Loh, Van. Kamu di sini?"
Revan yang tengah mengotak-atik ponselnya menoleh begitu mendengar suara Laura -sang mommy.
Saat ini, laki-laki itu kedapatan duduk di balkon rumahnya dengan kedua telinga yang tersumpel aerphone.
"Ya, mom. Kenapa?"
Tanya Revan kemudian, lalu melepaskan salah satu alat tersebut pada telinganya.
"Nggak, mommy pikir nggak ada orang. Angin malam nggak baik, cepatlah masuk."
"Sebentar lagi, mom."
Laura mengangguk, lantas wanita itu kembali masuk ke dalam rumah.
Jam sudah menunjukan pukul 8:20 malam. Setelah selesai mengerjakan tugas dan makan malam, Revan lebih memilih bersantai ditemani angin malam dan musik. Tak lama, ia mengotak-atik kembali ponselnya. Membuka semua sosial medianya, tapi tidak ada hal yang menarik, selain chat dari Anna yang dia tunggu.
Revan tersenyum kecut, ia seolah meledek dirinya sendiri.
Padahal dulu ia selalu tidak nyaman dengan apa pun yang berhubungan dengan gadis itu. Tapi beda dengan sekarang, rasa kurang nyaman itu berganti menjadi rasa yang dia sendiri pun sulit mendeskripsikannya. Yang pasti kini Revan selalu ini berada di samping Anna.
Ngomong-ngomong soal Anna,
Ia teringat dengan cara gadis itu tertawa. Entah mengapa, bayangan muncul dalam pikirannya begitu saja. Seakan mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama ia lupakan keberadaannya.
Lalu, secara tiba-tiba dan tanpa peringatan, nama itu melintas di dalam kepalanya.
Anna. Anna. Anna.
Suara yang menggema di dalam kepalanya persis dengan suara seorang gadis kecil di masa lalunya.
"Apa mungkin?"
Revan menggelengkan cepat kepalanya. Ada beribu nama Anna di dunia ini. Anna bisa jadi nama asli atau nama panggilan, seperti hal nya Anastasya yang di panggil Anna.
Jadi terlalu cepat rasanya jika ia menyimpulkan bahwa Anna -gadis yang menjalani hubungan dengannya saat ini adalah Anna yang sama dengan gadis kecil masa lalunya.
Dan, bolehkan untuk sejenak ini ia tidak mengingat masa lalunya itu? Karena mengingat masa lalu hanya membuat hidupnya merasa tidak tenang.
Hingga akhirnya, Revan memutuskan kembali mengecek notifikasi pada ponselnya, berharap menemukan pesan dari Anna. tapi kenapa tidak ada satu pun pesan dari gadis itu? Yang ada hanya pesan dari orang-orang yang tidak penting menurutnya.
"Sedang apa dia?"
Revan berdecak.
Ia menjadi kesal sendiri. Mungkin ia harus menurunkan sedikit egonya itu kemudian mulai mengetikan sesuatu pada layar ponselnya.
Sementara di lain tempat dan dijam yang sama.
Anna tengah berbaring tengkurap di atas kasur dengan kepala yang bertumpu pada satu tangannya seraya melamun dan memainkan lampu tidur yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya.
Tiba-tiba suara detingan pada ponsel terdengar.
Lantas gadis itu pun menolehkan kepala dan mengubah posisi tengkurapnya menjadi duduk.
Revano ❤
Sedang apa? 20.35
Sibuk? 20.35
Anna tersenyum tatkala melihat isi pesan yang dikirim kekasihnya itu.
Read... Tidak
Read.. hanya sedang tiduran saja
Balas Anna dengan cepat, lantas ia membuka sedikit mulutnya saat melihat pesannya itu langsung di baca Revan.
Kenapa enggak ngehubungi aku? 20.38
Anna terdiam membaca balasan laki-laki itu, Ia tidak mungkin bilang pada Revan tentang dirinya sekarang ini. Yang malah terus memikirkan nasib keluarganya sendiri.
Read... Aduh, maaf baby
Read... Aku baru selesai mengerjai tugas
Read... terus istirahat dulu sambil tiduran
Read... Baru deh ngehubungin kamu
Read... Ciee, ada yang kangen nih minta dihubungi 😚
Anna melihat kembali pesan yang ditulisanya sendiri. Ia sadar, bahwa ia telah berdusta.
"Maaf, Van."
***
Pagi ini suasana di kediaman Anna tampak sepi. Di sana, terlihat Anna beserta keluarganya tengah menyantap sarapan dengan diam seolah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba suara Mayang menyentak mereka.
"Mama sudah memutuskan, akan pulang ke Bali hari ini."
Baik Anna juga Kedua orangtuanya langsung menolehkan kepala pada wanita tua itu.
"Loh, kenapa oma? Bukankan oma akan tinggal hingga akhir bulan ini?"
Anna menatap heran Mayang.
"Ma, kenapa mendadak?"
Timpal Bryan yang juga tidak kalah heran dengan putrinya itu. Sementara Aleena hanya terdiam mendengarnya.
"Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Mama dapat kabar, asisten di rumah sedang sakit. Jadi mama memutuskan untuk pulang sekarang."
Anna dan Bryan seketika bungkam.
"Lalu dengan pesawat jam berapa mama akan pulang? Biar Ryan pesankan."
"Sudah, tidak usah. Mama sudah pesan sendiri. Jam 10 pagi ini mama akan pulang."
Bryan mengangguk, sebelum akhirnya..-
"Tapi maaf, ma. Ryan tidak bisa mengantarkan mama pulang. Ryan ada meeting pagi ini dengan kolega."
"Anna juga, oma. Maaf gak bisa nganter oma."
Kali ini giliran Mayang yang mengangguk.
"Mama sudah minta Mamat untuk mengantarkan mama ke bandara nanti, Yan. Dan, Anna. Kamu juga mesti sekolah. Jadi, Oma paham."
Bryan menautkan alisnya bingung.
"Tapi mobilnya?"
"Pakai mobil Anna. Ya kan, Anna?"
Pertanyaan Mayang barusan kembali membuat Anna menolehkan kepalanya pada wanita tua itu.
"Eh- iya oma."
"Terus kamu pake apa ke sekolah?"
Dan, Bryan bertanya balik Anna dengan masih mengerutkan dahinya. Anna terdiam mendengar pertanyaan papanya itu.
"Anna dijemput Revan, pacarnya. Mereka selalu pergi dan pulang bersama."
Bryan tersentak, dari sekian banyak informasi tentang putrinya yang ia dapat. Ia baru tahu jika Anna memiliki kekasih.
Ya, Bryan memang diam-diam selalu mengawasi putrinya itu.
"Sejak kapan kamu punya pacar, Anna? Kamu belum minta izin pada papa!"
Anna menelan saliva-nya sesaat Bryan bicara dengan nada meninggi. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa.
"Mama sudah izinkan, Ryan! Dan, kamu tidak usah bertanya lagi pada Anna."
Kontan Bryan langsung menolehkan kepalanya lagi pada sang mama. Ia tertekeh singkat tidak habis pikir.
"Tapi, ma. Anna itu putriku. Jadi dia harus bilang dan minta izin padaku, termasuk bilang siapa saja orang-orang terdekatnya. Karena itu penting buatku, untuk tahu seperti apa seseorang yang dekat dengan putriku sekarang."
"Revan adalah anak yang baik dan sopan jika kamu ingin tahu. Dia juga selalu menuruti perkataan mama untuk menjaga Anna. Tidak membangkang seperti seseorang."
Mayang melirik sekilas Aleena sinis.
"Jadi kamu tidak usah membahas lebih lanjut siapa Revan, Ryan. Karena mama sudah merestui hubungan mereka."
Dan, Bryan mendengus kesal. Ia sudah tidak bisa melayangkan protes lagi jika sang mama sudah memutuskan.
Sementara Aleena yang sadari tadi diam menundukan kepalanya. Ia sadar, Mayang tengah menyindirnya. Tapi, ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak membiarkan setitik air di ujung matanya menetes. Perkataan Mayang yang tajam itu membuat dadanya sesak. Dengan menggigit sebagian bibirnya, Aleena sungguh tidak ingin menangis. Yang pada akhirnya membuat putrinya tahu dan terheran-heran.
Namun, wanita itu salah menduga. Karena pada kenyataan Anna telah mengetahuinya.
Diam-diam menatapnya pilu.
***
Anna keluar dari rumah dengan berjalan gontai. Setelah insiden sarapan tadi, entah mengapa ia menjadi tidak semangat.
Mungkin karena Mayang yang akan pulang sehingga akhirnya membuat ia akan kesepian lagi nantinya, atau karena melihat tampang Aleena yang terlihat menderita.
Tapi ia bisa apa?
Kemudian matanya menangkap sosok Revan yang tengah duduk menyender pada motornya itu seraya memainkan ponselnya.
Anna menghembuskan berat napasnya.
Gue masih punya Revan, semua masih baik-baik saja.
Ya, Anna menyakinkan dirinya. Untuk sebisa mungkin mengontrol emosinya itu agar tidak membuat Revan curiga. Entahlah... berpikir Revan mengetahui kehidupan ia yang sebenarnya. Itu, tetap terdengar sangat menyebalkan.
"Pagi baby."
Sapa Anna kemudian.
Revan pun tersadar, lantas ia mendongkak dan mendapati Anna yang tersenyum manis menatap dirinya.
"Pagi,"
Balasnya seraya memasukan ponselnya itu pada jaket.
Tak lama Revan mengerutkan dahi, lalu menatap intens Anna yang masih saja tersenyum-senyum menatapnya.
"Kamu kayaknya lagi bahagia."
Anna melebarkan mata mendengar itu.
"Ah masa? Kenapa memang?"
Revan berdecak.
"Itu tadi, senyum-senyum sendiri."
Anna terdiam, lantas ia terkekeh kecil dan menghampiri Revan, merangkul mesra lengan laki-laki itu.
"Bahagia dong, kan bahagianya aku sama kamu."
Revan memutar bola malas, walau sedetik kemudian mengalihkan pandangannya dan tersenyum samar.
"Sudahlah, ayo pergi."
Anna tertegun bukan hanya karena senyum samar Revan, tapi ada banyak hal yang berkecambuk di kepalanya. Sebelum dirinya berpikir lebih lanjut, suara mesin motor menyadarkannya.
"Kenapa diem? Cepat naik."
"Ah, ya."
Akhinya motor itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah Anna menuju sekolah.
Dan kini, ketika Anna turun dari motor Revan saat sampai parkiran sekolah, beberapa pasang mata otomatis memandangi mereka -khususnya Sisil yang baru saja tiba, ia menatap risi kedua pasangan itu.
Pun dengan Leo, laki-laki itu juga memarkirkan motornya beberapa langkah tepat dari motor Revan.
Matanya menerawang jauh pada kedua pasangan itu dengan tidak rela. Anna tampak tersenyum senang saat Revan membantunya melepaskan helm dari kepala gadis itu.
Dan, saat Revan menaruh helm itu pada motornya. Anna mengalihkan pandangannya ke sana- kemari. Tak lama, ekor matanya menangkap Leo yang tengah memandanginya. Seketika ia pun juga terdiam menatap laki-laki itu.
Ingatannya masih segar akan kejadian kemarin, di mana dirinya menceritakan hidupnya itu dan...-
*Flashback On
"Temui gue saat lo ngerasa nggak berdaya, hanya gue."
Pernyataan Leo barusan seketika membuat Anna terdiam menatap lekat laki-laki itu.
Leo tersenyum kecil.
"Gue tahu, lo pasti butuh teman cerita. Karena sejatinya, sekuat apapun manusia. Ia pasti butuh sandaran juga. Tapi, gue menduga lo ngerasa nggak nyaman kan nyeritain itu ke Revan?"
Anna menunduk, lalu menatap ke depan.
"Gue, cuma nggak pengen Revan kasian sama gue akhirnya setelah tahu diri gue yang sebenarnya. Gue pengen dia ngerasa bahagia saat bersama gue, bukan seperti ini. Ngasih dia beban karena hidup gue."
Leo mengangguk paham walau Anna tidak melihat, ada rasa ngilu dihatinya.
"Maka dari itu,"
Kata Leo, membuat Anna seketika menolehkan lagi kepalanya pada laki-laki itu.
"Temui gue dan jangan sungkan."
*Flashback off.
"Anna?"
Anna tersentak. Kemudian mengalihkan pandangannya dan mendapati Revan yang memandang tanya dirinya.
"Ah, ya?"
"Kamu lihat apa?"
"Itu..-"
Anna kembali menolehkan kepalanya lagi pada tempat di mana Leo tadi berada. Namun, laki-laki itu hilang entah ke mana.
Ke mana dia? Apa dia sudah pergi ke kelas?
Batin dalam hati Anna bertanya-tanya.
Revan mengerutkan dahinya bingung, lantas mengikuti jejak arah pandang gadis itu. Dan tidak menemukan apa pun.
"Ayo."
Secara impulsif Revan pun manggapai tangan Anna dan mengenggamnya. Kemudian berjalan bersama menuju kelas.
Anna menolehkan kepalanya lagi dengan dahi yang masih mengerut. Dan, ia mendapati sepasang bola mata berwarna hitam tengah menatapnya lekat-lekat.
Tersenyum lepas di bibirnya.