Mimpi Buruk

"Ka Levan, es clim ya?"

Gwen menarik-narik jaket Revan yang berdiri tepat di sampingnya. Melihat itu membuat ia menghela nafas. Revan pun berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil itu.

"Gwen kan tahu, mommy pernah bilang jangan banyak makan es krim, nanti Gwen pilek kayak kemaren gimana coba?"

"Tapi, mau. Kak Levan, Gwen mau es clim!"

Gwen mulai meronta seraya terus menunjuk tukang es krim keliling. Revan mulai pusing dibuatnya, setelah tadi gadis kecil itu merengek ingin bermain di taman.

"Oke, sekali ini ya!"

Gwen mengangguk semangat. Akhirnya Revan dan Gwen menghampiri penjual es krim itu, dan membelikan es krim rasa strawberi kesukaan Gwen. Setelah habis memakan es krim nya, gadis kecil itu meminta izin bermain di tempat permainan bersama anak lainnya, dan sekali lagi Revan hanya bisa mengangguk.

Revan tersenyum, tatkala melihat Gwen yang mudah sekali akrab dengan orang-orang.

Seraya menunggu Gwen bermain, Revan melihat sekeliling taman. Begitu banyak anak-anak dan orang tua yang tengah bermain di taman tempat ia datangi, mungkin karna hari ini hari weekend. Tak lama ekor matanya menangkap seorang gadis yang tengah melamun, wajahnya menggambarkan kesedihan.

Revan yang melihat itu menyipitkan matanya, dan terkejut setelah mengetahui jelas siapa gadis itu. Tanpa di minta Revan melangkahkan kakinya seraya terus melihat tajam si gadis, tapi sesekali ia juga melihat Gwen yang masih asyik bermain.

"Ternyata seorang Anastasya bisa pergi ke tempat umum seorang diri juga tanpa dayang-dayang"

Anna yang mendengar seseorang menyebut namanya tersadar, dan terkejut setelah melihat siapa orang itu. Revan yang berdiri tepat di sampingnya, hanya menatap datar Anna.

"Re.. van?"

Anna menggigit bibir bawahnya, ia bangkit dan berlari memeluk lelaki itu. Revan yang merasa tidak siap sedikit terjengkang. Tapi untungnya dia bisa menahan untuk tidak jatuh.

"Lepas... Anna!"

Revan berbicara pelan namun penuh penekanan, ia sedikit terusik tatkala Anna memeluk erat dirinya di tempat umum.

"Tolong... sebentar saja"

Dengan lemah Anna berkata, membuat Revan terdiam akhirnya.

Rasa nyaman dan hangat menjalar di tubuh laki-laki itu, untuk pertama kalinya ia membiarkan seorang gadis memeluk dirinya.

Ada apa dengan dia?

Revan baru menyadari ada sesuatu yang beda dengan Anna. Tapi ia merasa sangsi untuk bertanya, biarkan gadis itu bicara dengan sendirinya.

"Ka Levan, itu capa?"

Revan melotot mendengar suara Gwen, ia mendorong paksa Anna. Membuat Anna terkejut dan kecewa, tapi Revan tidak menghiraukannya, yang ia lakukan adalah menghampiri Gwen.

"Udah mainnya, pulang yuk?"

Gwen menggeleng.

"Itu capa kak?"

Revan menghela nafas, sementara Anna yang melihat itu mengerutkan keningnya, menatap gadis kecil yang berada di depan Revan.

"Dia... pacar kakak"

Jawab Revan akhirnya. Anna yang mendengar itu bersemu merah, dan Gwen yang mendengarnya bagai orang kebingungan.

"Pacal itu apa kak?"

"Pacar itu sejenis makanan Gwen, yuk pulang!"

Revan menjawab dengan asal. Demi Tuhan, dia tidak ingin bicara lebih panjang lagi di depan Anna karna pertanyaan konyol Gwen.

Anna menggulum menahan tawa, sungguh untuk pertama kalinya ia melihat Revan melawak.

"Dia siapa, Van?"

"Adikku"  

   

Adik?

Anna menghampiri Gwen yang tengah memandang dirinya, ia tersenyum manis pada gadis kecil itu.

"Hallo siapa namamu adik kecil? kenalin nama kakak, Anastasya. Tapi kamu panggil kak Anna ya."

"Nama aku Gwen kak, kak Anna antik anget. Kayak boneka Gwen"

Gwen bicara polosnya dengan mata berbinar.

"Antik?"

Anna berdenyit heran.

"Cantik maksudnya"

Anna bersemu mendengar penuturan Revan, entah kenapa jika lelaki itu yang mengatakannya, membuat hatinya berdetak kencang

"Terimakasih, kamu juga lucu banget sih!"

Ucap Anna gemas.

"Kakak pacalnya ka levan? Kakak isa di makan ya?"

Anna tertawa berderai, sementara Revan mengalihkan pandangnya ke lain arah. Ya Tuhan!

"Kakak calon istri kakakmu, nanti kamunya juga jadi adik kakak ya"

Revan mendengus. Anna yang mendengar dengusan Revan pun menghiraukannya.

"Istli? Kayak mom dan dedy ya?"

"Yuph! Kayak mom dan daddy"

"Yeeey, Gwen punya mom dan dedy dua. Gwen suka kakak Anna!"

Gwen meloncat gembira, Anna melihatnya tertawa. Sementara Revan menyaksikan itu kembali menghela nafasnya.

Tidak terasa hari semakin sore, Gwen sudah tertidur di gendongan Revan. Saat itu pula Revan dan Anna memutuskan untuk pergi dari tempat itu. seraya berjalan orang-orang menatapnya. Mungkin mereka mengira keduanya pasangan nikah muda.

"Makasih ya buat kencannya"

"Huh kencan?"

Revan mendengus geli.

"Anggap saja begitu"

Anna terkekeh melihat tampang bete Revan.

"Oh ya, Van. Aku masih gak nyangka ternyata kamu bisa bercanda juga, dan... kamu pandai ngegombal"

"Gombal?"

Kapan gue ngegombal?

"Yups, tadi pagi kamu chat akunya ngegombal. Tapi aku seneng kok"

Anna tersenyum, membuat Revan kembali berpikir keras. Seingatnya, dia hanya ngebalas pesan Anna sekali, tidak ada kata spesial dari isi pesannya. Kenapa Anna mengatakan ia pandai menggombal?

'Shit! Ini pasti ulah Dimas'

Revan menggeram tanpa sadar, ia inget tadi pagi setelah selasai mandi tanpa sengaja ia memergoki Dimas tengah meletakan ponselnya secara buru-buru di meja, setelah ditanya ada apa? Dimas berkata dia pikir itu ponselnya, karna katanya linglung setelah bangun tidur.

"Aku beneran tulus, sayang kamu Van."

Ucap Anna dengan senyum manis, Revan bergeming mendengar penuturan Anna, entah kenapa ia merasa... tidak marah ataupun kesal.

Ada apa dengannya?

***

"Uhuk..Ukhuk... MARIE, KAMU DI MANA?!"

Seorang anak laki-laki dengan seraut wajah khawatir berteriak memanggil nama seseorang di dalam sebuah rumah yang sekelilingnya tampak di penuhi cahaya panas menyilaukan.

Teriakan orang-orang dari luar sana terdengar. Rasa panas serta sesak juga datang menghampirinya, tapi ia tidak peduli. Yang harus tetap ia lakukan adalah mencari orang itu.

"TOLOOONG"

Terdengar teriakan dari lantai atas, anak laki-laki itu pun berinisiatif menaiki tangga tersebut walau tubuhnya semakin merasakan hawa panas dan nafasnya semakin sesak.

"MARIE, KAMU DI MANA? ukhuk... ukhuk..."

Dia mengedarkan pandangan setibanya di lantai dua rumah tersebut.

"Ukhuk...AKU DI SINI, TOLONG AKU!"

Akhirnya ia kembali melangkahkan kakinya mengikuti suara teriakan itu. Dilihatnya seorang gadis kecil terduduk bersandar di pojokan lemari seraya melingkarkan kedua lututnya.

"Marie, kamu gak apa-apa? Ayo cepat berdiri dan pegang tanganku!"

Gadis kecil itu pun bangkit dan langsung menghampiri anak laki-laki itu.

"Aku takut"

"Tenanglah, ada aku. Kita keluar sama-sama"

Kedua anak itu pun berjalan beriringan melewati panasnya cahaya yang ternyata sang bara api. Sampai di mana mereka melihat tangga untuk turun ke bawah. Tapi sebelum itu..-

"AWAS!"

Anak laki-laki itu mendorong si gadis kecil, dan saat itu pula sebuah papan terbakar jatuh tepat di mana mereka tadi berdiri.

"Lihat itu, sepertinya lantainya retak karna reruntuhan atap itu. Mana tidak ada jalan keluar selain jalan ini"

"Terus kita harus gimana? ukhuk.."

Anak laki-laki itu tampak diam berpikir sejenak.

"Aku akan jalan lebih dulu untuk memastikan"

"Apa kamu yakin?"

"Aku yakin, tunggulah Marie"

Dengan perlahan-lahan, anak laki-laki itu berjalan melewati lantai retak itu.

"Lihatlah... Marie, ini tidak apa-apa. Ayo cepat kemari!"

Gadis kecil yang di sapa Marie tampak ragu, tapi bagaimanapun itu harus mencoba. Jika tidak, ia bisa mati di tempat ini.

Tapi baru saja ia berjalan selangkah, ekor matanya menangkap atap yang terbakar tepat di mana anak laki-laki itu berdiri.

"VANO AWAS!"

Tanpa sadar gadis kecil itu berlari dan mendorong keras Vano -anak laki-laki itu. Hingga Vano pun terjatuh dan berluka. Tapi itu bukan apa-apa karna ada hal yang tidak bisa ia percayai.

"MARIE!!"

Vano berlari menghampiri Marie. Dia, gadis kecil itu tergeletak dan tidak sadarkan diri. Vano pun membawa Marie ke dalam pelukannya, dilihatnya darah yang mengalir di pelipisnya.

"Tidak... Marie. Tidak"

.

"Tidak..."

.

.

.

"TIDAAAAAAAAAK"

Revan terbangun dengan keringat bercucuran, nafasnya pun terengah-engah setelah terbangun paksa karna sebuah mimpi. Ini sudah kesekian kalinya laki-laki itu memimpikan hal yang sama.

Revan pun mengusap kasar mukanya dan memutuskan bangkit dari tidurnya. Yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air.

Setelah tiba di dapur, laki-laki itu membuka pintu kulkas dan mengambil minuman yang ada.

"Belum tidur, Van?"

Laura datang tepat setelah Revan meminum-minumannya.

"Udah mom, cuma ya.."

Revan sengaja tidak meneruskan ucapannya. Karna ia yakin, Laura tau apa yang ia maksudkan.

"Kamu masih mimpiin gadis itu?"

Revan mengangguk, sementara Laura menghela nafas, ia sangat sedih melihat putra sulungnya itu.

"Mungkin Revan hanya terlalu memikirkan gadis itu" jeda "Revan selalu bertanya-tanya, di mana Marie sekarang? Apa dia masih hidup atau tidak? Karna setelah kejadian itu, dia bagai hilang ditelan bumi"

Laura mengangkat tangannya dan mengusap-usap bahu Revan, untuk sekedar memberikan ketenangan.

"Mom yakin dia masih hidup, dan kamu tidak perlu terlalu memikirkan itu"

"Revan juga berharap begitu, Mom" jeda "Karna bagimanapun dia juga sangat berarti bagi Revan"

Dengan sendu Revan menjawab. Laura tersenyum mendengarnya.

"Mom yakin, kalian pasti akan di pertemukan kembali. Kamu jangan terlalu khawatir, mommy juga tidak mau kamu kenapa-kenapa, Van."

Revan tersenyum mendengar penurutan Laura.

"Makasih, Van sayang mommy. Makasih udah jadi ibu yang baik buat Revan"

"Iya, mom juga sayang Revan. Yaudah, tidur gih! malah jadi melow gini. Udah malam, besok kamu sekolah kan?"

Revan terkekeh.

"Mommy duluan saja. Revan masih bisa bangun pagi"

"Yaudah, cepet tidur ya. Good night, dear"

"Good night, mom"

Ucap Revan dengan senyum, tapi senyum itu kembali hilang setelah kepergian Laura.

"Kamu di mana, Marie?"