Tentang Rasa dan Asa

Selamat datang, musim panas.

Inilah saatnya kehidupan baru akan dimulai. Saat matahari terbit lebih awal dari biasanya. Saat siang tertahan lebih lama. Saat bunga-bunga bermekaran menampakan diri pada bumi. Dan, saat ketika awan mendung lenyap di langit, tergantikan cahaya mentari menyapa dunia.

Dari balik selimut, Anna tampak masih tertidur pulas. Hingga deringan ponsel di nakas membuat gadis itu menggeram. Dengan terpaksa tangannya mulai meraba-raba, bermaksud mengambil ponsel miliknya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, gadis itu langsung menolak panggilan dan melempar ponselnya itu ke sembarang arah, kemudian tertidur kembali.

Tok Tok Tok

Suara ketukan lantas membuat ia semakin menutupkan telinga menggunakan boneka stitch yang berada di sampingnya. Tak sadar, jam sudah menunjukan pukul 06.35 pagi. Pasalnya semalam ia begadang menonton maraton film dramkor di laptopnya. Karena itulah ia masih belum juga bangun saking mengantuk.

"Anna!"

Suara ketukan dan seruan di luar kamar membuat gadis itu sedikit membuka matanya, namun tak lama kembali menutup.

"Anna! Bangun! Revan udah datang buat jemput, atau oma suruh saja dia pergi duluan ke sekolah tinggalin kamu."

Anna sontak membuka mata seluruhnya. Gadis itu langsung mendudukkan dirinya kemudian menoleh ke arah jam dinding. Seketika matanya pun membulat.

Mampus! Kesiangan gue!

Khawatir arah jarum jam terus bergerak, Anna segera bergegas melangkah. Suara Mayang dari balik pintu masih mendominasi pendengarannya.

"Iya, oma! Anna udah bangun. Suruh tunggu Revan lima menit!"

Setelah berkata itu, ia pun mengambil handuk untuk kemudian memasuki kamar mandi dengan secepat kilat.

Hingga ia keluar dari kamar mandi. Anna pun memakai pakaian seragam dan lantas mengecek kembali penampilannya sekali lagi di depan cermin. Saat itulah senyuman tercetak di bibir, entah kenapa dirinya teringat dengan kejadian di malam pensi sebelumnya. Ia dan Revan?

Ugh!

Anna menggalang cepat kepalanya. Ini bukan timing-nya memikirkan hal itu. Bagaimana pun Ia sudah sangat terlambat.

Setelah mengambil tas dan ponselnya, Anna keluar dari kamar dan menuruni tangga.

Dan, ketika ia telah turun, ia mendapati seseorang yang tengah duduk di sofa, memandangnya dengan tatapan menanti.

"Revan?"

Anna sedikit menyengir menemukan laki-laki itu dengan tampang biasanya. Ia sadar, Faktanya ia sudah membuat kesalahan karena membuat mereka terlambat ke sekolah akhirnya. Tapi kenapa laki-laki hanya berekspresi biasa saja?

"Maaf aku...-"

"Kita hanya memiliki waktu 15 menit untuk bisa sampai ke sekolah. Berdo'a saja supaya tidak terkena macet."

Katanya seraya bangkit lalu melirik arlojinya sekilas memotong perkataan Anna.

Revan tersenyum kecil, ia memang tidak merasa kesal atau pun marah kepada Anna karena gadis itu yang bangun kesiangan hingga membuat dirinya berimbas ikut terlambat. Kata Dimas, dengan tersenyum akan membuat hati seseorang tenang. Ia berharap Anna merasa begitu. Semoga.

Anna tidak dapat menahan bibirnya tersenyum mendengar ucapan itu. Laki-laki ini adalah laki-laki penuh misteri. Jadi ia harus memberinya kesempatan dan menjalaninya dengan sabar.

"Anna, ini bekal dari bi Marni buat kamu makan. Kalau kamu sarapan dulu, gak akan keburu. Oma tahu, kalian juga buru-baru."

Perkataan Mayang barusan membuat Anna tersenyum.

"Makasih, oma."

"Ya sudah, ayo cepat pergi."

Tak lama Anna dan Revan pun melangkahkan kakinya.

"Ayo pergi."

Revan mengulurkan tangannya, setelah sebelumnya ia juga berpamitan pada Mayang -oma Anna.

Kali ini, Anna tersenyum memberanikan dirinya untuk membalas tangan itu. Lalu, beriringan bersama sepasang tangan yang bertautan malu-malu.

***

Selama perjalanan, Anna menahan diri untuk tidak berteriak saking senangnya. Dia mengigit bibir bawahnya. Aroma meskulin dari tubuh Revan menelusup masuk ke dalam indra penciumannya, membuat ia merasa nyaman.

Sementara Revan tak henti-hentinya melirik Gadis itu dari kaca spion motornya. Tak hentinya dia tersenyum tipis kala mendapati wajah cerah gadis itu. Entahlah, perasaan bahagia hanya karena bisa berangkat ke sekolah bareng dengan Anna. Padahal sebelumnya dia merasakan perasaan berat, bicaranya pun seperlunya. Merasa kurang nyaman karena setiap dia melihat ke arah Anna, teringat gadis itu selalu saja beragresif mendekatinya. Itu alasan Revan merasa kalau Anna gadis yang murahan.

Motor itu terus melaju membelah jalanan yang untungnya tidak terlalu padat.

"Cie, abis yang diantar pujaan hati. Makin lengket saja nih."

Anna tersenyum dengan pipi merona begitu duduk dibangkunya. Kedua sahabatnya mengerling jahil lalu tertawa seranya mencolek-colek menggodanya membuat pipi itu semakin merona. Anna protes dengan terselip tawa. Digoda seperti itu malah membuatnya merasa malu bukan bangga.

Kedua matanya melirik ke arah luar, untung saja laki-laki itu tadi langsung pamit untuk ke kelasnya, Jadi dia tidak melihat dirinya digoda-goda seperti ini oleh kedua sahabatnya.

"Kok, tumben gak sih si Revan mau nganterin Anna ampe kelas?"

Tanya Karin pada Manda, tak peduli pada Anna yang melirik menatap intens dirinya.

"Iya tuh, lo udah ngasih apaan ke doi sampai dia berubah drastis begitu?"

Anna berdecak.

"Maksud lo? Ya, ngasih hati gue dong!"

"Ya kali saja ciuman maut atau..-"

Anna menjitak kepala Manda saat itu juga, membuat Manda mengaduh kesakitan.

"Ini masih pagi woiii, pikiran lo udah kotor saja. Jangan-jangan lo minta digauli Danist ya?"

Celutuk Anna. Manda melirik tajam, lalu balas mencubit kedua pipi Anna. Dan Danish, untungnya laki-laki itu tengah di luar kelas.

"Lo kalau ngomong pake bismillah kek! Kenapa jadi urusannya sama tuh cowok."

"Lah, lo duluan yang mulai!"

"Iya kali kan? Aneh saja tiba-tiba saja Revan Naplok sama lo, gak ada angin, gak ada hujan. Lo kan lebih bucin!"

Perkelahian adu mulut itu membuat beberapa siswa dan siswi di kelas menatap ke arah mereka. Ada yang gelang-gelang tak habis pikir. Ada juga yang mengeryit merasa tak nyaman. Khususnya Leo, seolah pikiran terpampang jelas di dahinya setelah sebelumnya ia juga melihat bagaimana kedua pasangan itu mengobrol berpamitan di depan pintu kelas, mengundang perhatian sekitar.

"Wey, udah!"

Seru Karin yang duduk dibangku depan kedua gadis itu.

"Lo gak lihat anak-anak nontonin lo berdua. Lo berdua terlalu frontal tahu gak?"

Anna dan Manda menolehkan kepalanya pada sekitar. Dan benar saja tatapan mereka juga terarah pada keduanya.

"Ya sudah sih maaf."

Ucap Anna kemudian.

"Iya, gak usah liatin sampai segitunya juga kali. Orang kita cuma bercanda."

Timpal Manda menyindir teman-teman sekelasnya. Hingga akhirnya semua kembali pada aktifitasnya masing-masing karena sedetik kemudian bel masuk berbunyi.

"Tapi gue seneng kok, apa yang lo harepin sama Revan terbalas juga."

Anna kembali menolehkan kepalanya pada Manda, pernyataan tersebut membuat dirinya tertegun.

"Ya, gue harap juga begitu."

Anna membentuk lengkungan indah penuh ketulusan di bibirnya.

Melangkah, temukan kebahagianmu, dan jangan lupa berdoa untukku.

Manda merapal harap dalam hatinya. Kemudian matanya melirik Leo yang tampak melihat kosong seraya memainkan balpoinnya.

***

"Chel, please."

"Nggak."

Suara orang mendesis gemas mendengar.

"Marchel,"

Panggil Billy sekali lagi.

"Apa susahnya kek lo kasihin ponsel lo. Gue pinjem, gue mau balas chat dari Rena ini."

Kini giliran Marchel yang berdesis. Tentu saja, ia tidak ingin menyerahkan ponselnya itu kepada orang lain. Rahasianya akan terbongkar nanti. Nyatanya ia menyukai seseorang yang baru dekat dengannya akhir-akhir ini. Hingga ia berhasil memotret gadis itu dan dijadikan wallpaper pada ponsel miliknya.

Gadis itu cukup dikenal Billy, dan sahabat dari kekasih sahabatnya yang lain. Siapa lagi jika bukan Revan.

Ya, gadis itu adalah Manda.

Dan, foto Manda-lah yang membuatnya sulit untuk menyerahkan ponselnya itu pada Billy. Tapi, jelas Billy tak tahu apa-apa, terutama kenyataan bahwa Marchel dan Manda tidak pernah terlihat berbicara dalam durasi yang lama. Entahlah... ia sendiri masih tidak habis pikir. Tepatnya sejak kapan perasaan itu muncul dalam hatinya.

Semua yang dirasakannya kini terasa aneh. Terkadang tanpa sadar ia menatap Manda, serius memperhatikan. Dan ketika tidak sengaja mata mereka bertemu, ia sendiri tak dapat melepas pandangannya. Sampai saat ini Marchel masih menganalisa apa yang terjadi pada dirinya.

Billy menghembuskan napas kasar memperhatikan Marchel yang kini malah melamun.

"Dim, gue minjem ponsel lo dong, gue mau balas chat dari Rena. Gue belum isi kuota."

Pernyataan barusan seketika membuat Dimas yang duduk di bangku di depan Billy lantas menolehkan kepalanya ke belakang.

"Elah, beli-lah. Modal dikit kek!"

"Haduh, Dim. Lo itu sohib gue bukan sih? Lo sama saja kayak si Marchel, pelit. Ayo lah, keburu doi ngamuk nih. Lo mau gue doa'in jomblo seumur hidup?"

Keluh Billy, yang dibalas Marchel dan Dimas dengan tatapan tajam.

"Ya udah sih, ini. Bawel ah lo! Kayak emak-emak."

Dimas menyerahkan ponselnya itu pada Billy. Saat itu pula laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan.

"Thanks, gue minjem bentar."

Sementara Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali menghadapkan tubuhnya ke arah depan, lalu melirik Revan sebentar.

"Lo gimana sama Anna, Van?"

Dan, Revan menolehkan kepalanya pada Dimas, menatap dengan alis saling bertautan.

"Berjalan bagai air mengalir."

"Lo yakin, lo udah nerima dia seratus persen?"

"Gue masih berusaha."

Dimas mengangguk paham. Tapi kemudian sekelebat pikiran muncul, membuatnya penasaran.

"Terus bagaimana dengan... dia?"

Revan menelan saliva-nya. Ia sendiri tidak tahu harus menjawab seperti apa. Karena sampai detik ini ia juga belum bisa mengenyahkan perasaan-perasaan itu.

"Atau...-"

Ucapan menggantung Dimas menarik perhatian Revan.

"Lo...-"

Mata Dimas menyipit menatapnya dan Revan merasakan pelipisnya mulai basah. Entah mengapa kelas menjadi terasa sesak dan pengap.

Sebenarnya apa yang ia takutkan?

Apa ia harus mengatakan pada sahabatnya itu tentang apa yang terjadi? tentang fakta sebenarnya bahwa sampai saat ini juga ia diam-diam masih mencari di mana gadis itu.

Nyatanya, apa yang dipikirkan Dimas tidak sama dengan apa yang dipikirkan Revan selama ini.

Dan, Dimas tak pernah tahu itu.

"Lo sudah mulai lupain dia, kan?"

Pertanyaan Dimas membuat Revan bernapas lega dengan pelan, tapi matanya masih bisa menangkap betapa tajamnya tatapan Dimas ke arahnya. Lalu... Revan mengalihkan pandangannya dan tanpa sengaja mendapati Anna yang mengobrol di depan kelasnya.

"VAN, DICARI ANNA."

Seseorang berteriak memanggil dirinya, membuat ia dan Dimas menatap ke arah orang itu.

"Gue jawab nanti."

Ucap Revan pada Dimas akhirnya.

"Fine."

Setelah mengucapkan kata itu, Dimas bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya ke belakang bermaksud mengambil ponselnya di Billy.

Kini giliran Revan menghela napas pelan, ia lalu menatap kembali ke arah luar kelas dan bangkit dari duduknya, tersenyum manis menghampiri gadisnya.