Untuk kesekian kalinya Leo hanya bisa mendesah pelan. Kedua bola mata hitamnya selalu saja ingin melirik ke arah meja pojok kantin. Di sana, baik Anna maupun Revan beserta teman-temannya terlihat berkumpul bersama dalam satu meja.
Khususnya Anna, ia yang tampak ceria. Entah apa yang ia obrolkan dengan kekasihnya itu hingga membuat Revan sesekali menanggapinya dengan anggukan dan senyuman. Melihat dua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu hanya bisa membuat hatinya semakin terluka.
"Yo, kalau lo gak mau makan, buat gue saja sini. Mubazir, elah."
Leo menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati Danist yang menatapnya dengan heran.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menggeserkan mangkok mie ayamnya yang masih utuh pada laki-laki itu.
"Serius, lo?"
Danist melotot tidak percaya.
Dan, Leo hanya mengangguk seraya menyenderkan punggung itu pada sandaran kursi.
"Lo kenapa, Yo? Gue lihat, dari tadi lo merhatiin terus ke arah meja si Revan dan antek-anteknya."
Kali ini giliran Raka -teman sekelasnya yang lain menatap tanya dirinya. Sementara Leo hanya tersenyum tipis menanggapi.
Ternyata ada juga seseorang yang menyadari itu.
"Lo lagi ada masalah dengan salah satu dari mereka?"
Tanya Raka sekali lagi.
"Ya."
Jawab Leo tanpa basa-basi. Matanya kembali melihat salah satu yang ia maksudkan itu. Siapa lagi jika bukan Revan.
Leo mendengus sinis.
Nyatanya, apa yang dipikirkannya tentang laki-laki itu salah besar. Sebenarnya apa yang tiba-tiba merubah sikap Revan pada Anna? Apa hanya karena dirinya yang terang-terangan akan merebut gadis itu padanya? Bukankah selama ini laki-laki itu tidak menyukai Anna.
Terus terang, sikap Revan yang seperti ini hanya akan semakin menyulitkan dirinya untuk mendapatkan hati gadis itu.
"Siapa?"
Dan Danist pun juga dibuat penasaran olehnya.
Leo tersenyum, lalu menepuk-nepuk bahu Danist.
"Lo gak perlu tahu. Gue cabut."
Katanya seraya bergantian menatap kedua laki-laki itu. Tak lama, Leo bangkit dari duduknya meninggalkan Danist dan Raka yang masih menyisakan tanya dirinya.
Demi Tuhan!
Berdiam lama-lama di kantin hanya akan membuatnya menjadi emosi.
Hingga langkah itu membawanya menuju luar kantin, ia melangkah dengan alis menyatu seolah menahan gejolak dalam dirinya.
"Dia bodoh atau apa sebenarnya? Gue nggak begitu bodoh saat bilang akan merebut cewek itu dari tangannya yang jelas tidak memiliki perasaan apapun pada cewek itu."
Jedanya sesaat.
"Lalu apa yang dia lakukan sekarang? Menunjukan pada cewek itu seolah dirinya juga sama-sama suka hanya karena gue tantang?"
Siapa yang menyangka akhirnya akan seperti ini? Mulanya, ia hanya menggertak Revan sedikit dengan cara menantang laki-laki itu. Berharap ia sadar diri, bahwa ada seseorang yang lebih pantas bersama gadisnya itu. Yang benar-benar menerima kehadiran gadis itu dalam hidupnya. Yang tanpa harus bersusah payah untuk mendapatkannya.
Ya, seseorang itu adalah dirinya.
Leo menghirup napas yang berat bersama rahangnya yang menegas. Ia tidak pernah semarah ini. Namun, ia berusaha meredam emosi ini dengan salah satu telapak tangan yang terkepal erat.
Leo telah memilih, sadari awal ia memilih memperjuangkan cintanya. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti.
Memperjuangkan dengan caranya sendiri.
Tetapi, tiba-tiba ia menjadi tidak yakin apakah Anna bisa melakukan hal yang serupa untuk dirinya?
Leo tersenyum miris hanya dengan memikirkan itu. Sementara kedua kakinya masih saja melangkah entah ke mana.
....Tanpa ia sadari, seseorang dari arah belakang terus mengikutinya.
***
"Bawa mobil nggak?"
"Nggak."
Manda menjawab. Begitu mendapati Karin tak lagi bersuara, ia lantas menolehkan kepalanya pada gadis itu.
"Kenapa?"
Karin baru saja selesai mencuci kedua tangannya di wastafel, dan langsung kembali menatap Manda dengan dahi mengerut.
"Mobil lo mogok lagi memang? Tadinya gue mau nebeng, Man. Kebetulan Erik ada kerjaan di daerah rumah elo, minta gue samperin dia di sana bareng elo."
"Hmm,"
Gumam Manda seraya tersenyum.
"Nggak juga sih. Gue... mau pulang bareng seseorang... yang spesial."
Pernyataan Manda yang tertahan kontan membuat Karin mengangkat kedua alisnya kaget.
"Lo punya gebetan sekarang?! Lo kok gak pernah cerita? Siapa? Siapa? Sumpah speechless gue."
Manda terkekeh singkat.
"Lebay ah, lo!"
"Bukan si Danist, kan?"
Tanya Karin memastikan. Pasalnya, laki-laki itu selalu menggoda Manda jika kalian ingin tahu. Maka dari itu baik Anna maupun Karin selalu meledek dirinya juga laki-laki itu.
"Nggak-lah, koplak! Najis, mesum banget tuh cowok."
Karin tertawa terbahak.
"Ya kali, terus siapa? Apa dia anak sekolah ini juga?
Tanyanya lagi, dan Manda pun menggeleng dengan cengiran.
"Ra-ha-sia.".
"Jijik banget sih, lo. Pake maen rahasia-rahasiaan sama gue. Terus si Anna tahu gak?"
Sekali lagi, Manda menggeleng menjawabnya.
"Lo, jangan kasih tahu Anna dulu ya kalau gue punya gebetan, please."
Karin menautkan kedua alisnya bingung, kenapa juga Anna tidak boleh tahu tentang gebetan Manda?
"Loh, kenapa? Dia juga kan sahabat kita."
Manda pun mengubah ekspresinya bersamaan dengan kedua pundaknya yang melemas. Seraya menghembuskan napas pelan, ia berkata...-
"Pokoknya jangan, ya. Gue mohon sama elo, Rin."
Manda menempelkan kedua telapak tangannya, memohon. Hal itu tentu saja membuat Karin menghembuskan napas tak habis pikir.
Sejujurnya, Manda tidak bisa mengatakan apa alasannya pada Karin. Karena, gebetan yang dimaksud dirinya itu adalah Leo yang notabenya semua teman-temannya tahu jika laki-laki itu terlihat lebih dekat dengan Anna ketimbang dirinya. Jadi aneh rasanya, jika Manda mengaku-ngaku dekat dengan laki-laki itu.
Karin hanya bisa mengangguk menyerah. Toh.. suatu saat gadis di sampingnya ini pasti akan cerita juga.
Hingga di mana, akhirnya kedua gadis itu berjalan beriringan keluar dari toilet dan melangkahkan kakinya menuju luar gerbang.
Dan, Karin langsung menghentikan taxi yang saat itu kebetulan lewat.
"Gue duluan, ya. Sampai ketemu besok."
Kata Karin kemudian seraya membuka pintu taxi.
Manda pun mengangguk kecil.
"Bye."
Mobil itu melaju akhirnya meninggalkan Manda yang menatap sayu kepergiannya.
"Maaf, Karin. Gue hanya bisa cerita sebatas itu. Biar-lah ini menjadi rahasia gue sendiri sampai gue benar-benar siap."
Kata Manda lemah, kemudian tangannya merogoh ponsel dari dalam tas, mengecek notifikasi satu per satu lalu membuka kontak seseorang, bermaksud mengirimkan pesan itu padanya.
"Udah lama?"
Manda mengerjap, tersentak dan buru-buru menolehkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan tersebut. Seketika matanya menangkap Leo yang terduduk di atas motornya.
Ternyata ia tidak perlu repot-repot mengirim pesan, karena seseorang itu sudah ada di sampingnya saat ini.
Manda menggalang cepat.
"Nggak, kok."
Leo tersenyum, walau tak lama matanya diam-diam melirik ke sana ke mari. Seperti mencari seseorang.
"Kedua sobat lo, udah pulang?"
Manda terdiam sesaat seakan memikirkan sesuatu. Sebelum akhirnya..-
"Karin baru saja pergi, dia mau nemuin cowoknya. Hmm, kalau Anna pulang dari tadi bareng Revan. Katanya sih mau pergi ke sesuatu tempat dulu...., nge-date mungkin."
Entah bagaimana kalimat terakhir yang diucapkan Manda terdengar tidak menyenangkan di telinga Leo. Tak ingin memperpanjang pikiran melanturnya. Buru-buru ia menyalakan mesin motor.
"Yuk."
***
Revan sebenarnya adalah laki-laki yang baik dan Anna yakin ia tak salah memilih.
Ini adalah kencan pertama mereka. Pada musim panas, kursi-kursi cafe digelar di luar ruangan, menawarkan pengunjung untuk menikmati santapan seraya menghirup udara segar.
Sore ini, sepulang sekolah. Revan mengajak Anna ke sebuah cafe yang berada di dekat bibir pantai. Billy yang merekomndasikan cafe ini. Kata laki-laki itu, ini akan jadi tempat yang romantis dan cocok dijadikan tempat kencan pertama Revan dan Anna.
Secara bergantian, Anna dan Revan turun dari motor, lalu mereka melanjutkan dengan berjalan kaki. Dengan kaku, ia mengamit tangan gadisnya. Percayalah, ini adalah yang pertama bagi Revan.
Butuh 2 menit untuk mereka tiba di lokasi. Dan Anna cukup terpukau melihat cafe di depannya. Cafe ini seperti rumah kaca. Kaca-kaca dan teralis berwarna biru berpadu membentuk bangunan minimalis. Atap cafe ini juga dibuat sederhana. Dengan ketinggian yang rendah. Dan, diatas bangunan itu juga tertulis "The Velly Bistro and Cafe", nama dari cafe ini.
Ya. Suasana di cafe ini cukup romantis dan intim.
Setelah mereka melihat-lihat, Revan pun kembali melanjutkan langkahnya. Ia tidak memilih ruangan indoor, tapi membawa Anna ke meja yang terletak di luar sisi cafe, tepatnya di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Namun, entah mengapa Anna merasa tidak nyaman. Terlalu kaku. Mereka berdua layaknya orang asing yang baru berkenalan beberapa hari yang lalu dan memutuskan pertemuan formal yang kaku. Apa ini hanya karena Anna merasa bahwa adanya sikap berbeda yang ada pada diri Revan? Yang membuat ia tidak percaya dengan semua perubahan yang terjadi.
Tapi, bukankah ini yang ia inginkan?
"Kamu pilih saja dulu."
Revan menyerahkan buku menu pada ujung meja Anna, dan gadis itu pun segera mengambilnya, lalu membenamkan kepala di baliknya.
Sejujurnya, ia pernah menantikan hal ini dan demi Tuhan, rasanya bagaikan mimpi.
Hingga waktu semakin berlalu, Anna dan Revan selesai memakan makanannya itu. Dengan gelas kosong yang diletakan Anna pada atas meja, ia menghabiskan tandas seluruh air di dalam gelas tersebut.
"Minum lagi?"
Tanya Revan untuk ke sekian kalinya. Dan, Anna melebarkan matanya mendengar itu, tak lama ia pun menggeleng cepat.
"Nggak, aku udah kenyang."
Revan mengangguk mendengar jawaban Anna. Hanzel mata-nya masih setia memperhatikan gadis itu. Sampai di mana Anna menyadarinya, ia menjadi salah tingkah.
"Ke- kenapa liatin aku terus?"
Tanya Anna gugup, Revan menghela napas pelan lalu mengalihkan pandangannya.
"Nggak, aku hanya merasa kamu diam saja. Apa kamu tidak senang?"
"Tidak!"
Anna berkata lantang membuat Revan seketika menatap dirinya dan berubah ekspresi, kecewa.
"Maksud aku, bukan begitu. Aku senang. Bahkan sangat senang."
Saat itulah Anna menelan susah saliva-nya. Entah mengapa, ia merasa tenggorokannya menjadi kering. Padahal sebelumnya ia sudah menghabiskan minuman beberapa gelas saking gugupnya.
Katakanlah ia berlebihan, tapi itulah yang terjadi.
"Aku hanya nggak percaya kamu mengajakku date."
Revan mendengus geli.
"Jujur, aku juga merasa begitu. Ini pertama kalinya aku mengajak seorang gadis jalan. Tapi apa aku salah, jika niatku hanya untuk membuatmu senang?"
Jedanya sesaat.
"Aku ingin menebus semua kesalahanku sebelumnya. Jadi, aku harap kamu tidak akan pernah menolak setiap ajakanku dilain waktu."
Itu adalah kalimat termanis yang pernah Anna dengar dari mulut Revan.
Tanpa bisa ia tahan, Anna tersenyum. Karena sejak saat itu, skenario ini menjadi kegiatan rutin.
.. Dan, Anna tidak penah bisa menolak.