, masa Ya doang. Hufh..
"Pesan dari siapa, An?"
Tanya Karin penasaran, karna melihat sikap Anna barusan.
"Revan.."
"Pantes, lo semanget gitu. Tapi kok malah manyun sih?"
"Nih lihat...!"
Anna menunjukan isi pesan Revan yang sangat singkat padat dan jelas itu.
"Itu mah emang dia banget kan? Resiko pacaran sama kulkas ya gitu..."
Tawa Karin berderai.
"Yeee.. lo malah ngeledek!"
"Gue mau delivery, lo mau makan apa?" jeda "oh ya, tuh sekalian bangunin si kebo Manda!"
"Oke, Terserah lo saja deh"
"Oke!"
Karin pun keluar dari kamarnya, entah pergi kemana. Setelah melihat Karin menutup pintu, Anna kembali melihat ponselnya, Anna tersenyum, bagaimanapun Revan mau membalas pesannya, tidak seperti sebelum-sebelumnya yang selalu di abaikan.
Read ...Kamu kemana saja tadi malam
Read ....Aku kan kangen
Read ....😔
Anna melotot melihat pesannya itu langsung di baca Revan.
Ada 07:20
Di hatimu❤ 07:20
Astaga, astaga. Apa ini bener Revan? AaaW...!
Anna meringis sakit mencubit pipinya, ia tidak percaya seorang Revan yang dingin bin datar bisa menggombal juga.
"Lo napa deh?"
Manda yang terbangun dari tidurnya melihat tingkah horor Anna. Anna terkekeh.
"Gue lagi seneng doooong!"
Manda berdecak 'Pasti Revan'. Tidak lama ia pun bangkit dari tidurnya dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Melihat itu Anna hanya menggeleng-gelengkan kepala.
My home is calling …
Anna mendengar ponselnya berdering, dan melihat siapa yang meneleponnya. Padahal rencananya ia akan membalas pesan dari Revan. Ada apa ya?
"Ya hallo bi?"
Anna menyahut tepat setelah menempelkan ponselnya di telinga. Padahal seseorang di sana belum mengeluarkan suaranya. Karna Anna tahu kedua orangtuanya tidak mungkin ada di rumah, dan tidak ada yang berani memakai telepon rumah selain bi Marni.
"Non, non Anna di mana?"
Suara bi Marni terdengar takut-takut, membuat Anna menautkan kedua alisnya heran.
"Anna di flat Karin bi, ada apa bi?"
"Non bisa pulang sekarang? Bapak ada di rumah, ada yang mau bapak bicarain katanya"
"Papa di rumah?"
Anna mengerutkan keningnya, pasalnya yang Anna tahu papa nya pergi sejak kemarin. Hampir setiap weekend pun papanya jarang di rumah.
"Iya non, non pulang ya sekarang. Bibi gak mau bapak semakin marah, tahu non gak pulang semalem"
"Iya bi, Anna pulang sekarang"
Anna pun sepihak mematikan ponselnya, ia menghela nafas gusar. Pasti ada hal penting yang terjadi. Setelah mandi dan makan, Anna pamit kepada kedua sahabatnya untuk pulang lebih dulu.
Hingga mobil Anna memasuki pekarangan rumah, dilihatnya mobil Bryan -papa Anna. Terpampang di halaman rumahnya. Anna ke luar dari mobilnya dan melesat langsung ke dalam rumah.
"Bi, di mana papa?"
Anna berjalan menghampiri bi Marni yang tengah membereskan peralatan makan di meja dengan beberapa maid lainnya, mungkin tadi papanya baru selesai makan.
"Oh syukurlah non udah pulang, bapak di ruang kerjanya non"
"Oke, makasih bi"
Anna melangkahkan kakinya menaiki tangga, seraya berjalan pikirannya tidak berhenti berkutat. Ada apa gerangan, hingga papanya itu ingin bicara padanya. Ia membuka pintu tempat papanya berada.
"Ada perlu apa papa memanggil Anna?"
Tanya Anna datar, sesaat ia tiba di hadapan Bryan yang saat ini tengah duduk manis di meja kerjanya. Tak lama Bryan melempar kertas putih persegi panjang di meja, tepat di hadapan Anna. Anna berdenyit melihatnya.
"Bisa kamu jelaskan apa itu?"
Anna bergeming, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia masih melihat datar Bryan, dan yang dia inginkan hanya mendengarkan kelanjutan obrolan papanya itu.
"Papa tidak habis pikir kenapa kamu selalu membuat ulah. Jangan kira selama ini papa tidak tahu apa yang kamu lakukan. Apa kamu ingin terus-terus mempermalukan papa seperti ini?! JAWAB ANNA!"
Anna tersenyum masam.
Apa? Gue mempermalukan dia katanya. Fine!
"Benar! Itu yang Anna mau. Papa puas?!"
Brak
Anna memejam erat matanya sesaat Bryan menghentakan keras tangannya ke meja.
"Kamu sama saja seperti mama mu yang tidak tahu di untung itu, Anna! Papa bener-bener muak dengan keluarga ini!"
Deg
Anna bergetar, meringis sakit mendengar perkataan papanya itu. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Perkataannya itu sungguh menyesakan dadanya.
'Tidak, lo gak boleh nangis! Tidak untuk dirinya!'
Anna menelan rasa perih tenggorokannya.
"Kalau hanya itu yang papa ingin katakan, Anna permisi!"
Anna membalikan badannya, berjalan hingga keluar rumah. Tidak peduli makian sang papa yang terus berkumandang.
Bi Marni yang menyaksikan itu hanya menatap sedih.
"Kenapa selalu seperti ini? Kuatkan hati Anna. Gadis itu selalu menderita. Berikan kebahagiaan untuk dia secepatnya, Ya Tuhan"