Motor sport hitam Revan memasuki sebuah komplek elit. Rumah-rumah berjejer dengan berbagai rupa seakan saling menyombongkan diri.
Di sana, Revan menghentikan motor itu di sebuah rumah mewah dengan dominasi yang keseluruhannya berwarna putih. Rumah 3 lantai itu memiliki halaman yang cukup luas juga kolam ikan di ujung tamannya.
Anna melihat ke sekitar rumahnya. Ada sebuah mobil sedan mercedes hitam berdampingan dengan mini cooper putih.
Mama dan papa di rumah?
Hati Anna menghangat kala melihat kedua mobil tersebut. Karena sudah sangat lama rasanya sejak terakhir kali orangtua dari gadis itu secara bersamaan ada di rumah saat dia pulang sekolah.
Anna berpaling menatap Revan. Sebuah senyum tersungging dari bibirnya.
"Makasih, ya."
Revan menatap Anna heran.
"Untuk?"
"Mengajakku date, makan bersama di tepi pantai. Itu, benar-benar romantis."
Anna berkata dengan senyuman di sela-sela kalimatnya itu. Tentu saja, pernyataan tersebut juga membuat Revan tersenyum walau samar.
"Kalau begitu aku juga harus berterima kasih pada Billy."
Anna mengernyit.
"Dia yang merekomdasikan tempat itu."
Kata Revan akhirnya seakan membaca pikiran Anna. Dan Anna mengangguk menyetujuinya, tak lama ia tertawa kecil.
"Kamu benar."
Revan terdiam saat mendengar tawa itu. Dia menatap wajah Anna intens, seolah menilai. Saat Anna menyadarinya, ia menghentikan tawanya, kontan wajahnya pun memerah.
"Kamu kenapa sih liatin akunya gitu terus?"
Jedanya sesaat.
"Hmm... jangan-jangan kamu baru sadar ya kalau pacarmu ini cantik? Terus kamu jadi cinta pake banget kan sama aku?"
Anna -gadis itu mengangkat kepala percaya diri. Ini sudah kedua kalinya laki-laki itu kedapatan memperhatikan intens dirinya, jadi wajarkan jika ia berpikir seperti itu? Saat itu juga Revan langsung tersadar.
Tiba-tiba suara tawa derai terdengar.
"Ih, kok malah ketawa? Nyebelin banget kamu!"
Anna berseru sebal seraya memukul-mukul lengan Revan dengan gemas. Tapi itu tidak lantas membuat laki-laki itu menghentikan tawanya.
Melihat Anna yang cemberut. Akhirnya Revan pun menghentikan tawa itu dengan berdehem.
"Kamu emang gadis yang selalu percaya diri, ya?"
Anna berdecak, menunduk dan menendang-nendang pelan motor kekasihnya itu. Kini giliran Revan yang berdecak, lalu mengangkat dagu Anna. Membuat mata mereka kembali bertemu.
"Sesuai dengan perkataanmu tadi, maka, buatlah aku menjadi semakin mencintaimu."
Perkataan Revan barusan membuat desiran darah Anna bergejolak, gadis itu tertegun sesaat. Dan, Revan tersenyum jenaka sesaat melihat ekspresinya.
"Aku pulang."
Sekali lagi, Anna mengangguk, disertai senyum kecil dengan mata terus mengawasi kepergian kekasihnya itu. Gadis itu lantas menggigit bibirnya gugup. Entah mengapa, laki-laki itu memberi efek tersendiri baginya.
Hingga akhirnya Anna pun memutuskan membalikan badannya untuk melangkah menuju rumah setelah motor Revan hilang dari pandangan.
"KAMU BENAR-BENAR MENANTU YANG TIDAK TAHU DIRI, LENA!"
Anna tersentak. Baru saja ia tiba di depan pintu rumahnya, suara teriakan penuh amarah terdengar.
Jantungnya kembali berdegup kencang.
Tidak, Tidak mungkin. Kali ini apa lagi?
Dengan tangan bergetar, Anna mencoba membuka pintu dan pemandangan di depan pintu itu kembali membuatnya kaget.
"KALI INI AKU SALAH APA LAGI, MA?! KENAPA MAMA SELALU DAN SELALU MENGATAKAN ITU?!"
Balas Aleena kemudian.
"HENTIKAN, LENA! JAGA NADA BICARAMU PADA MAMA!
Kali ini Bryan membentak, tapi Aleena -wanita itu hanya meliriknya sekilas, tak peduli.
"Kamu masih nanya apa kesalahmu? Baiklah, KESALAHANMU ADALAH KAMU LEBIH MEMILIH KARIRMU DARI PADA MEMENUHI SEMUA KEMAUAN SAYA!"
Aleena mendesah tak habis pikir.
"Kenapa mama selalu memaksakan kehendak itu kepadaku? AKU JUGA PUNYA PILIHAN SENDIRI, SEPERTI HAL NYA BRYAN! KENAPA MAMA TIDAK MEMINTA SAJA PADA ANAKMU SENDIRI!"
Jedanya.
"DAN KAMU, MAS. KAMU JUGA TIDAK PERNAH TEGAS DENGAN PILIHANMU SENDIRI, BUKAN? KAMU ITU BENAR-BENAR PRIA YANG SERAKAH!"
Dengan frustasi, Aleena menatap suaminya itu dengan mata memerah, seakan air mata tertahan di sana. Sementara Bryan menatap wanita itu dengan marah. Setiap urat pada sekitar lehernya terlihat menonjol.
Kurang ajar!
Plak
Jantung Anna seolah direnggut paksa dari rongganya. Udara pun seolah raib dari paru-parunya. Kedua matanya nanar tidak bisa percaya dengan apa yang diliahatnya itu.
Papanya, ya papanya. Pria itu menampar keras mama-nya sendiri hingga terkapar.
Suara jeritan Aleena terdengar,
Wanita itu bangkit dan berjalan membabi buta. Lalu menarik belakang baju Bryan. Tapi naas, tangannya yang kecil seolah tidak cukup menghentikan Bryan untuk mendorong kembali Aleena.
Dan, Mayang. Wanita tua itu hanya terdiam menonton tanpa menghentikan semua.
"Kamu keterlaluan, mas! Aku benci padamu, aku benci!"
Sekali lagi, Aleena mendekati suaminya itu. Lantas memukul-mukul lengannya seraya terisak keras.
Hati Anna merasakan sakitnya, ia merasa hatinya itu diremas. Bahkan rasanya berkali lipat lebih sakit. Dia tidak menyangka atas semua yang terjadi hari ini.
Merasa tidak tahan, Anna menutup pintu dan berlari ke luar rumah. Melintasi halaman yang luas dan akhirnya keluar dari neraka itu.
Perkataan Oma dan mama-nya, juga tamparan papa-nya pada mama-nya semua terngiang di kepala Anna.
***
"Makasih, bu."
Leo yang baru dari warung untuk membeli botol minuman kembali menaiki motornya. Ia melanjutkan perjalanannya itu menuju rumah setelah mengantar pulang Manda.
Saat ia melewati gerbang komplek Anna, dia melihat sosok Anna yang berlari meninggalkan kompleknya.
Pikirannya blank.
Dengan segera ia meng-gas motornya dan lantas melewati gadis itu, lalu segera melompat turun.
Dikejarnya Anna dan menarik keras lengan gadis itu. Hingga Anna terhenyung menabrak keras dada dirinya.
"Lepas! Gue mohon lepas! Tinggalin gue!"
Anna berontak. Dia menarik tangannya dari cengkraman Leo.
"Anna sadar! Lo kenapa?!"
"Gue bilang lepasin gue!"
"Ini gue, An. Ini gue, Leo! Bilang, bilang lo kenapa?"
Leo memeluk erat Anna, hingga akhirnya gadis itu berhenti meronta.
"Bawa gue pergi, Yo. Bawa gue pergi dari neraka ini. Gue mohon."
Leo meringis mendengar nada suara serat luka dari mulut Anna. Ia melepaskan pelukannya, dan menunduk menatap kedua mata gadis itu. Jelas, pancaran kesedihan terpampang di sana.
Tak lama, Leo pun mengangguk walau Anna tidak melihat. Ia kembali memeluk gadis itu dan membawa pergi dengan motornya.
Roda dua itu berputar cepat meninggalkan komplek elit tersebut hingga motor itu berhenti tepat di dekat taman dekat danau. Terlihat, jika taman itu cukup sepi.
Anna menoleh dengan masih bertatapan sendu dan menggigit bibirnya itu.
"Ayo turun."
Kata Leo akhirnya seraya menoleh ke belakang. Dan Anna menggelengkan kepalanya.
"Gue lagi nggak pengen bertamasya, Yo"
Leo berdecak, tak lama ia men-standar motornya, lalu turun dari motor itu.
"Ikuti gue saja, Anna."
Mau tak mau Anna pun menurut dan turun. Saat itu juga Leo langsung kerangkul Anna untuk berjalan melewati gazebo menuju danau lalu menyuruh gadis itu duduk di pinggir danau tersebut.
Leo duduk di sebelahnya.
Danau yang terlihat tenang ditambah suasana sore hari membuat tempat itu menjadi sangat indah.
Mereka terdiam menikmati momen dan hanyut dalam pemikiran masing-masing. Tak lama Anna pun tersadar, berada di tempat ini, hatinya bisa menjadi lebih tenang.
Leo menolehkan kepalanya pada gadis itu seraya membuka jaket baseballnya dan memakaikannya pada tubuh Anna.
Anna menoleh dan menatap mata hitam laki-laki itu yang tersenyum menenangkan.
"Lo boleh cerita saat lo udah siap."
Pernyataan Leo barusan membuat Anna menggigit dalam mulutnya. Bibir itu terbuka lalu kembali menutup.
Leo terkekeh kecil melihatnya ia lantas menepuk-nepuk pundak Anna.
"Gue rasa, gue dikutuk."
Saat itu juga Leo mengernyit tak mengerti dengan kalimat pembukaan gadis itu.
"Apa maksud lo? Apa ini ada kaitannya lagi dengan Revan?
Tiba-tiba Leo mengeraskan rahangnya, jika itu benar. Ia bersumpah akan memberi pemuda itu pelajaran! Anna tertawa miris menggeleng, bahkan tawanya dapat mengiris hati laki-laki itu.
"Gue dikutuk untuk nggak bisa bahagia. Keluarga gue gak utuh. Kakak gue satu-satu pergi dari dunia ini, dan nyokap bokap gue hampir setiap bertemu, mereka bagai kucing dan anjing yang kerjaannya hanya ribut dan ribut tanpa gue tahu sebenarnya apa yang mereka ributkan itu."
Jedanya sesaat.
"Dan, yang lebih miris adalah gue harus pura-pura bahagia seolah tidak terjadi apa-apa di depan semua orang. Apa lo bisa bayangin rasanya jadi gue?"
Leo terdiam mendengarnya. Ia sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa. Tapi poin pertama, ia mendapatkan fakta tentang kehidupan Anna yang sesungguhnya.
Anna adalah gadis yang rapuh.
"Gue, emang nggak pernah mengalami semua itu, An. Tapi gue bisa ngerasain apa yang elo rasain."
Leo meletakan tangannya di atas tangan Anna dan menggenggamnya erat seolah memberikan kekuatan.
"Dan, gue percaya, lo adalah cewek yang kuat. Buktinya lo bisa melewati hari hingga sejauh ini tanpa harus menangis."
Anna menundukan kepalanya, lalu menggangguk membenarkan.
"Yo."
"Ya?"
"Boleh gue minta sesuatu sama elo?"
Leo menatap Anna dengan penasaran.
"Lo mau kan janji sama gue, lo nggak akan pernah sekali pun cerita pada orang-orang tentang gue yang sebenarnya."
Anna menatap lekat manik mata laki-laki itu, menunggu jawaban. Sementara Leo masih terdiam, hingga akhirnya ia mengangguk.
"Lo juga mau janji sesuatu sama gue?"
"Apa?"
"Temui gue saat lo ngerasa nggak berdaya.
.... Hanya gue."